Malik b. 'Auf menghasut
DENGAN perasaan gembira karena kemenangan
yang telah diberikan Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota
itu dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena kemenangan besar ini
tidak banyak minta kurban. Setiap terdengar suara Bilal mengucapkan azan
sembahyang, cepat-cepat mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebutan di sekitar
Rasulullah, dimana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.
Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang,
dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk
Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan
bahwa perjuangan sebagian besar sudah membawa kemenangan. Akan tetapi limabelas
hari kemudian setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita
yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah, Kabilah Hawazin
yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur-laut Mekah, setelah
melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Mekah dan menghancurkan
berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran; pihak Muslimin akan
juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh mereka apa yang harus mereka lakukan
dalam mencegah bencana yang akan menimpa mereka itu. dan membendung Muhammad
serta mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan kemerdekaan
kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka semua digabungkan kedalam
suatu kesatuan di bawah naungan Islam.
Untuk itu Malik b. 'Auf dari Banu Nashr
sekarang berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian
juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua ikut, kecuali
Ka'b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada orang yang bernama Duraid
bin'sh-Shimma, orang yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat
ikut berperang, tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman
dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan. Kabilah-kabilah itu semua
berkumpul, membawa serta harta-benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka
menuju dataran Autas. Bilamana dengusan unta, keledai yang melengking, tangisan
anak dan kambing yang mengembik-embik sampai ke telinga Duraid, ia bertanya
kepada Malik b. 'Auf:
"Kenapa semua harta-benda, wanita dan
anak-anak itu ikut serta dalam peperangan?"
Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna
memberi semangat kepada angkatan perangnya.
"Kalau kalian akan mengalami kekalahan
mungkinkah hal ini bisa mencegahnya?" kata Duraid lagi. "Kalau harus
menang juga, maka yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya; sebaliknya
kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan hartamu hanya akan membawa
bencana."
Dengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi
orang banyak ikut Malik. Dia seorang pemuda berusia tigapuluh tahun,
bersemangat dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam
perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.
Sekarang Malik memerintahkan supaya orang
berangkat ke puncak gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum
Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang, sehingga dengan
serangan satu orang saja barisan mereka akan sudah jadi lemah, mereka akan
kucar-kacir, akan saling menghantami sesama mereka. Dengan demikian mereka akan
hancur, pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah takkan
berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja
di seluruh jazirah Arab, suatu kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam
menghadapi kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik ditaati
oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di selat wadi itu.
Muslimin berangkat ke Hunain
Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu
tinggal di Mekah, dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka
alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat pula cepat-cepat.
Mereka bergerak dalam jumlah duabelas ribu orang. Sepuluh ribu terdiri dari
mereka yang telah menyerbu dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri
dari orang-orang Quraisy yang sudah Islam - di antaranya Abu Sufyan b. Harb. Mereka
semua mengenakan pakaian berlapis besi didahului oleh pasukan berkuda dan unta
yang membawa perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan
pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal di seluruh
jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil kedepan
dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang tidak akan dapat
dikalahkan. Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada yang berkata: Karena
jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat dikalahkan.
Serangan Hawazin dan Thaqif
Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai
di Hunain. Di pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana
sampai waktu fajar keesokan harinya. Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi.
Muhammad mengikuti dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih.
Sementara Khalid bin'lWalid yang memimpin Banu Sulaim berada di depan. Dari
selat Hunain itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi
sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba datanglah serangan
mendadak secara bertubi-tubi dari pihak kabilah-kabilah dengan komando Malik b.
'Auf. Sementara masih dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah
dihujani panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-balau.
Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka berbalik surut dengan membawa
perasaan takut dan gentar dalam hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya.
Dalam hal ini, dengan senyum gembira di bibir - Abu Sufyan yang sekarang
melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat mengalahkan Quraisy itu
- berkata "Mereka takkan berhenti lari sebelum sampai ke laut."
Begitu juga Syaiba b. 'Uthman b. Abi Talha
berkata: "Sekarang aku dapat membalas Muhammad." Berkata begitu,
karena bapanya telah terbunuh dalam perang Uhud.
Ketika Kalada b. Hanbal berkata: "Ya,
sihirnya sekarang sudah tidak mempan," dibalas oleh Shafwan saudaranya
sendiri: "Diam kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada
di bawah Hawazin."
Muslimin kucar-kacir
Percakapan demikian itu terjadi sementara
keadaan pasukan perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah yang
sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian di hadapan Nabi yang
berada di belakang - tanpa melihat ke kanan kiri lagi.
Apa kiranya yang diperbuatnya? Mungkinkah
pengorbanan yang duapuluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu saja
pada pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah tidak lagi
memberikan pertolongan? Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin! Sebelum itu, sudah ada
bangsa-bangsa yang sudah punah, golongan-golongan yang sudah tak ada lagi.
Sebelum itu pun Muhammad sudah biasa bergumul dengan maut, dan kalau-kalau
dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan ada. Dan apabila ajal itu
sudah datang tidak akan dapat sedetik pun ditunda atau dimajukan.
