Dua kebudayaan: Islam dan Barat
MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani
yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia
selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan
menyempurnakan cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh
besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang
akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama
dan kebudayaan yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu
Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan.
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan
kepada metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini
sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan
kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada
pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan
dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang
metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah
logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan
dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat
ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula.
Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang
sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi
landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan
yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu
satu sama lain saling bertolak belakang.
Pertentangan gereja dan negara
Timbulnya pertentangan ini ialah karena
alasan-alasan sejarah, seperti sudah kita singgung dalam prakata dan kata
pengantar cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan agama
dan kekuasaan temporal1 sebagai bangsa yang menganut agama Kristen atau dengan
bahasa sekarang antara gereja dengan negara menyebabkan keduanya itu harus
berpisah, dan kekuasaan negara harus ditegakkan untuk tidak mengakui kekuasaan
gereja. Adanya konflik kekuasaan itu ada juga pengaruhnya dalam pemikiran Barat
secara keseluruhan. Akibat pertama dari pengaruh itu ialah adanya permisahan
antara perasaan manusia dengar pikiran manusia, antara pemikiran metafisik
dengan ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge of reality) yang
berlandaskan tinjauan materialisma. Kemenangan pikiran materialisma ini besar
sekali pengaruhnya terhadap lahirnya suatu sistem ekonomi yang telah menjadi
dasar utama kebudayaan Barat.
Sistem ekonomi dasar kebudayaan Barat
Sebagai akibatnya, di Barat telah timbul
pula aliran-aliran yang hendak membuat segala yang ada di muka bumi ini tunduk
kepada kehidupan dunia ekonomi. Begitu juga tidak sedikit orang rang ingin
menempatkan sejarah umat manusia dari segi agamanya, seni, f1lsafat, cara
berpikir dan pengetahuannya - dalam segala pasang surutnya pada berbagai bangsa
- dengan ukuran ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah dan
penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat telah pula membuat
pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini semata-mata. Sungguh pun
aliran-aliran demikian ini dalam pemikirannya sudah begitu tinggi dengan daya
ciptanya yang besar sekali, namun perkembangan pikiran di Barat itu telah
membatasinya pada batas-batas keuntungan materi yang secara kolektif dibuat
oleh pola-pola etik itu secara keseluruhan. Dan dari segi pembahasan ilmiah hal
ini sudah merupakan suatu keharusan yang sangat mendesak.
Sebaliknya mengenai masalah rohani, masalah
spiritual, dalam pandangan kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh karenanya
membiarkan masalah kepercayaan ini secara bebas di Barat merupakan suatu hal
yang diagungkan sekali, melebihi kebebasan dalam soal etik. Sudah begitu rupa
mereka mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi yang
sudah sama sekali terikat oleh undang-undang. Undang-undang ini akan
dilaksanakan oleh tentara atau oleh negara dengan segala kekuatan yang ada.
Kisah kebudayaan Barat mencari kebahagiaan umat manusia
Kebudayaan yang hendak menjadikan kehidupan
ekonomi sebagai dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan pula pada kehidupan
ekonomi itu dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan dalam kehidupan
umum, dalam merambah jalan untuk umat manusia mencapai kebahagiaan seperti yang
dicita-citakannya itu, menurut hemat saya tidak akan mencapai tujuan. Bahkan
tanggapan terhadap hidup demikian ini sudah sepatutnya bila akan menjerumuskan
umat manusia ke dalam penderitaan berat seperti yang dialami dalam abad-abad
belakangan ini. Sudah seharusnya pula apabila segala pikiran dalam usaha
mencegah perang dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa arti dan
hasilnya pun tidak seberapa. Selama hubungan saya dengan saudara dasarnya
adalah sekerat roti yang saya makan atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing
dan bertengkar untuk itu, masing-masing berpendirian atas dasar kekuatan
hewaninya, maka akan selalu kita masing-masing menunggu kesempatan baik untuk
secara licik memperoleh sekerat roti yang di tangan temannya itu. Masing-masing
kita satu sama lain akan selalu melihat teman itu sebagai lawan, bukan sebagai
saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini akan selalu bersifat
hewani, sekali pun masih tetap tersembunyi sampai pada waktunya nanti ia akan
timbul. Yang selalu akan menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah
keuntungan. Sementara arti perikemanusiaan yang tinggi, prinsip-prinsip akhlak
yang terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan akan jatuh tergelincir,
dan hampir-harnpir sudah tak dapat dipegang lagi.
Apa yang terjadi dalam dunia dewasa ini
ialah bukti yang paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu. Persaingan dan
pertentangan ialah gejala pertama dalam sistem ekonomi, dan itu pula gejala
pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik dalam paham yang individualistis, maupun
sosialistis sama saja adanya. Dalam paham individualisma, buruh bersaing dengan
buruh, pemilik modal dengan pemilik modal. Buruh dengan pemilik modal ialah dua
lawan yang saling bersaing. Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa
persaingan dan pertentangan ini akan membawa kebaikan dan kemajuan kepada umat
manusia. Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya bekerja lebih tekun dan
perangsang untuk pembagian kerja, dan akan menjadi neraca yang adil dalam
membagi kekayaan.
Sebaliknya paham sosialisma yang
berpendapat bahwa perjuangan kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan berada
di tangan kaum buruh, merupakan salah satu keharusan alam. Selama persaingan
dan perjuangan mengenai harta itu dijadikan pokok kehidupan, selama
pertentangan antar-kelas itu wajar, maka pertentangan antar-bangsa juga wajar,
dengan tujuan yang sama seperti pada perjuangan kelas. Dari sinilah konsepsi
nasionalisma itu, dengan sendirinya, memberi pengaruh yang menentukan terhadap
sistem ekonomi. Apabila perjuangan bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu
wajar, apabila adanya penjajahan untuk itu wajar pula, bagaimana mungkin perang
dapat dicegah dan perdamaian di dunia dapat dijamin? Pada menjelang akhir abad
ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan - dan masih dapat kita saksikan - adanya
bukti-bukti, bahwa perdamaian di muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
ini hanya dalam impian saja dapat dilaksanakan, hanya dalam cita-cita yang
manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada lebih dari suatu fatamorgana yang
kosong belaka.
Dasar kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam lahir atas dasar yang
bertolak belakang dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani
yang mengajak manusia supaya pertama sekali dapat menyadari hubungannya dengan
alam dan tempatnya dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran
demikian ini sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu mengajaknya supaya ia
tetap terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya selalu,
mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip yang lebih luhur -
prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih, kebaikan dan berbakti.
Atas dasar prinsip-prinsip inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan
ekonominya. Cara bertahap demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad, yakni mula-mula kebudayaan rohani,
dan sistem kerohanian disini ialah dasar sistem pendidikan serta dasar
pola-pola etik (akhlak). Dan prinsip-prinsip etik ini ialah dasar sistem
ekonominya. Tidak dapat dibenarkan tentunya dengan cara apa pun mengorbankan
prinsip-prinsip etik ini untuk kepentingan sistem ekonomi tadi.
Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian
ini menurut hemat saya ialah tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini yang ditanamkan dalam jiwa kita
dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat itu kesana pula jalannya, niscaya
corak umat manusia itu akan berubah, prinsip-prinsip yang selama ini menjadi
pegangan orang akan runtuh, dan sebagai gantinya akan timbul prinsip-prinsip
yang lebih luhur, yang akan dapat mengobati krisis dunia kita sekarang ini
sesuai dengan tuntunannya yang lebih cemerlang.
Sekarang orang di Barat dan di Timur
berusaha hendak mengatasi krisis ini, tanpa mereka sadari - dan kaum Muslimin
sendiri pun tidak pula menyadari - bahwa Islam dapat menjamin mengatasinya.
Orang-orang di Barat dewasa ini sedang mencari suatu pegangan rohani yang baru,
yang akan dapat menanting mereka dari paganisma yang sedang menjerumuskan
mereka; dan sebab timbulnya penderitaan mereka itu, penyakit yang menancapkan
mereka ke dalam kancah peperangan antara sesama mereka, ialah mammonisma -
penyembahan kepada harta. Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu didalam
beberapa ajaran di India dan di Timur Jauh; padahal itu akan dapat mereka
peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati itu sudah ada ketentuannya
didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan indah sekali dengan teladan yang sangat
baik diberikan oleh Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
Bukan maksud saya hendak melukiskan
kebudayaan Islam dengan segala ketentuannya itu disini. Lukisan demikian
menghendaki suatu pembahasan yang mendalam, yang akan meminta tempat sebesar
buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi - setelah dasar rohani yang menjadi
landasannya itu saya singgung seperlunya - lukisan kebudayaan itu disini ingin
saya simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran Islam dalam keseluruhannya
dapat pula saya gambarkan dan dengan penggambaran itu saya akan merambah jalan
ke arah pembahasan yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke arah itu
kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar isyarat, bahwa sebenarnya
dalam sejarah Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama
(theokrasi) dengan kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal
ini dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah ditinggalkan Barat
dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.
Dalam Islam tak ada pertentangan agama dengan negara
Islam dapat diselamatkan dari pertentangan
serta segala pengaruhnya itu, sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa yang
namanya gereja itu atau kekuasaan agama seperti yang dikenal oleh agama
Kristen. Belum ada orang di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah -
yang akan mengharuskan sesuatu perintah kepada orang, atas nama agama, dan akan
mendakwakan dirinya mampu memberi pengampunan dosa kepada siapa saja yang
melanggar perintah itu. Juga belum ada di kalangan Muslimin - sekalipun ia
seorang khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu kepada orang selain yang
sudah ditentukan Tuhan di dalam Qur'an. Bahkan semua orarg Islam sama di
hadapan Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari yang lain, kecuali
tergantung kepada takwanya - kepada baktinya. Seorang penguasa tidak dapat
menuntut kesetiaan seorang Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa
dan melanggar penntah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr ash-Shiddiq kepada kaum
Muslimin dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah "Taatilah saya selama
saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar
(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada saya."
Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah
itu kemudian dipegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan Muslimin
pernah timbul perang saudara, namun kaum Muslimin tetap berpegang kepada
kebebasan pribadi yang besar itu, yang sudah ditentukan oleh agama, kebebasan
yang sampai menempatkan akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan dijadikan
patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini tetap mereka pegang
sekalipun sampai pada waktu datangnya penguasa-penguasa orang-orang Islam yang
mendakwakan diri sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin sudah mereka kuasai
belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
Sebagai bukti misalnya apa yang sudah
terjadi pada masa Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk
atau bukan makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak sekali orang
yang menentang pendapat Khalifah waktu itu, padahal mereka mengetahui akibat
apa yang akan mereka terima jika berani menentangnya.
Dalam segala hal akallah patokan dalam Islam
Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam
telah dijadikan patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
Dalam firman Tuhan:
"Perumpamaan orang-orang yang tidak
beriman ialah seperti (gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak
mendengar selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta,
sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an, 2: 171)
Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan,
dengan mengatakan: "Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid
(menerima begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau suatu pedoman ialah
bawaan orang-orang tidak beriman. Orang tidak bisa beriman kalau agamanya tidak
disadari dengan akalnya, tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin.
Kalau orang dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja tanpa disadari dengan
akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan, meskipun perbuatan yang
baik, tanpa diketahuinya benar, dia bukan orang beriman. Dengan beriman bukan
dimaksudkan supaya orang merendah-rendahkan diri melakukan kebaikan seperti
binatang yang hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat meningkatkan daya
akal pikirannya, dapat meningkatkan diri dengan ilmu pengetahuan, sehingga
dalam berbuat kebaikan itu benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya itu memang
berguna, dapat diterima Tuhan. Dalam meninggalkan kejahatan pun juga dia
mengerti benar bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu akan membawa
akibat."
Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh
dalam menafsirkan ayat ini, yang di dalam Qur'an, selain ayat tersebut sudah
banyak pula ayat-ayat lain yang disebutkan secara jelas sekali. Qur'an menghendaki
manusia supaya merenungkan alam semesta ini, supaya mengetahui berita-berita
sekitar itu, yang kelak renungan demikian itu akan mengantarkannya kepada
kesadaran tentang wujud Tuhan, tentang keesaanNya, seperti dalam firman Allah:
"Bahwasanya dalam penciptaan langit
dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan
membawa apa yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari
langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi yang sudah mati
kering, kemudian disebarkanNya di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin
dan awan yang dikemudikan dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda
(akan keesaan dan kebesaran Tuhan) buat mereka yang menggunakan akal
pikiran." (Qur'an, 2: 164) "
Dan sebagai suatu tanda buat mereka, ialah
bumi yang mati kering. Kami hidupkan kembali dan Kami keluarkan dari sana benih
yang sebagian dapat dimakan. Disana Kami adakan kebun-kebun kurma dan palm dan
anggur dan disana pula Kami pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan
buahnya. Semua itu bukan usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima
kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan bumi
berpasang-pasangan, dan dalam diri mereka sendiri serta segala apa yang tiada
mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah malam. Kami
lepaskan siang, maka mereka pun berada dalam kegelapan. Matahari pun beredar
menurut ketetapan yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha Kuasa dan
Maha Tahu. Juga bulan, sudah Kami tentukan tempat-tempatnya sampai ia kembali
lagi seperti mayang yang sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar
bulan dan malam pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan dalam
peredarannya. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah turunan mereka yang
Kami angkut dalam kapal yang penuh muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula
yang serupa, yang dapat mereka kendarai. Kalau Kami kehendaki, Kami karamkan
mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat diselamatkan.
Kecuali dengan rahmat dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai
pada waktunya." (Qur'an, 36: 33-44.)
Kekuatan iman
Anjuran supaya memperhatikan alam ini,
menggali segala ketentuan dan hukum yang ada di dalam alam ini serta
menjadikannya sebagai pedoman yang akan mengantarkan kita beriman kepada
Penciptanya, sudah beratus kali disebutkan dalam pelbagai Surah dalam Qur'an.
Semuanya ditujukan kepada tenaga akal pikiran manusia, menyuruh manusia
menilainya, merenungkannya, supaya imannya itu didasarkan kepada akal pikiran,
dan keyakinan yang jelas. Qur'an mengingatkan supaya jangan menerima begitu
saja apa yang ada pada nenek moyangnya, tanpa memperhatikan, tanpa meneliti
lebih jauh serta dengan keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya
itu.
Iman kepada Allah
Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh
Islam. Dan ini bukan iman yang biasa disebut "iman nenek-nenek,"
melainkan iman intelektual yang sudah meyakinkan, yang sudah direnungkan lagi,
kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah itu, dengan renungan dan
pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Kuasa.
Saya rasa tak ada orang yang sudah dapat merenungkan dengan akal pikiran dan
dengan hatinya, yang tidak akan sampai kepada iman. Setiap ia merenungkan lebih
dalam, berpikir lebih lama dan berusaha menguasai ruang dan waktu ini serta
kesatuan yang terkandung di dalamnya, yang tiada berkesudahan, dengan
anggota-anggota alam semesta tiada terbatas, yang selalu berputar ini -
sekelumit akan terasa dalam dirinya tentang anggota-anggota alam itu, yang
semuanya berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan dan dengan tujuan yang
hanya diketahui oleh penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan
dirinya, akan pengetahuannya yang belum cukup, jika saja ia tidak segera
dibantu dengan kesadarannya tentang alam ini, dibantu dengan suatu kekuatan
diatas kemampuan pancaindera dan otaknya, yang akan menghubungkannya dengan
seluruh anggota alam, dan yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri.
Dan kekuatan itu ialah iman.
Jadi iman itu ialah perasaan rohani, yang
dirasakan oleh manusia meliputi dirinya setiap ia mengadakan komunikasi dengan
alam dan hanyut kedalam ketak-terbatasan ruang dan waktu. Semua makhluk alam
ini akan terjelma dalam dirinya. Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut
hukum yang sudah ditentukan, dan dilihatnya pula sedang memuja Tuhan Maha
Pencipta. Ada pun Ia menjelma dalam alam, berhubungan dengan alam, atau berdiri
sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu perdebatan spekulatif yang kosong
saja. Mungkin berhasil, mungkin juga jadi sesat, mungkin menguntungkan dan
mungkin juga merugikan. Disamping itu hal ini tidak pula menambah pengetahuan
kita. Sudah berapa lama penulis-penulis dan failasuf-failasuf itu satu sama
lain berusaha hendak mengetahui zat Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya
upaya mereka itu sia-sia. Dan ada pula yang mengakui, bahwa itu memang berada
di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal yang sudah tak mampu mencapai
pengertian ini, maka ketidak mampuannya itu lebih-lebih lagi memperkuat
keimanan kita. Perasaan kita yang meyakinkan tentang adanya Wujud Maha Tinggi,
Yang Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah Maha Pencipta, Maha
Perencana, segalanya akan kembali kepadaNya, maka keadaan semacam itu akan
sudah meyakinkan kita, bahwa kita takkan mampu menjangkau zatNya betapa pun
besarnya iman kita kepadaNya itu
Demikian juga, kalau sampai sekarang kita
tak dapat menangkap apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata kita
sendiri kita melihat bekasnya, begitu juga eter yang tidak kita ketahui
meskipun sudah dapat ditentukan, bahwa gelombangnya itu dapat inemindahkan
suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya itu buat kita sudah cukup untuk
mempercayai adanya listrik dan adanya eter. Alangkah angkuhnya kita, setiap
hari kita menyaksikan keindahan dan kebesaran yang diciptakan Tuhan, kalau kita
masih tidak mau percaya sebelum kita mengetahui zatNya. Tuhan Yang Maha
Transenden jauh di luar jangkauan yang dapat mereka lukiskan. Kenyataan dalam
hidup ialah bahwa mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci
itu ialah mereka yang dengan persepsinya sudah tak berdaya mencapai tingkat
yang lebih tinggi lagi dalam melukiskan apa yang diatas kehidupan insan. Mereka
ingin mengukur alam ini serta Pencipta alam menurut ukuran kita yang nisbi dan
terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit itu. Sebaliknya
mereka yang sudah benar-benar mencapai ilmu, akan teringat oleh mereka firman
Tuhan ini:
"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada kamu
itu hanya sedikit sekali." (Qur'an, 17: 85)
Iman dasar Islam
Kalbu mereka sudah penuh dengan iman kepada
Pencipta Ruh dan Pencipta semesta Alam ini, sesudah itu tidak perlu mereka
menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong, yang takkan
memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan.
Islam yang dicapai dengan iman dan Islam
yang tanpa iman oleh Qur'an dibedakan: "Orang-orang Arab badwi itu
berkata: 'Kami sudah beriman.' Katakanlah 'Kamu belum beriman, tapi katakan
saja: kami sudah islam.' Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu."
(Qur'an, 49: 14)
Contoh Islam yang demikian ini ialah yang
tunduk kepada ajakan orang karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum
atau karena mengkultuskan diluar hati yang mau menurut dan memahami benar-benar
akan ajaran itu sampai ke batas iman.
Yang demikian ini belum mendapat petunjuk
Tuhan sampai kepada iman yang seharusnya dicapai, dengan jalan merenungkan alam
dan mengetahui hukum alam, dan yang dengan renungan dan pengetahuannya itu ia
akan sampai kepada Penciptanya - melainkan jadi Islam karena suatu keinginan
atau karena nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh karenanya iman itu belum
merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam. Manusia-manusia Muslim
semacam ini ada yang hendak menipu Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi
sebenarnya mereka sudah menipu diri sendiri dengan tiada mereka sadari. Dalam
hati mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi penyakit mereka
itu. Mereka itulah orang-orang beragama tanpa iman; islamnya hanya karena
didorong oleh suatu keinginan atau karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil,
keyakinannya tetap lemah dan hatinya pun bersedia menyerah kepada kehendak
manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka, yang keimanannya
kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh, diantarkan oleh akal pikiran
dan oleh jantung yang hidup, dengan jalan merenungkan alam ini, mereka itulah
orang yang beriman. Mereka yang akan menyerahkan persoalannya hanya kepada
Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah selain kepada Allah.
Dengan Islamnya itu mereka tidak memberi jasa apa-apa kepada orang.
"Tetapi sebenarnya Tuhanlah yang
berjasa kepada kamu, karena kamu telah dibimbingNya kepada keimanan, kalau kamu
memang orang-orang yang benar." (Qur'an, 49: 17)
Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh
kepada Allah dan dalam pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak perlu
merasa takut, tidak usah bersedih hati. Mereka tidak takut akan menghadapi
hidup miskin atau hina, sebab dengan iman itu mereka sudah sangat kaya, sangat
mendapat kehormatan. Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pada orang-orang
beriman.
Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya
ini, ia merasa lega bila selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia
dan hukum-hukum alam, yang berarti akan menambah hubungannya dengan Tuhan. Dan
langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan jalan membahas dan merenungkan
segala ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan cara ilmiah seperti
dianjurkan oleh Qur'an dan dipraktekkan pula sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin
dahulu, yaitu seperti cara ilmiah yang modern di Barat sekarang. Hanya saja
tujuannya dalam Islam dan dalam kebudayaan Barat itu berbeda. Dalam Islam
tujuannya supaya manusia membuat hukum Tuhan dalam alam ini menjadi hukumnya
dan peraturannya sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah mencari keuntungan
materi dan apa yang ada dalam alam ini. Dalam Islam tujuan yang pertama sekali
ialah 'irfan - mengenal Tuhan dengan baik, makin dalam 'irfan atau persepsi
(pengenalan) kita makin dalam pula iman kita kepada Tuhan. Tujuan ini ialah
hendak mencapai 'irfan yang baik dari segi seluruh masyarakat, bukan dari segi
pribadi saja. Masalah integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak
ada tempat buat orang mengurung diri sebagai suatu masyarakat tersendiri.
Bahkan ia seharusnya menjadi dasar kebudayaan untuk masyarakat manusia sedunia
- dari ujung ke ujung. Oleh karena itu seharusnya umat manusia berusaha terus
demi integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar daripada
pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia).
Persepsi2 mengenai rahasia benda-benda dan
hukum-hukum alam yang hendak mencapai integritas itu lebih besar daripada
persepsi sebagai alat guna mencapai kekuasaan materi atas benda-benda itu.
Dengan mencari pertolongan Tuhan sampai kepada alam
Untuk mencapai integritas rohani ini tidak
cukup kita bersandar hanya kepada logika kita saja, malah dengan logika itu
kita harus membukakan jalan buat hati kita dan pikiran kita untuk sampai ke
tingkat tertinggi. Hal ini bisa terjadi hanya jika manusia mencari pertolongan
dari Tuhan, menghadapkan diri kepadaNya dengan sepenuh hati dan jiwa. Hanya
kepadaNya kita menyembah dan hanya kepadaNya kita meminta pertolongan, untuk
mencapai rahasia-rahasia alam dan undang-undang kehidupan ini. Inilah yang
disebut hubungan dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya bertambah kita
mendapat petunjuk akan apa yang belum kita capai, seperti dalam firman Tuhan:
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (katakan) Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang bermohon - apabila dia bermohon kepadaKu. Maka sambutlah seruanKu
dan berimanlah kepadaKu, kalau-kalau mereka terbimbing ke jalan yang
lurus." (Qur'an 2: 186)
Sembahyang
"Dan carilah pertolongan Tuhan dengan
tabah, dan dengan menjalankan sembahyang, dan sembahyang itu memang berat,
kecuali bagi orang-orang yang rendah hati-kepada Tuhan. Orang-orang yang
menyadari bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan dan kepadaNya mereka
kembali." (Qur'an 2: 45-46)
Salat ialah suatu bentuk komunikasi dengan
Tuhan secara beriman serta meminta pertolongan kepadaNya. Dengan demikian yang
dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku' dan sujud saja, membaca
ayat-ayat Qu'ran atau mengucapkan takbir dan ta'zim demi kebesaran Tuhan tanpa
mengisi jiwa dan hati sanubari dengan iman, dengan kekudusan dan keagungan
Tuhan. Tetapi yang dimaksudkan dengan salat atau sembahyang ialah arti yang
terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam ruku', sujud serta segala
keagungan, kekudusan dan iman itu. Jadi beribadat demikian kepada Tuhan ialah
suatu ibadat yang ikhlas - demi Tuhan Cahaya langit dan bumi.
"Kebaikan itu bukanlah karena kamu
menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah orang yang
sudah beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat, Kitab, dan
para nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya itu untuk kerabat-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan,
orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan sembahyang
dan mengeluarkan zakat, kemudian orang-orang yang suka memenuhi janji bila
berjanji, orang-orang yang tabah hati dalam menghadapi penderitaan dan
kesulitan dan di waktu perang. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka
itu orang-orang yang dapat memelihara diri." (Qur'an, 2: 177)
Orang mukmin yang benar-benar beriman ialah
yang menghadapkan seluruh kalbunya kepada Allah ketika ia sedang sembahyang,
disaksikan oleh rasa takwa kepadaNya, serta mencari pertolongan Tuhan dalam
menunaikan kewajiban hidupnya. Ia mencari petunjuk, memohonkan taufik Allah
dalam memahami rahasia dan hukum alam ini.
Orang mukmin yang benar-benar beriman
kepada Allah tengah ia sembahyang akan merasakannya sendiri, selalu akan
merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah
Yang Maha Agung. Apabila kita dalam pesawat terbang diatas ketinggian seribu
atau beberapa ribu meter, kita melihat gunung-gunung, sungai dan kota-kota
sebagai gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita melihatnya terpampang di depan
mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas sebuah peta dan seolah
permukaannya sudah rata mendatar tak ada gunung atau bangunan yang lebih
tinggi, tak ada ngarai, sumur atau sungai yang lebih rendah, warna-warna
sambung-menyambung, saling berkait, tercampur, makin tinggi kita terbang
warna-warna itu makin tercampur. Seluruh bumi kita ini tidak lebih dari sebuah
planet kecil saja. Dalam alam ini terdapat ribuan tata surya dan planet-planet.
Semua itu tidak lebih dari sejumlah kecil saja dalam ketakterbatasan seluruh
eksistensi ini. Alangkah kecilnya kita, alangkah lemahnya kcadaan kita
berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus wujud ini. KebesaranNya diatas
jangkauan pengertian kita!
Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita
dengan penuh ikhlas kepada Kebesaran Tuhan Yang Maha Suci, kita mengharapkan
pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan diri kita ini,
memberi petunjuk dalam mencari kebenaran - alangkah wajarnya bila kita dapat
melihat persamaan semua manusia dalam kelemahannya itu, yang dalam berhadapan
dengan Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan kekayaan, selain
dengan imannya yang teguh dan tunduk hanya kepada Allah, berbuat kebaikan dan
menjaga diri.
Persamaan di hadapan Tuhan
Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna
ini di hadapan Tuhan tidak sama dengan persamaan yang biasa disebut-sebut dalam
kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini, yaitu persamaan di hadapan hukum.
Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang persamaan, sehingga hampir-hampir
pula tidak lagi diakui di depan hukum. Buat orang-orang tertentu sudah tidak
berlaku lagi untuk menghormatinya. Persamaan di hadapan Tuhan, persamaan yang
kenyataannya dapat kita rasakan dikala sembahyang, yang dapat kita capai dengan
pandangan kita yang bebas - tidak sama dengan persamaan dalam persaingan untuk
mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang melakukan segala tipu-daya
dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih pandai mengelak dan bisa main, ia
akan selamat dari kekuasaan hukum.
Persamaan dihadapan Allah ini menuju kepada
persaudaraan yang sebenarnya, sebab semua orang dapat merasakan bahwa mereka
sebenarnya bersaudara dalam berihadat kepada Allah dan hanya kepadaNya mereka
beribadat. Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang
sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan oleh Qur'an.
Adakah kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar daripada umat ini
di hadapan Allah, semua menundukkan kepala kepadaNya, bertakbir, ruku' dan
bersujud. Tiada perbedaan antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan
pengampunan, bertaubat, mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara
mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh (perbuatan baik) serta
perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga diri dari kejahatan.
Persaudaraan yang demikian ini dapat membersihkan hati dari segala noda materi
dan menjamin kebahagiaan manusia, juga akan mengantarkan mereka dalam memahami
hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk dalam cahaya Tuhan yang
telah diberikan kepada mereka.
Tidak semua orang sama kemampuannya dalam
melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya tubuh kita
membebani jiwa kita, sifat materialisma kita dapat menekan sifat kemanusiaan
kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak
menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita; dan sudah cukup
hanya dengan tatatertib sembahyang, seperti ruku', sujud dan bacaan-bacaan.
Oleh karena itu harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan daya tubuh yang
terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma yang sangat menekan sifat
kemanusiaan. Untuk itu Islam telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah
mencapai martabat kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
"Orang-orang beriman! Kepadamu telah
diwajibkan berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang
sebelum kamu, supaya kamu bertakwa - memelihara diri dari kejahatan."
(Qur'an, 2: 183)
Bertakwa dan berbuat baik (birr) itu sama.
Yang berbuat baik orang yang bertakwa dan yang berbuat baik ialah orang yang
beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab dan para nabi dan
diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.
Puasa bukan suatu tekanan
Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak
terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu menekan
sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai malam,
kemudian sesudah itu hanyut dalam berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia
sudah mengalihkan tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri
itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa, sepanjang hari ia
menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana
sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di
waktu siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah yang
menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat
kemanusiaannya, juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya,
bahwa puasa itu memberi faedah kedalam rohaninya, tapi ia puasa karena
menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya sendiri perlunya
puasa itu. Ia melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu
kebebasan itu berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia kedalam kesenangan,
sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan ini sama
seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang
pencurian, bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan
perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula.
Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa
sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia
adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya akan menempatkan
fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi. Puasa yang
sebenarnya ialah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita
yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan
berpikirnya dapat diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan ini sudah
diperolehnya kembali, ia dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi,
setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan
firman Tuhan - setelah menyebutkan bahwa puasa telah diwajibkan kepada
orang-orang beriman seperti sudah diwajibkan juga kepada orang-orang yang
sebelum mereka:
"Beberapa hari sudah ditentukan.
Tetapi barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan,
maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat orangorang yang sangat
berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fid-yah dengan memberi makan kepada
orang rniskin, dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri,
itu lebih baik buat dia; dan bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu,
kalau kamu mengerti." (Qur'an, 2: 184)
Seolah tampak aneh apa yang saya katakan
itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan
kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa dengan segala apa
yang baik itu untuk kehidupan rohani kita. Ini memang tampak aneh, karena dalam
bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana
batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian batas-batas
kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat dilaksanakan
dengan pedang undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam
hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap
dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui batas-batas segala yang dapat
diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam
hidup bukan yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak kebiasaannya. Ia
sudah biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan
kepadanya: makan pagi dan sore sajalah, maka ini akan dianggapnya suatu
pelanggaran atas kebebasannya. Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan
kebiasaannya, kalau benar ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok
sampai kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan
kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok, maka ini dianggapnya suatu
pelanggaran atas kebebasannya. Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah
pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum
kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu
dikatakan kepadanya: gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran
atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas
kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang
sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya yang sesungguhnya.
Disamping itu, ini juga merusak cara berpikir
sehat, sebab dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh pengaruh hajat
jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh kebiasaan itu. Oleh
karena itu banyak orang yang telah melakukan puasa dengan cara yang
bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu
setiap minggu atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah buat
manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang
sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula
kesempatan fid-yah. Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam
keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada
kesempatan lain.
Kewajiban berpuasa selama hari-hari yang
sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan
Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luarbiasa. Semua orang, selama menahan
diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan persamaan itu
antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah. Dengan
persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan yang
mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rejeki yang
diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan,
persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan sembahyang.
Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan
sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan
dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup
dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat
membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam
menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri. Disamping itu kita pun
sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya
sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas rohani dan mentalnya
sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari
beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai
martabat iman yang paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum dapat
disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa
juga belum dapat disebut puasa. Oleh karena itu orang yang bertaklid menganggap
puasanya suatu kekangan dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada dapat
memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan
mental yang sangat besar itu.
Zakat
Apabila dengan jalan latihan rohani ini
manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui
pula dimana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada sesama anak
manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan.
Mereka akan saling tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa takwa - menjaga diri
dari kejahatan. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan
kepada yang tidak punya. Ini adalah zakat, dan selebihnya sedekah. Dalam sekian
banyak ayat Qur'an selalu mengaitkan zakat dengan salat. Kita sudah membaca
firman Tuhan:
"Tetapi kebaikan itu ialah orang yang
sudah beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, malaikat, Kitab dan para
nabi; mengeluarkan harta yang dicintainya itu kepada kerabat-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang yang melepaskan perbudakan, mengerjakan
salat dan mengeluarkan zakat." (Qur'an, 2: 177)
"Kamu kerjakanlah sembahyang dan
keluarkan pula zakat serta tundukkan kepala (ruku') bersama orang-orang yang
menundukkan kepala." (Qur'an, 2: 43)
"Beruntunglah orang-orang yang sudah
beriman. Mereka yang dengan khusyu' mengerjakan sembahyang. Mereka yang
menjauhkan diri dan percakapan yang tiada berguna. Dan mereka yang mengeluarkan
zakat." (Qur'an, 23: 1-4)
Ayat-ayat yang mengaitkan zakat dengan
salat itu banyak sekali.
Apa yang disebutkan dalam Qur'an tentang
zakat dan sedekah cukup menyeluruh dan kuat sekali. Dalam melakukan perbuatan
baik, sedekah itu terletak pada tempat pertama, orang yang melakukannya akan
mendapat pahala yang amat sempurna. Bahkan ia terletak disamping iman kepada
Allah, sehingga kita merasa seolah itu sudah hampir sebanding. Tuhan berfirman:
"Tangkaplah orang itu dan
belenggukanlah. Kemudian campakkan kedalam api menyala. Sesudah itu belitkan
dengan rantai yang panjangnya tujuhpuluh hasta. Dahulu ia sungguh tidak beriman
kepada Allah Yang Maha Besar. Juga tidak mendorong orang memberi makan orang
miskin." (Qur'an, 69: 30-34)
"... Dan sampaikan berita gembira
kepada mereka yang taat. Yaitu mereka, yang apabila disebutkan nama Tuhan
hatinya merasa takut karena taatnya, dan mereka yang tabah hati terhadap apa
yang menimpa mereka serta mereka yang mengerjakan salat dan menafkahkan
sebagian rejeki yang diberikan Tuhan kepada mereka."' (Qur'an, 22: 34-35)
"Mereka yang menafkahkan hartanya -
baik di waktu malam atau di waktu siang, dengan sembunyi atau terang-terangan,
mereka akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka takut, juga jangan
bersedih hati" (Qur'an, 2: 274)
Qur'an tidak hanya menyebutkan
masalah-masalah sedekah serta pahalanya yang akan diberikan Tuhan yang sama
seperti pahala orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab sedekah
itu telah dilembagakan pula dengan suatu tatacara yang sungguh baik sekali.
"Bilamana kamu memperlihatkan sedekah
itu, itu memang baik sekali. Tetapi kalau pun kamu sembunyikan memberikannya
kepada orang fakir, maka itu pun lebih baik lagi buat kamu." (Qur'an, 2:
271)
"Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai hal-hal yang tidak menyenangkan
hati Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. Orang-orang beriman, janganlah kamu
hapuskan nilai sedekahmu itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati
orang." (Qur'an, 2: 263-264)
Firman Tuhan itu memberikan pula penjelasan
kepada siapa sedekah itu harus diberikan:
Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang perlu dilunakkan
hatinya, untuk melepaskan perbudakan, orang-orang yang dibebani utang, untuk
jalan Allah dan mereka yang sedang dalam perjalanan. Inilah yang telah
diwajibkan oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana." (Qur'an,
9: 60)
Lembaga zakat
Zakat dan sedekah itu salah satu kewajiban
dalam Islam, termasuk salah satu rukun Islam. Tetapi apakah kewajiban ini
termasuk ibadat, ataukah masuk bagian akhlak? Tentu ini termasuk ibadat. Semua
orang beriman bersaudara, dan iman seseorang belum lagi sempurna sebelum ia
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan berpegang pada
Nur Ilahi antara sesama mereka, orang-orang beriman saling cinta-mencintai.
Kewajiban zakat dan sedekah terikat oleh persaudaraan ini, bukan oleh akhlak
dan disiplinnya serta oleh hubungan antar-manusia dengan segala tata-tertibnya.
Segala yang terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman kepada Allah, dan
segala yang terikat oleh iman kepada Allah ialah ibadah. Itu sebabnya maka
zakat menjadi salah satu rukun Islam yang lima, dan karena itu pula setelah
Nabi wafat Abu Bakr menuntut supaya Muslimin menunaikan zakatnya. Setelah
dilihatnya ada sebagian orang yang mau membangkang, Pengganti Muhammad itu
melihat pembangkangan ini sebagai suatu kelemahan dalam iman mereka; mereka
lebih mengutamakan harta daripada iman, mereka hendak meninggalkan disiplin
rohani yang telah ditentukan Qur'an itu. Dengan demikian ini merupakan
kemurtadan dari Islam. Karena 'perang ridda' itu jugalah Abu Bakr berhasil
mengukuhkan kembali sejarah Islam itu selengkapnya, dan yang tetap menjadi
kebanggaan sepanjang sejarah.
Cinta harta
Dengan fungsi zakat dan sedekah sebagai
kewajiban yang bertalian dengan iman dalam disiplin rohanl ia dianggap sebagai
salah satu unsur yang harus membentuk kebudayaan dunia. Inilah hikmah yang
paling tinggi yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaannya. Harta dan
segala keserakahan orang memupuk-mupuk harta merupakan sebab timbulnya
superioritas (rasa keunggulan) seorang kepada yang lain. Sampai sekarang ia
masih merupakan sebab timbulnya penderitaan dunia ini dan sumber pemberontakan
dan peperangan selalu. Sampai sekarang mammonisma - penyembahan harta - masih
tetap merupakan sebab timbulnya dekadensi moral yang selalu menimpa dunia dan
dunia tetap bergelimang dibawah bencana itu. Memupuk-mupuk harta dan
keserakahan akan harta itulah yang telah menghilangkan rasa persaudaraan umat
manusia, dan membuat manusia satu sama lain saling bermusuhan. Sekiranya
pandangan mereka itu lebih sehat dengan pikiran yang lebih luhur, tentu akan
mereka lihat bahwa persaudaraan itu lebih kuat menanamkan kebahagiaan daripada
harta, mereka akan melihat juga bahwa memberikan harta kepada yang membutuhkan
akan lebih terhormat pada Tuhan dan pada manusia daripada orang harus tunduk
kepada harta itu. Kalau benar-benar mereka beriman kepada Allah tentu mereka
akan saling bersaudara, dan manifestasi persaudaraan ini ialah pertolongan
kepada orang yang sedang dalam penderitaan, membantu orang yang membutuhkannya
dan dapat pula menghapuskan kemiskinan yang akan menjerumuskan manusia kedalam
penderitaan itu.
Apabila negara-negara yang sudah tinggi
kebudayaannya pada zaman kita sekarang ini mendirikan rumah-rumah sakit,
lembaga-lembaga sosial dan amal untuk menolong fakir-miskin, atas nama kasih
sayang dan kemanusiaan, maka didirikannya lembaga-lembaga itu karena didorong
oleh rasa persaudaraan serta rasa cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat
yang diterimanya, sungguh ini suatu pikiran yang lebih tinggi dan lebih tepat
memberikan kebahagiaan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam firman Tuhan:
"Dengan kenikmatan yang telah
diberikan Allah kepadamu, carilah kebahagiaan akhirat, tapi jangan kaulupakan
nasibmu dalam dunia ini. Berbuatlah kebaikan (kepada orang lain) seperti Tuhan
telah berbuat kebaikan kepadamu, dan jangan engkau berbuat bencana di muka bumi
ini. Allah sungguh tidak mencintai orang-orang yang berbuat bencana."
(Qur'an, 28: 77)
Ibadah haji
Persaudaraan insani ini akan menambah rasa
cinta manusia satu sama lain. Dalam Islam, rasa cinta demikian ini tidak
seharusnya akan terhenti pada batas-batas tanah air tertentu, atau hanya
terbatas pada salah satu benua. Yang seharusnya bahkan tidak boleh mengenal
batas samasekali.
Oleh karena itu, dari seluruh pelosok bumi
manusia harus saling mengenal, supaya satu sama lain dapat menambah rasa cinta
kepada Allah, dan rasa cinta ini akan menambah tebal iman mereka kepada Allah.
Untuk mencapai itu manusia dari segenap penjuru bumi harus berkumpul dalam satu
irama yang sama, tanpa diskriminasi, dan tempat berkumpul yang terbaik untuk
itu ialah di tempat memancarnya cinta ini. Dan tempat itu ialah Baitullah di
Mekah, dan inilah yang disebut ibadah haji. Orang-orang beriman tatkala
berkumpul disana, tatkala mereka melaksanakan segala upacara, mereka menempuh
cara hidup yang luhur sebagai teladan iman kepada Allah, dengan niat yang
ikhlas menghadapkan diri kepadaNya.
"Musim haji itu ialah dalam beberapa
bulan yang sudah ditentukan. Barangsiapa sudah membulatkan niat selama
bulan-bulan itu hendak menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh ada suatu
percakapan kotor, perbuatan jahat dan berbantah-bantahan selama dalam mengerjakan
haji. Segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Tuhan mengetahuinya. Bawalah
perbekalanmu, dan perbekalan yang paling baik ialah menjaga diri dari perbuatan
hina. Patuhilah Aku, wahai orang-orang yang berpikiran sehat." (Qur'an. 2:
197)
Di dataran tinggi ini, di tempat
orang-orang beriman menunaikan ibadah haji untuk saling berkenalan, untuk
saling mempererat tali persaudaraan, dan tali persaudaraan ini akan lebih
memperkuat iman di tempat ini - segala perbedaan dan diskriminasi yang
bagaimanapun di kalangan orang-orang beriman itu harus hilang. Mereka harus
merasa, bahwa dihadapan Tuhan mereka itu sama. Mereka menghadapkan seluruh hati
sanubarinya untuk mernenuhi panggilan Tuhan, benar-benar beriman akan
keesaanNya, bersyukur akan nikrnat yang telah diberikanNya. Rasanya tak ada
kenikmatan yang lebih besar daripada nikmat iman akan keagungan Tuhan, sumber
segala kebahagiaan. Dihadapan cahaya iman serupa ini, segala angan-angan kosong
tentang hidup akan sirna, segala kebanggaan dan kecongkakan karena harta, karena
turunan, karena kedudukan dan kekuasaan akan lenyap. Dan karena cahaya iman itu
juga, maka manusia akan dapat menyadari arti kebenaran, kebaikan dan keindahan
yang ada dalam dunia ini, akan dapat memahami undang-undang Tuhan yang abadi,
dalam semesta alam ini, yang takkan pernah berubah dan berganti. Suatu
pertemuan umum yang luas ini telah dapat melaksanakan arti persaudaraan dan
persamaan semua orang beriman dalam bentuknya yang paling luas, luhur dan
bersih.
Norma-norma etik dalam Islam
Inilah ketentuan-ketentuan dan
kaidah-kaidah Islam seperti yang diwahyukan kepada Muhammad 'alaihissalam. Ini
terrnasuk prinsip-prinsip iman seperti sudah kita lihat dalam ayat-ayat yang
kita kutip tadi, dan sebagai prinsip-prinsip kehidupan rohani Islam. Sesudah semua
kita lihat, akan mudah sekal kita menilai, norrna-norma etika apa yang harus
kita terapkan atas dasar itu. Norma-norma ini memang sungguh luhur sekali, yang
memang belum ada tandingannya dalam kebudayaan mana pun atau dalam zaman apa
pun. Apa yang akan membawa manusia untuk mencapai kesempurnaannya bila saja ia
dapat melatih diri sebagaimana mestinya, oleh Qur'an sudah dirumuskan, bukan
hanya dalam satu surah saja hal ini disebutkan, bahkan disana-sini juga
disebut. Begitu salah satu surah kita baca, kita sudah dibawa ke puncak yang
lebih tinggi, yang belum dicapai oleh suatu kebudayaan sebelum itu, juga tidak
mungkin akan dicapai oleh kebudayaan yang sesudah itu. Untuk mengetahui betapa
agungnya klimaks yang telah dicapai itu cukup kita lihat misalnya adat sopan
santun atas dasar rohani ini yang bersumberkan keimanan kepada Allah serta
latihan mental dan hati kita atas dasar tersebut, tanpa orang melihat akan
mencari keuntungan materi di balik sernua itu.
Insan Kamil dalam Qur'an
Dalam berbagai zaman dan bangsa,
penulis-penulis sudah sering sekali melukiskan gambar Manusia Sempurna - atau
Superman. Penyair-penyair, para pengarang, filsuf-filsuf dan penulis-penulis
drama, sejak zaman dahulu mereka sudah pernah melukiskan gambaran ini, dan
sampai sekarang masih terus melukiskan. Tetapi sungguhpun demikian, tidak akan
ada sebuah gambaran manusia sempurna yang dilukiskan begitu cemerlang dan unik
seperti disebutkan dalam rangkaian Surah al-Isra' (17). Ini baru sebagian saja
hikmah yang diwahyukan Allah kepada Rasul, bukan dimaksudkan untuk melukiskan
Manusia Sempurna melainkan untuk mengingatkan manusia tentang beberapa
kewajiban. Dalam hal ini firman Allah:
"Dan Tuhanmu sudah memerintahkan,
jangan ada yang kamu sembah selain Dia dan supaya berbuat baik kepada ibu-bapa.
Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, janganlah kamu mengucapkan kata "ah" kepada mereka
dan jangan pula kamu membentak mereka, tapi ucapkanlah dengan kata-kata yang
mulia kepada mereka (93). Dan rendahkanlah harimu dengan penuh kesayangan
kepada mereka, dan doakan: 'Ya Allah, beri rahmatlah kepada mereka berdua,
seperti kasih-sayang mereka mendidikku sewaktu aku kecil' (24) Tuhan kamu lebih
mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Kalau kamu orang-orang yang berguna. Dia
Maha Pengampun kepada mereka yang mau bertaubat (25). Berikanlah kepada
keluarga yang dekat itu bagiannya, begitu juga kepada orang-orang miskin dan
orang dalam perjalanan. Tetapi jangan kamu hambur-hamburkan secara boros (26).
Pemboros-pemboros itu sungguh golongan setan, sedang setan sungguh ingkar
kepada Tuhan (27). Dan jika kamu berpaling dari mereka karena hendak mencari
kurnia Tuhan yang kauharapkan, katakanlah kepada mereka dengan kata-kata yang
lemah lembut (28). Jangan kaujadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan jangan
pula engkau terlalu mengulurkannya, supaya engkau tidak jadi tercela dan
menyesal (29). Sesungguhnya Tuhan melimpahkan rejeki kepada siapa saja dan
menentukan ukurannya. Dia Maha mengetahui akan hamba-hambaNya (30). Dan jangan
kamu membunuhi anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami yang memberi rejeki
mereka, juga rejeki kamu: sebab membunuh mereka suatu kesalahan besar (31).
Janganlah kamu mendekati perjinahan, sebab perbuatan itu sungguh keji, dan cara
yang sangat buruk (32). Janganlah kamu menghilangkan nyawa orang yang sudah
dilarang Tuhan, kecuali atas dasar yang benar. Dan barangsiapa dibunuh tidak
pada tempatnya, maka kepada penggantinya telah kami berikan kekuasaan; tetapi
janganlah dia membunuh dengan melanggar batas karena dia pun (yang dibunuh)
mendapat pertolongan (33). Harta anak yatim jangan kamu dekati, kecuali dengan
cara yang baik sekali - sampai dia dewasa. Dan penuhilah janji itu, sebab
setiap janji menghendaki tanggungjawab (34). Jagalah sukatanmu bila kamu
menakar, penuhilah dan timbanglah dengan timbangan yang jujur. Itulah cara yang
baik dan akan lebih baik sekali kesudahannya (35). Dan janganlah engkau
mencampuri persoalan yang tidak kauketahui; sebab segala pendengaran, penglihatan
dan isi hati orang, semua itu akan dimintai pertanggunganjawaban (36). Juga
janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan congkak, sebab engkau tidak akan
dapat menembus bumi ini, juga tidak akan sampai setinggi gunung (37). Semua itu
suatu kejahatan yang dalam pandangan Tuhan sangat buruk sekali." (38)
(Qur'an, 17: 23 - 38)
Sungguh ini suatu budi pekerti yang luhur,
suatu integritas moral yang sempurna sekali! Setiap ayat yang tersebut ini akan
membuat pembaca jadi tertegun membacanya, ia akan mengagungkannya melihat
susunan yang begitu kuat, begitu indah, dengan daya tarik kata-katanya, artinya
yang sangat luhur serta cara melukiskannya yang sudah merupakan suatu mujizat.3
Sayang sekali disini tempatnya tidak mengijinkan kita menyatakan rasa kekaguman
itu! Ya, bagaimana akan mungkin, sedang untuk membicarakan keenam belas ayat
itu saja seharusnya diperlukan sebuah buku tersendiri yang cukup besar!
Qur'an dan budi-pekerti
Kalau kita mau membawakan satu segi saja
dari budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Qur'an, tentunya
bidangnya akan luas sekali, yang tidak mungkin dapat ditampung dalam penutup
buku ini. Cukup kiranya kalau kita sebutkan, bahwa tidak ada sebuah buku pun
yang pernah memberikan dorongan begitu besar kepada orang supaya melakukan
kebaikan, seperti yang diberikan oleh Qur'an itu. Tidak ada buku yang begitu
agung mengangkat martabat manusia seperti yang diperlihatkan Qur'an. Juga yang
bicara tentang perbuatan baik dan kasih-sayang, tentang persaudaraan dan
cinta-kasih, tentang tolong-menolong dan keserasian, tentang kedermawanan dan
kemurahan hati, tentang kesetiaan dan menunaikan amanat, tentang kehersihan dan
ketulusan hati, keadilan dan sifat pemaat, kesabaran, ketabahan, kerendahan
hati dan dorongan melakukan perbuatan terhormat, berbakti dan mencegah
melakukan perbuatan jahat, dengan i'jaz4 (mujizat) yang tak ada taranya dalam
menyajikan seperti yang dikemukakan oleh Qur'an itu. Tak ada buku melarang
sikap lemah dan pengecut, sifat egoisma dan dengki, kebencian dan kezaliman,
berdusta dan mengumpat, pemborosan, kekikiran, tuduhan palsu dan perkataan
buruk, permusuhan, perusakan, tipu-muslihat, pengkhianatan dan segala sifat dan
perbuatan hina dan mungkar - seperti yang dilarang oleh Qur'an, dengan begitu
kuat, meyakinkan, dengan i'jaz (mujizat), yang diturunkan dalam wahyu kepada
Nabi berbangsa Arab itu. Tiada sebuah surah pun yang kita baca, yang tidak akan
memberi anjuran yang mendorong kita melakukan perbuatan baik, menganjurkan kita
berbakti dan mencegah kita melakukan perbuatan jahat. Dianjurkannya orang
mencapai kesempurnaan yang akan membawa kepada kehidupan harga diri dan
budipekerti yang luhur. Kita dengarkan Qur'an mengenai toleransi:
"Tangkislah kejahatan itu dengan cara
yang sebaik-baiknya. Kami mengetahui apa yang mereka sebutkan." (Qur'an,
23: 96)
"Kebaikan dan kejahatan itu tidak
sama. Tangkislah (kejahatan) itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga
orang yang tadinya bermusuhan dengan engkau, akan menjadi sahabat yang akrab
sekali." (Qur'an, 41: 34)
Tetapi toleransi yang dianjurkan Qur'an ini
tidak mendorong orang bersikap lemah, melainkan menyuruh orang supaya berwatak
terhormat (nobility of character), selalu berlumba untuk kebaikan dan
menjauhkan diri dari segala kehinaan:
"Apabila ada orang memberi salam
penghormatan kepadamu, balaslah dengan cara yang lebih baik, atau
(setidak-tidaknya) dengan yang serupa." (Qur'an, 4: 86)
"Dan kalau kamu mengadakan (pukulan)
pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau
kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah
(sabar)." (Qur'an, 16: 126)
Dan ini jelas sekali, bahwa toleransi yang
dianjurkan itu ialah dalam arti yang terhormat, tanpa bersikap lemah
samasekali, melainkan sepenuhnya sikap yang disertai harga diri.
Toleransi yang dianjurkan oleh Qur'an
dengan cara yang terhormat ini dasarnya ialah persaudaraan, yang oleh Islam
dijadikan tiang kebudayaan, dan yang dimaksud pula menjadi persaudaraan
antar-manusia di seluruh jagat. Corak persaudaraan Islam ini ialah yang
terjalin dalam keadilan dan kasih-sayang tanpa suatu sikap lemah dan menyerah.
Persaudaraan atas dasar persamaan dalam hak, dalam kebaikan dan kebenaran tanpa
terpengaruh oleh untung-rugi kehidupan duniawi, sekalipun mereka dalam
kekurangan. Mereka ini lebih takut kepada Allah daripada kepada yang lain.
Mereka ini orang-orang yang punya harga diri. Sungguhpun begitu mereka sangat
rendah hati. Mereka orang-orang yang dapat dipercaya, yang menepati janji bila
mereka berjanji, orang-orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan,
yang apabila mendapat musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun - 'Kami kepunyaan Allah dan kepadaNya juga kami kembali.' Tak ada yang
membuang muka dan berjalan di muka bumi dengan sikap congkak. Tuhan menjauhkan
mereka dari sifat serakah dan kikir, tiada berkata dusta, terhadap Tuhan dan
kepada sesamanya. Mereka tidak mau menyebarkan perbuatan keji di kalangan
orang-orang beriman, mereka menjauhkan diri dari segala dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka segera meminta maaf.
Mereka dapat menahan amarah dan dapat pula memaafkan orang lain. Sedapat
mungkin mereka menghindarkan prasangka, mereka tidak mau saling memata-matai
atau saling menggunjing dari belakang. Mereka tidak boleh memakan harta
sesamanya dengan cara yang tidak sah, lalu akan membawa perkara itu kepada
hakim, supaya mereka dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa itu. Jiwa
mereka dibersihkan dari segala sifat dengki, tipu-menipu, cakap kosong dan
segala perbuatan yang rendah.
Sistem moral
Ciri-ciri khas watak dan etika yang menjadi
landasan budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang murni itu dasarnya ialah -
seperti yang sudah kita sebutkan - disiplin rohani seperti yang ditentukan oleh
Qur'an dan yang bertalian pula dengan iman kepada Allah. Inilah soal yang pokok
sekali dan ini pula yang akan menjamin adanya sistem moral dalam jiwa orang
dengan tetap bersih dari segala noda, jauh dari segala penyusupan yang mungkin
akan merusak. Moral yang dasarnya memperhitungkan untung-rugi segera akan
diperbesar selama ia yakin bahwa kelemahan demikian itu tidak akan menggangu
keuntungannya. Orang yang dasar moralnya memperhitungkan untung-rugi demikian
ini sikap luarnya akan berbeda dengan isi hati. Keadaannya yang disembunyikan
akan berbeda dengan yang diperlihatkan kepada orang. Ia berpura-pura jujur,
tapi tidak akan segan-segan ia menjadikan itu hanya sebagai tameng untuk
memancing keuntungan. Ia berpura-pura benar, tapi tidak akan segan-segan ia
meninggalkannya kalau dengan meninggalkan itu ia akan mendapat keuntungan.
Orang yang pertimbangan moralnya demikian ini dalam menghadapi godaan mudah
sekali jadi lemah, mudah sekali terbawa arus nafsu dan tujuan-tujuan tertentu!
Kelemahan ini ialah gejala yang jelas
terlihat dalam dunia kita sekarang. Sudah sering sekali orang mendengar adanya
perbuatan-perbuatan skandal dan korupsi dimana-mana dalam dunia yang sudah
beradab ini. Sebabnya ialah karena kelemahan, orang lebih mencintai harta dan
kedudukan atau kekuasaan daripada nilai moral yang tinggi dan iman yang
sebenarnya. Tidak sedikit mereka terjerumus masuk ke dalam jurang tragedi moral
dan melakukan kejahatan yang paling keji, kita lihat pada mulanya mereka pun
berakhlak baik, tetapi masih untung-rugi itu juga yang menjadi dasar moralnya.
Tadinya mereka menganggap bahwa sukses dalam hidup ini bergantung pada
kejujuran. Lalu mereka bersikap jujur karena ingin sukses, bukan bersikap jujur
karena terikat oleh akidahnya -oleh keyakinan batinnya. Mereka berhenti hanya
sampai disitu, meskipun ini sangat membahayakan dirinya. Tetapi setelah mereka
lihat bahwa mengabaikan masalah kejujuran dalam peradaban abad kini merupakan
salah satu jalan mencapai sukses, maka kejujuran itu pun mereka abaikan. Yang
demikian ini ada yang tetap tertutup dari mata orang, rahasianya tidak sampai
terbongkar dan akan tetap dipandang terhormat, tetapi ada juga yang rahasianya
terbongkar dan ia tercemar, yang kadang berakhir dengan bunuh diri.
Jadi pembinaan sistem watak dan moral atas
dasar untung-rugi ini sewaktu-waktu akan menjerumuskannya kedalam bahaya.
Sebaliknya, apabila pembinaannya itu didasarkan atas sistem rohani seperti
dirumuskan oleh Qur'an, ini akan menjamin tetap bertahan, takkan terpengaruh
oleh sesuatu kelemahan. Niat yang menjadi pangkal bertolaknya perbuatan ialah
dasar perbuatan itu dan sekaligus harus menjadi kriteriumnya pula. Orang yang
membeli undian untuk Pembanguman sebuah rumahsakit, ia tidak membelinya dengan
niat hendak beramal, melainkan karena mengharapkan keuntungan. Orang yang
memberi karena ada orang yang datang meminta secara mendesak dan ia memberi
karena ingin melepaskan diri, tidak sama dengan orang yang memberi karena
kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak meminta secara
mendesak, mereka yang oleh orang yang tidak mengetahui dikira orang-orang yang
berkecukupan karena mereka memang tidak mau meminta-minta itu. Orang yang
berkata sebenarnya kepada hakim karena takut akan sanksi hukum terhadap seorang
saksi palsu, tidak sama dengan orang yang berkata sebenarnya karena ia memang
yakin akan arti kebenaran itu. Juga moral yang landasannya perhitungan untung
rugi kekuatannya tidak akan sama dengan moral yang sudah diyakini benar bahwa
itu bertalian dengan kehormatan dirinya sebagai manusia, bertalian dengan
keimanannya kepada Allah. Dalam hatinya sudah tertanam landasan rohani yang
dasarnya keimanan kepada Allah itu.
Arti larangan minuman keras dan judi
Qur'an tetap menekankan, bahwa pikiran yang
rasionil harus tetap bersih, jangan dimasuki oleh sesuatu yang akan
mempengaruhi lukisan iman dan watak yang indah itu. Oleh karenanya minuman
keras dan judi itu dipandang kotor sebagai perbuatan setan. Kalaupun ada
manfaatnya buat orang, namun dosanya lebih besar dari manfaatnya. Dengan
demikian harus dijauhi. Perjudian akan mengalihkan perhatian si penjudi dari
persoalan lain, waktunya akan habis dan hiburan ini akan membuatnya lupa dari
segala kewajiban moral yang baik. Sedang minuman keras akan menghilangkan
pikiran dan harta - untuk meminjam katakata Umar bin'l-Khattab, ketika ia
berharap Tuhan akan memberikan penjelasan mengenai hal ini. Sudah wajar sekali
pikiran yang rasionil itu akan jadi sesat kalau ia hilang atau berubah, dan
kesesatan itu akan lebih mudah mendorong orang melakukan perbuatan rendah,
sebaliknya daripada akan menjauhkan diri dari kejahatan.
Sistem moral yang dibawa Qur'an untuk
'negara utama' itu bukan dengan tujuan supaya jiwa manusia samasekali jauh dari
kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga karenanya ia akan hanyut ke dalam
hidup pertapaan dalam merenungkan alam, dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu
untuk itu. Sistem moral ini tidak rela membiarkan manusia menyerahkan diri
kepada kesenangan supaya jangan ia tenggelam kedalam jurang kemewahan dan
karenanya ia akan melupakan segalanya. Bahkan moral ini hendak membuat manusia
menjadi umat pertengahan, mengarahkan mereka kepada lembaga budi yang lebih
murni, lembaga yang mengenal alam dan segala isinya ini.
Qur'an dan ilmu pengetahuan
Qur'an bicara tentang ciptaan Tuhan yang
ada dalam alam ini dengan suatu pengarahan yang hendak mengantarkan kita sejauh
mungkin dapat kita ketahui. Ia bicara tentang bulan hari Pertama, tentang
matahari dan bulan, tentang siang dan malam, tentang bumi dan apa yang
dihasilkan bumi, tentang langit dan bintang-bintang yang menghiasinya, tentang
samudera, dengan kapal yang berlayar supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan,
tentang binatang untuk beban dan ternak, tentang ilmu dan segala cabangnya yang
terdapat dalam alam ini. Qur'an bicara tentang semua ini, dan menyuruh kita
merenungkan dan mempelajarinya, supaya kita menikmati segala peninggalan dan
hasilnya itu sebagai tanda kita bersyukur kepada Allah. Apabila Qur'an telah
mengajarkan etika Qur'an kepada manusia, menganjurkan mereka supaya berusaha
terus untuk mengetahui segala yang ada dalam alam ini, sudah sepatutnya pula
bila dari pengamatan mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka akan sampai
ke tujuan sejauh yang dapat ditangkap oleh akal pikirannya itu. Sudah
sepatutnya pula mereka membangun sistem ekonominya itu atas dasar yang
sempurna.
Sistem ekonomi
Sistem ekonomi yang dibangun atas dasar
moral dan rohani seperti yang sudah kita sebutkan itu, sudah seharusnya akan
mengantarkan manusia ke dalam hidup bahagia, dan menghapus segala penderitaan
dari muka bumi ini. Prinsip-prinsip agung yang oleh Qur'an ditekankan sekali
supaya ditanamkan kedalam jiwa seperti di tempat akidah dan iman itu, akan
membuat orang tidak sudi melihat masih adanya penderitaan di muka bumi ini,
atau masih adanya kekurangan yang dapat diberantas tapi tidak dilakukan. Bagi
orang yang sudah mendapat ajaran ini yang pertama sekali akan ditolaknya ialah
riba yang menjadi dasar kehidupan ekonomi dewasa ini, dan yang menjadi sumber
pendieritaan seluruh umat manusia. Oleh karena itu Qur'an secara tegas sekali
mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan:
Larangan riba
"Mereka yang memakan riba tidak akan
dapat berdiri, kalau pun berdiri hanya akan seperti orang yang sudah kemasukan
setan karena penyakit gila." (Qur'an 2: 275)
"Setiap riba yang kamu lakukan untuk
menambah harta orang lain dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah.
Tetapi zakat yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka itu yang akan
mendapat balasan berlipat ganda." (Qur'an 30: 39)
Diharamkannya riba adalah norma dasar untuk
kebudayaan yang akan dapat menjamin kebahagiaan dunia. Bahaya riba dalam
bentuknya yang paling kecil ialah ikut sertanya orang yang tidak bekerja dalam
suatu hasil usaha orang lain hanya karena ia sudah meminjamkan uang kepadanya,
dengan alasan lagi bahwa dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang lain
memperoleh hasil keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini tidak dilakukan si
peminjam tidak akan dapat berusaha dan dengan sendirinya takkan dapat memungut
keuntungan. Kalau hanya ini saja satu-satunya bentuk riba itu, ini pun takkan
dapat dijadikan alasan. Kalau orang yang meminjamkan uang itu mampu menjalankan
sendiri, ia tidak akan meminjamkannya kepada orang lain, dan kalau uang itu
tetap ditangannya sendiri tidak dijalankan dalam usaha, maka uang itu pun tidak
akan mendatangkan keuntungan. Sebaliknya, sedikit demi sedikit uangnya itu akan
habis dimakan pemiliknya sendiri. Jika ia akan meminta bantuan orang lain
menjalankan uangnya dengan bagi hasil menurut keuntungan yang akan diperoleh,
tentu caranya bukan dengan jalan dipinjamkan sebagai modal dengan laba
tertentu, melainkan dengan cara si pemilik uang itu ikut serta dengan orang
yang menjalankan uangnya atas dasar bagi untung. Kalau si pengusaha beruntung,
maka si pemilik modal itu pun akan mendapat bagian keuntungan; kalau rugi, dia
pun akan turut memikul kerugiannya. Sebaliknya kalau kepada pemilik modal itu
akan ditentukan suatu laba, meskipun yang mengusahakan tidak mendapat
keuntungan apa-apa, maka itu adalah suatu eksploitasi illegal, suatu pemerasan
yang tidak sah.
Dan tidak akan dapat terjadi bahwa harta
itu dapat diperlakukan seperti yang lain-lain, dapat dipersewakan seperti
menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa laba uang tunai harus sesuai
dengan hasil sewa barang-barang yang lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk
pengeluaran dan dapat juga dipakai untuk produksi, yang bisa dimanfaatkan untuk
kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan (dosa), dengan harta bergerak dan
tidak bergerak lainnya, besar sekali perbedaannya. Orang yang menyewa tanah,
rumah, hewan atau barang apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang berarti
akan sangat berguna buat dia, kecuali jika dia memang orang bodoh atau orang
edan, yang segala gerak-geriknya sudah tidak lagi diperhitungkan orang.
Sebaliknya yang mengenai uang modal, yang
biasanya dipinjam untuk tujuan-tujuan perdagangan yang sebaik-baiknya.
Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada soal untung atau rugi. Sedang
mengenai sewa-menyewa barang-barang bergerak dan tidak bergerak untuk
dijalankan dalam usaha, sedikit sekali yang mengalami kerugian, kecuali dalam
keadaan yang abnormal, yang tidak masuk dalam keadaan biasa. Apabila keadaan
abnormal ini yang terjadi, maka kekuasaan hukum segera pula campur tangan
antara si pemilik dengan si penyewa - seperti yang sering terjadi dalam semua
negara di dunia - untuk menghilangkan ketidak adilan terhadap si penyewa serta
menolongnya dari tindakan si pemilik yang hanya akan memungut laba dari
usahanya itu. Sebaliknya, dengan menentukan bunga uang tunai, dengan
lebih-kurang 7% atau 9%, maka ini tidak akan mengubah, bahwa si peminjam dapat
terancam oleh kerugian modal, disamping kerugian usahanya sendiri. Apabila
disamping itu dia masih juga lagi dituntut dengan bunga, maka inilah yang
disebut kejahatan (dosa). Akibat ini akan menimbulkan permusuhan, sebaliknya
daripada persaudaraan; akan menimbulkan kebencian, bukan cinta kasih. Inilah
sumber kesengsaraan dan segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini.
Bahaya riba yang lain
Kalau memang inilah bahaya riba dalam
bentuknya yang paling kecil, dan begitu pula akibat-akibat yang timbul, apalagi
dengan bentuk lain tatkala si pemberi pinjaman itu sudah lebih mendekati
binatang buas daripada manusia, atau sipeminjam itu sudah sangat membutuhkan
uang di luar keperluan penanaman modal atau produksi. Adakalanya ia sangat
membutuhkan uang untuk keperluan nafkah yang konsumtif, untuk keperluan
makannya atau makan keluarganya. Ketika itulah perhatiannya hanya pada yang
lebih mudah saja dulu, sebelum ia dapat memegang sesuatu pekerjaan yang dapat
menjamin keperluan hidupnya dan kemudian dapat membayar kembali utangnya. Ini
sudah merupakan satu tugas perikemanusiaan sebagai langkah pertama. Dan ini
pula yang dirumuskan oleh Qur'an. Bukankah dalam keadaan serupa ini pemberian
pinjaman dengan riba sudah merupakan suatu kejahatan yang sama dengan
pembunuhan? Yang lebih parah lagi dari kejahatan ini ialah adanya segala macam
tipu-muslihat dengan jalan riba itu untuk merampas harta orang-orang yang
lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga hartanya. Tipu muslihat ini tidak
kurang pula jahatnya dari pencurian yang rendah. Dan setiap pelaku ke arah ini
harus dihukum seperti pencuri atau lebih keras lagi.
Riba dan penjajahan
Riba adalah salah satu faktor yang turut
menjerumuskan dunia ke dalam bencana penjajahan, dengan segala macam
penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan itu. Sebagian besar masalah
penjaJahan itu dimulai oleh sekelompok tukang-tukang riba - secara perseorangan
atau dalam bentuk badan-badan usaha - yang mendatangi beberapa negara dengan
memberikan pinjaman kepada penduduk. Kemudian mereka menyusup masuk lebih dalam
lagi sampai mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana kelak anak
negeri sudah menyadari kembali dan hendak mempertahankan diri dan harta mereka,
orang-orang asing itu cepat-cepat meminta bantuan negaranya. Negara ini pun
kemudian masuk atas nama hendak melindungi rakyatmya. Kemudian ia menyusup juga
masuk lebih dalam lagi, lalu berkuasa sebagai penjajah. Sekarang mereka sebagai
yang dipertuan. Kemerdekaan orang lain dirampas. Sebagian besar sumber-sumber
kskayaan negeri itu mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi hilang,
penderitaan mulai mencekam seluruh kawasan itu dan bayangan kesengsaraan sudah
pula merayap-rayap kedalam hati mereka. Pikiran mereka jadi kacau, moral jadi
lemah, iman mereka pun mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf
manusia yang sebenarnya ke taraf yang lebih hina, yang bagi orang yang beriman
kepada Allah tidak akan sudi hidup demikian, sebab, hanya kepada Allah semata
orang merendahkan diri dan harus mengabdi.
Juga penjajahan itu sumber peperangan,
sumber penderitaan besar yang sangat menekan kehidupan seluruh umat manusia
dewasa ini. Selama ada riba, selama ada penjajahan, jangan diharap manusia akan
dapat kembali ke masa persaudaraan dan saling cinta antara sesamanya. Harapan
akan kembali ke masa serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas
dasar yang dibawa oleh Islam dan diwahyukan dalam Qur'an itu dapat dibangun
kembali.
Sosialisma Islam
Didalam Qur'an ada konsepsi sosialisma yang
belum lagi dibahas orang. Sosialisma ini tidak didasarkan kepada perang modal
dan perjuangan kelas, seperti yang terdapat sekarang dalam sosialisma Barat,
melainkan dasarnya ialah karakter dan moral yang tinggi yang akan menjamin
adanya persaudaraan kelas, adanya kerja-sama dan saling bantu atas dasar
kebaikan dan kebaktian, bukan kejahatan dan saling permusuhan. Tidak sulit
orang akan melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan ini, seperti
yang sudah ditentukan oleh Qur'an mengenai zakat dan sedekah misalnya. Orang
dapat menilai, bahwa ini bukanlah sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas
kelas yang lain, atau kekuasaan suatu golongan atas golongan yang lain.
Kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an tidak mengenal adanya dominasi atau
sikap berkuasa, melainkan atas dasar persaudaraan yang sungguh-sungguh yang
didorong oleh keyakinan yang kuat akan persaudaraan itu; suatu keyakinan yang
membuat orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau memberi untuk si miskin,
orang melarat, orany yang membutuhkan dan segala yang diperlukannya akan
makanan, tempat tinggal, obat-obatan, pengajaran dan pendidikan. Mereka
memberikan itu atas dasar keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian penderitaan
dapat dihilangkan, karunia Tuhan dan kebahagiaan dapat merata kepada umat
manusia.
Tidak menghapuskan hak milik secara mutlak
Sosialisma Islam ini tidak sampai
menghapuskan hak milik secara mutlak, seperti halnya dengan sosialisma Barat.
Kenyataan sudah membuktikan - bolsyevisma di Rusia dan negara-negara sosialis
lainnya - bahwa menghapuskan hak milik itu suatu hal yang tidak mungkin.
Sungguhpun begitu, namun perusahaan-perusahaan negara harus tetap menjadi milik
bersama untuk kepentingan semua orang. Mengenai ketentuan perusahaan-perusahaan
negara itu terserah kepada negara. Oleh karena itu mengenai ketentuan ini sejak
abad-abad permulaan dalam sejarah Islam sudah terdapat perbedaan pendapat. Dari
kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri ada yang terlampau keras menjalankan
ketentuan sosialisma ini, sehingga segala yang diciptakan Tuhan dijadikan milik
bersama dan untuk kepentingan umum. Mereka memandang tanah dan segala yang
terkandung, sama dengan air dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi. Yang
boleh dimiliki hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha dan perjuangan
masing-masing. Ada juga yang tidak berpendapat demikian. Mereka menyatakan
bahwa tanah boleh dimiliki dan dianggap sebagai barang-barang yang boleh
dipertukarkan.
Sistem sosialisma yang sudah mantap
Akan tetapi persetujuan yang sudah dicapai
di kalangan mereka ialah sama dengan yang berlaku di Eropa sekarang, yaitu
menentukan bahwa setiap orang harus mencurahkan segala kemampuannya untuk
kepentingan masyarakat, dan masyarakat harus pula berusaha, untuk kepentingan
pribadi dalam mengatasi segala keperluannya. Setiap Muslim berhak menerima
kebutuhannya serta kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya dari baitulmal
(perbendaharaan negara) Muslimin, selama ia belum mendapat pekerjaan yang akan
menjamin keperluan hidupnya, atau selama pekerjaan yang dipegangnya itu tidak
mencukupi keperluannya dan keperluan keluarganya.
Selama norma-norma etik di dalam Qur'an
seperti yang sudah kita sebutkan itu dijalankan, maka tidak akan ada orang yang
mau berdusta; tidak akan ada orang yang mau mengatakan, bahwa ia penganggur,
padahal yang sebenarnya dia tidak mau bekerja, tidak akan ada orang yang mau
menyatakan, bahwa penghasilan dari pekerjaannya tidak mencukupi, padahal
sebenarnya sudah lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada masa permulaan Islam
dahulu sudah mewajibkan diri menyelidiki sendiri keadaan umat Islam untuk
kemudian dapat mengatasi segala keperluan orang yang memang berada dalam
kebutuhan.
Sosialisma dasarnya persaudaraan
Dari sini dapat kita lihat bahwa sosialisma
dalam Islam bukanlah sosialisma harta serta pembagiannya, melainkan sosialisma
yang menyeluruh, yang dasarnya persaudaraan dalam kehidupan rohani dan moral
serta dalam kehidupan ekonomi. Kalau seseorang belum sempurna imannya sebelum
ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, maka imannya itu pun
memang tidak sempurna kalau tidak dapat ia turut mendukung orang memberantas
kemiskinan dan memberikan derma atau dana untuk kemakmuran bersama, membagikan
kekayaan sebagai karunia Tuhan itu, baik dengan diketahui, atau tidak diketahui
orang. Makin besar cintanya kepada orang lain, makin dekat ia kepada Tuhan. Dia
sedikit pun merasa lebih gembira. Apabila Tuhan telah membuat manusia itu
bertingkat-tingkat, memberikan rejeki kepada siapa saja yang dikehendakiNya
serta menentukan pula, maka manusia takkan lebih baik keadaannya kalau tak ada
rasa saling hormat, yang kecil menghormati yang lebih besar, yang besar
mencintai yang lebih kecil, si kaya mau memberi untuk si miskin demi Allah
semata, karena rasa syukur.
Rasanya tidak perlu kita menyebutkan lagi
apa yang sudah disebutkan Qur'an tentang sistem ekonomi, tentang waris, tentang
wasiat (testamen), tentang perjanjian-perjanjian, perdagangan dan sebagainya.
Dalam memberikan isyarat yang singkat sekalipun mengenai masalah-masalah hukum
atau soal-soal kemasyarakatan, akan memerlukan ruangan sekian kali lebih banyak
dari pasal ini. Cukup kalau kita sebutkan saja, bahwa apa yang sudah disebutkan
dalam Qur'an sehubungan dengan masalah-masalah tersebut kiranya sampai sekarang
belum ada suatu undang-undang yang lebih baik dari itu. Bahkan orang akan
terkejut sekali bila ia melihat adanya beberapa penjelasan seperti perjanjian
tertulis mengenai utang-piutang sampai pada waktu tertentu kecuali dalam
perdagangan, atau seperti dalam mengirimkan dua orang juru pendamai jika
dikuatirkan akan terjadi perceraian antara suami isteri, atau terhadap dua
golongan yang sedang berperang dan pihak yang menyerang dengan sewenang-wenang
dan tidak mau diajak damai itu harus diperangi sampai ia mau kembali kepada
perintah Tuhan - sungguh orang akan kagum sekali melihat semua ini. Apalagi
akan membandingkannya dengan berbagai macam undang-undang yang pernah ada,
kalau pun perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
diletakkan Qur'an itu sudah memang cukup baik.
Jadi tidak mengherankan sekali - seperti
yang sudah kita sebutkan tentang riba dan tentang sosialisma Islam sebagai
dasar sistem ekonomi, yang dilukiskan di dalam Qur'an dengan penjelasan hukum
sebagai suatu penyusunan undang-undang yang terbaik yang pernah ada dalam
sejarah - kalau kebudayaan Islam itu juga yang menjadi kebudayaan yang layak
buat umat manusia dan yang benar-benar akan memberikan hidup bahagia.
Mungkin ada yang menjadi keberatan pihak Barat
Setelah melihat apa yang sudah kita
kemukakan mengenai lukisan Qur'an tentang kebudayaan serta landasannya, mungkin
ada beberapa penulis Barat yang berpendapat bahwa sifat manusia tidak sesuai
dengan sistem yang hendak memaksanya ke tingkat yang lebih tinggi diatas
kemampuan kodratnya sendiri, dan bahwa sistem demikian ini tidak akan mampu
hidup atau akan bertahan lama. Manusia menurut tanggapan mereka, digerakkan
oleh rasa harap dan cemas, oleh keinginan dan nafsu, sama halnya dengan makhluk
hewan, hanya saja dia makhluk berpikir homo sapiens. Bahwa manusia akan
menganut suatu sistem kebudayaan seperti yang digambarkan oleh Islam itu,
adalah suatu hal yang tidak mungkin, sekurang-kurangnya tidak mudah. Paling
jauh yang dapat kita lakukan dalam menyusun kehidupan masyarakat manusia ini
ialah memperbaiki nafsu itu, mengarahkan pikiran tentang harap dan cemas itu
sebaik-baiknya dari segi materialisma ekonomi semata. Sedang yang di luar itu
masyarakat tidak akan mampu melaksanakannya. Mungkin yang menjadi alasan mereka
ialah karena sistem Islam itu - seperti yang digambarkan Qur'an dan sudah saya
coba menguraikannya disini secara ringkas - belum dapat diharapkan didalam
masyarakat Islam sendiri kecuali pada masa Nabi dan pada masa permulaan sejarah
Islam. Kalau sistem ini memang sesuai dengan struktur kehidupan, tentu didalam
lingkungan Islam dahulu sudah dapat dijalankan dan dari sana akan sudah
tersebar ke seluruh dunia. Akan tetapi bilamana hal ini tidak terjadi, bahkan
sebaliknya yang terjadi, maka anggapan bahwa sistem ini sangat layak, dan dapat
menjamin kebahagiaan umat manusia, adalah anggapan yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
Keberatan yang salah
Atas keberatan ini kiranya pengakuan mereka
sendiri sudah cukup untuk menggugurkannya, yaitu bahwa sistem Islam itu
berjalan dan dipraktekkan pada masa Nabi dan pada permulaan sejarah Islam. Dan
Muhammad sendiri teladan yang paling baik dalam pelaksanaan itu. Kemudian
teladan yang baik itu diteruskan oleh para khalifah yang mula-mula. Mereka
terus berjalan dengan sistem itu sampai mencapai tujuan yang sempurna
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, adanya intrik-intrik dan ambisi-ambisi yang
timbul kemudian kadang dengan jalan Israiliat, kadang pula dengan jalan
rasialisma, itulah yang sedikit demi sedikit telah mengancam dasar-dasar Islam
yang sebenarnya.
Akibat daripada semua itu orang
berangsur-angsur kembali mengganti kehidupan rohani dengan materi, sifat
kemanusiaan dengan kebinatangan. Dan berhenti hanya sampai pada batas lingkaran
peradaban dewasa ini berada, yang hakekatnya hendak menjerumuskan umat manusia
kedalam penderitaan.
Teladan yang diberikan Muhammad
Muhammad sendiri teladan yang baik sekali
dalam melaksanakan kebudayaan seperti dilukiskan Qur'an itu. Dalam buku ini
contoh itu sudah kita lihat, bagaimana rasa persaudaraannya terhadap seluruh
umat manusia dengan cara yang sangat tinggi dan sungguh-sungguh itu
dilaksanakan. Saudara-saudaranya di Mekah semua sama dengan dia sendiri dalam
menanggung duka dan sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak
menanggungnya. Sesudah hijrah ke Medinah, dipersaudarakannya orang-orang
Muhajirin dengan Anshar demikian rupa, sehingga mereka berada dalam status
saudara sedarah. Persaudaraan sesama orang-orang beriman secara umum itu adalah
persaudaraan kasih-sayang untuk membangun suatu sendi kebudayaan yang masih
muda waktu itu. Yang memperkuat persaudaraan ini ialah keimanan yang
sungguh-sungguh kepada Allah dengan demikian kuatnya sehingga dibawanya
Muhammad kedalam komunikasi dengan Tuhan, Zat Yang Maha Agung. Sikapnya dalam
perang Badr, bagaimana ia berdoa kepada Tuhan mengharapkan pertolongan yang
dijanjikan kepadanya. Ia minta pertolongan itu dilaksanakan, dengan menyebutkan
bahwa bilamana angkatan Badr ini hancur, tak ada lagi ibadat. Ini merupakan
suatu manifestasi yang kuat dalam komunikasi.
Begitu juga tindakan-tindakannya yang lain
diluar Badr menunjukkan, bahwa dia selalu dalam komunikasi dengan Tuhan, diluar
saat-saat tertentu sewaktu wahyu turun. Komunikasinya ini ialah melalui
keimanannya dengan sungguh-sungguh, keimanan yang sampai membuat mati itu tiada
arti lagi. Maut malah dihadapinya dan diharapkannya. Orang yang sungguh-sungguh
dalam imannya tidak pernah takut mati, bahkan mengharapkannya selalu. Ajal
sudah ditentukan. Dimana pun manusia berada, maut akan mencapainya selalu,
sekalipun di dalam benteng-benteng yang kukuh. Iman inilah yang membuat
Muhammad tetap tabah ketika melihat kaum Muslimin lari tunggang-langgang pada
permulaan pecah perang Hunain. Dipanggilnya orang-orang itu tanpa menghiraukan
maut yang sedang mengepungnya, dengan sejuinlah kecil orang-orang yang masih
bertahan bersama-sama dia. Iman inilah yang membuat dia memberikan apa saja
yang ada padanya tanpa ia sendiri takut kekurangan. Ia telah mencapai puncak
nilai-nilai kebaikan seperti yang diserukan oleh Kitabullah.
Dengan teladan baik yang diberikannya itu
dalam permulaan sejarah Islam kaum Muslimin telah mengikuti jejaknya.
Semua itu, dengan Muslimin pada permulaan
sejarah Islam, yang telah mengikuti teladan baik yang diberikannya, telah
membuat Islam begitu pesat berkembang pada dasawarsa pertama, yang kemudian
disusul dengan berpulangnya Nabi ke rahmatullah. Islam tersebar ke seluruh
kawasan, panji-panji Islam berkibar tinggi sesuai dengan kebudayaan yang
berlaku. Dari bangsa-bangsa yang tadinya sangat lemah dan berantakan, telah
dapat pula dibangun menjadi bangsa-bangsa dan negara-negara yang kuat, dan
menjadi pelopor ilmu pengetahuan. Dengan jalan ini telah banyak sekali rahasia-rahasia
alam yang dapat diketahuinya. Karena itu diciptakannya pula karya-karya besar
yang menjadi kebanggaan zaman sekarang, yang sudah dianggap sebagai zaman
keemasan dan ilmu, tanpa memperkosa kebahagiaan umat manusia karena
pengabdiannya kepada materi dan imannya kepada Tuhan yang masih lemah itu.
Ulama yang menyesatkan
Seperti dalam kebudayaan lain, kebudayaan
Islam juga banyak dimasuki oleh ambisi-ambisi rasialisma dan Israiliat. Soalnya
ialah karena ada segolongan ulama yang seharusnya menjadi pewaris para nabi
malah mereka ini lebih menyukai kekuasaan daripada kebenaran, daripada nilai
moral. Ilmu yang ada pada mereka dipakai alat untuk menyesatkan orang-orang
awam dan generasi mudanya, sama halnya dengan kebanyakan ulama-ulama sekarang
yang juga mau menyesatkan orang-orang awam beserta angkatan mudanya itu.
Ulama-ulama demikian ini ialah pembela-pembela setan, yang akan lebih berat
memikul tanggungjõawab dihadapan Tuhan.
Maka kewajiban pertama buat setiap ulama
yang benar-benar ikhlas demi ilmu dan demi Tuhan, ialah harus siap melawan
mereka dan memberantas semua bibit yang merusak itu. Mereka hendak membelokkan
orang dari kebenaran, hendak menyesatkan orang dari jalan yang lurus. Apabila
ulama-ulama (pendeta-pendeta) yang menyesatkan di Barat itu telah ikut memegang
peranan dalam melibatkan gereja dan ilmu kedalam kancah saling berperang dalam
merebut kekuasaan, maka peranan demikian tidak ada buat mereka di negeri-negeri
Islam, sebab dalam kebudayaan Islam agama dan ilmu saling terjalin, sebab agama
tanpa ilmu suatu kekufuran, ilmu tanpa agama sesat. Sekiranya dunia ini sampai
bernaung dibawah kebudayaan Islam seperti yang dilukiskan Qur'an, dan tidak
diperkosa oleh adanya penaklukan-penaklukan Mongolia dan yang semacamnya yang
telah masuk Islam tapi tidak menjalankan prinsip-prinsip Islam atau berusaha
menyebarkannya, malah Islam dipakainya sebagai alat untuk menguasai orang-orang
awam di kalangan Muslimin dengan prinsip yang sama sekali bertentangan dengan
prinsip-prinsip persaudaraan Islam - tentu keadaan dunia ini tidak akan seperti
ini, umat manusia akan selamat dari beberapa hal yang kini menjerumuskan mereka
kedalam jurang penderitaan.
Kebudayaan Islam dalam dunia kita sekarang
Saya yakin, bahwa kebudayaan yang
dilukiskan oleh Qur'an itu akan tersebar ke dunia luas kalau saja korps ulama
ini mau tampil ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah caranya, jauh dari
segala cara berpikir yang beku dan fanatik. Kebudayaan ini akan berdialog
dengan hati, juga akan berdialog dengan pikiran, dan dapat dijamin manusia dari
segala bangsa akan menerimanya dengan hati terbuka tanpa dapat dicegah oleh
ambisi-ambisi pribadi. Untuk ini yang diperlukan oleh ulama-ulama itu tidak
lebih dari hanya supaya mereka menjadi orang-orang yang benar-benar beriman, mengajak
orang kepada ajaran Tuhan yang sebenarnya dan kepada kebudayaan yang demikian
ini dengan hati yang ikhlas demi agama. Ketika itulah orang merasa bahagia
dengan persaudaraannya dalam Tuhan seperti pada zaman Nabi, mereka merasa
bahagia.
Apa yang terjadi pada masa Nabi dan pada
permulaan sejarah Islam sudah tidak memerlukan pembuktian lagi; dengan apa yang
sudah saya sebutkan dalam pengantar buku ini, bahwa revolusi rohani yang
sinarnya sudah dipancarkan oleh Muhammad ke seluruh dunia ini sudah seharusnya
akan membukakan jalan umat manusia kepada kebudayaan baru yang selama ini
dicarinya. Dan saya tidak pernah ragu sekejap pun mengenai hal ini.
Akan tetapi ada beberapa sarjana Barat yang
menyatakan beberapa keberatan dengan menghubungkannya pada jiwa yang menjadi
sumber konsepsi kebudayaan Islam itu. Atas dasar itu mereka mengambil
kesimpulan, bahwa Islamlah yang menjadi sebab mundurnya bangsa-bangsa yang
menganut agama ini. Yang penting diantaranya ialah apa yang mereka katakan,
bahwa jabariah Islam itulah yang membuat semangat umat Islam jadi kendor,
membuat mereka malas menghadapi perjuangan hidup, sehingga mereka menjadi
golongan yang hina-dina. Dalam menghadapi tantangan ini dan apa yang sejalan
dengan itu, inilah yang akan menjadi pokok pembahasan kedua pada bagian penutup
buku ini.
Catatan kaki:
1 Lihat halaman xlvii (A).
2 Kata 'irfan dan ma'rifat yang kadang
mempunyai arti yang sama, disini kata ma'rifat tidak saya pergunakan sebagai
istilah ilmiah yang umum dalam tasauf dan ilmu kalam, juga tidak saya salin
dengan gnosis atau connaissance, melainkan mengingat persoalannya secara
konotatif saya pergunakan kata persepsi, yakni pengamatan, pengenalan dan
kesadaran batin (A).
3 Sudah tentu terjemahan ayat-ayat Qur'an
di atas begitu juga yang lain tidak akan dapat mengungkapkan keagungan dan
keindahan yang terkandung dalam bahasa aslinya, yang memang tidak mungkin dapat
ditiru atau diterjemahkan dengan gaya yang sama (A).
4 I'jaz, 'yang tak dapat ditiru,' ciri khas
Qur'an yang luar biasa, yang juga dari akar kata yang sama dengan mujizat (A).
0 comments:
Post a Comment