Muhammad tetap tabah tiada bergerak di
tempatnya. Beberapa orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta
kerabat-kerabatnya tetap berada di sekelilingnya.
Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang
yang melarikan diri lewat di hadapannya itu seraya katanya: "Hai
orang-orang! Kamu mau ke mana? Mau ke mana?"
Tetapi, orang-orang yang sudah penuh
ketakutan itu sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata
mereka hanya Hawazin dan Thaqif yang kini sedang meluncur turun dari perkubuan
di puncak-puncak gunung mengejar mereka. Dan gambaran mereka itu tidak salah.
Pihak Hawazin sudah mulai turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di
atas seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam yang
dipancangkan pada sebilah tombak panjang. Setiap ia bertemu dengan pihak
Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada mereka, sementara pihak Hawazin,
Thaqif dan sekutu-sekutunya terus meluncur turun dari belakang sambil terus
menghantam.
Semangat baru timbul dalam hati Muhammad.
Dengan bagalnya yang putih itu ia ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah
musuh yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Sesudah itu terserah kepada
Tuhan. Akan tetapi Abu Sufyan b. Harith b. 'Abd'l-Muttalib segera menahan kekang
bagal itu dan dimintanya jangan dulu maju.
Abbas b. 'Abd'l-Muttalib seorang laki-laki
yang berperawakan besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru yang kira-kira
akan dapat didengar oleh semua orang dari segenap penjuru:
"Saudara-saudara dari kalangan Anshar yang telah memberikan tempat dan
pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah memberikan ikrar di
bawah pohon! Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup!"
Muslimin kembali bertempur
Seruan demikian itu diulang-ulangnya oleh
Abbas, sehingga suaranya bersipongang dan bergema ke segenap penjuru wadi.
Disinilah adanya mujizat itu: Orang-orang 'Aqaba mendengar nama 'Aqaba,
teringat oleh mereka Muhammad, teringat akan janji dan kehormatan diri mereka.
Demikian juga orang-orang Muhajirin, begitu mendengar nama Muhajirin, teringat
oleh mereka akan pengorbanan mereka selama ini, teringat akan kehormatan diri
mereka. Mereka itu sudah mendengar dan mengetahui tentang ketenangan dan
ketabahan hati Muhammad, disamping sejumlah kecil orang-orang Muhajirin dan
Anshar, yang sama tabahnya seperti ketika Perang Uhud dulu - dalam menghadapi
musuh yang begitu besar. Dalam hati mereka kini terbayang betapa akibatnya
kemenangan orang-orang musyrik itu terhadap agama Allah kelak sekiranya mereka
ini sekarang gagal.
Seruan Abbas yang selama itu masih tetap
berkemandang dalam telinga, hati mereka sekaligus tersentak karenanya. Ketika
itulah mereka saling menyambut dari segenap penjuru: "Labbaika,1 Labbaika!
"
Mereka-semua kini kembali, dan bertempur
lagi secara heroik sekali.
Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun
dari tempatnya semula, sekarang sudah berhadapan muka dengan Muslimin dalam
lembah itu. Sinar siang sudah mulai tampak dan remang pagi dengan sendirinya
menghilang. Di sarnping Rasulullah sekarang sudah berkumpul beberapa ratus
orang siap akan berhadapan dengan kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka ini
bertambah juga. Dan dengan kembalinya mereka itu, semangat yang tadinya sudah
lemah kini kembali berkobar-kobar. Pihak Anshar sendiri berteriak: "Hai Anshar!"
Lalu mereka saling memanggil-manggil: "Hai Khazraj!"
Perasaan lega mulai terasa oleh Muhammad
tatkala dilihatnya mereka kini kembali lagi.
Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran
itu berkobar dengan pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak
buahnya makin tinggi dalam memukul lawan, ia berkata: "Sekarang
pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi janji kepada
RasulNya."
Kemenangan Muslimin
Kepada Abbas dimintanya segenggam batu
kerikil dan kemudian kerikil itu dilemparkannya ke muka musuh seraya katanya:
"Wajah-wajah yang buruk!" Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke
tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi menghiraukan maut demi di jalan
Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti datang dan barang siapa gugur ia
akan mendapat kemenangan yang lebih besar lagi daripada hidup. Perjuangan
ketika itu hebat sekali. Baik Hawazin maupun Thaqif dan pengikut-pengikutnya,
begitu melihat bahwa setiap perlawanan ternyata tidak berhasil, bahkan mereka
sendiri terancam akan habis samasekali, cepat-cepat mereka lari dalam keadaan
berantakan tanpa melihat ke kanan-kiri lagi, dengan meninggalkan wanita-wanita
dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di tangan kaum Muslimin, yang
ketika itu dihitung sebanyak 22.000 ekor unta, 40.000 kambing dan 4.000 'uqiya2
perak. Sedang tawanan perang yang terdiri dari 6.000 orang itu telah
dipindahkan dengan pengawalan ke Wadi Ji'rana. Mereka ditempatkan disana
sementara menunggu Muslimin kembali dan mengejar sisa-sisa musuh serta
sekaligus mengepung pihak Thaqif di Ta'if.
Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap
musuh mereka itu. Lebih tertarik lagi mereka mengadakan pengejaran itu karena
Rasul mengumumkan, bahwa barang siapa dapat menyerbu orang musyrik, maka ia
boleh merampasnya. Ketika itu Rabi'a bin'd-Dughunna telah dapat mengejar seekor
unta yang membawa pelangkin, yang diduganya berisi wanita; ia pun ingin
merampasnya. Unta itu berlutut dan ternyata isinya seorang laki-laki tua yang
oleh pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu Duraid bin'sh-Shimma. Kepada Rabi'a itu
Duraid bertanya: Mau diapakan dirinya. "Akan kubunuh kau," jawabnya,
sambil mengayunkan pedang. Tetapi tidak berhasil.
"Jahat sekali ibumu
mempersenjataimu!" kata Duraid. "Ambillah pedangku di belakang itu
dan pukulkan. Keluarkan tulang dan otaknya. Begitulah aku menghantam orang
dengan pedang itu. Dan kalau kau sudah pulang, katakan kepada ibumu bahwa
engkau telah membunuh Duraid bin'sh-Shimma. Sudah sering sekali aku melindungi
wanita-wanitamu."
Sesampainya di rumah, oleh Rabi'a hal itu
diceritakan kepada ibunya.
"Dasar tangan celaka kau," kata
ibunya. "Dia mengatakan itu hanya akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya
kepada engkau. Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu pagi: Yaitu
aku, ibuku dan ibu ayahmu."
Pengejaran terhadap pihak Hawazin oleh
pihak Muslimin diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur dam
dihancurkan samasekali. Kaum wanita dan barang-barang mereka dirampas lalu
dibawa kepada Muhammad. Malik b. 'Auf hanya sebentar saja bertahan kemudian ia
pun lari, dia bersama-sama dengan kabilahnya dan golongan Hawazin, dan di
Nakhla ia berpisah dengan mereka. Ia memutar haluan ke Ta'if dan di tempat ini
ia berlindung.
Kehancuran total pihak Musyrik
Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan
orang-orang beriman itu dan nyata pula kehancuran total orang-orang musyrik,
setelah remang-remang subuh itu pihak Muslimin dalam keadaan terancam, mendapat
serangan serentak sehingga mereka menjadi kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang
sangat menentukan itu ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil
orang-orang di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:
"Tuhan telah menolong kamu pada
beberapa tempat dan dalam Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali
karena jumlah kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit
pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit buat
kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah itu Tuhan menurunkan perasaan tenang
kepada Rasul dan kepada orang-orang beriman serta diturunkanNya pula
balatentara yang tidak kamu lihat, dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan
memang itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu kemudian Allah
menerima taubat barangsiapa yang dikehendakiNya, Allah Maha Pengampun dan
Penyayang. Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab
itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci, dan kalau kamu kuatir
menjadi miskin, maka Tuhan dengan kurniaNya akan memberikan kekayaan kepada
kamu, jika dikehendaki. Sesungguhnya Tuhan Maha tahu dan Bijaksana."
(Qur'an, 9: 25-28)
Harga sebuah kemenangan
Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh
dengan harga murah oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang
cukup mahal. Mungkin ini tidak akan mereka lakukan, kalau tidak karena pada
mulanya mereka telah mengalami kegagalan lari dalam kekalahan, sehingga seperti
dikatakan oleh Abu Sufyan "Mereka takkan berhenti lari sebelum mencapai
laut." Mereka membayar harga mahal itu dengan jiwa orang-orang penting
dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran itu, meskipun jumlah
semua kurban tidak disebutkan dalam buku-buku biografi Nabi. Seperti sudah
disebutkan, bahwa dua kabilah Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah
mendoakan semoga Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimana
pun juga nyatanya ia telah mendapat kemenangan: kemenangan total yang diperoleh
Muslimin terhadap lawan mereka, disertai rampasan dan tawanan perang, yang
sebelum itu tidak pernah mereka alami. Kemenangan adalah segalanya dalam suatu
pertempuran, betapa pun besarnya harga yang harus dibayar, selama itu merupakan
suatu kemenangan terhormat. Dengan demikian Muslimin merasa gembira sekali akan
kurnia yang telah diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian
rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang. Akan tetapi Muhammad
menginginkan suatu kemenangan yang lebih cemerlang lagi. Kalau Malik b. 'Auf
yang telah mengerahkan orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan ia
sendiri mencari perlindungan pada pihak Thaqif di Ta'if, maka pihak Muslimin
sekarang hendaknya dapat mengepung Ta'if lebih ketat lagi. Begitu itulah cara
dalam Khaibar setelah perang Uhud, dan terhadap Quraiza setelah Khandaq.
Mungkin suasana ini mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi
ke Ta'if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi dia malah
dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu, sehingga terpaksa ia
berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga mungkin ia teringat betapa benar ia
berangkat seorang diri ketika itu, dalam keadaan sangat lemah, tiada daya upaya
selain Tuhan, selain iman yang besar yang telah memenuhi dadanya, iman yang
telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang, sekarang ia berangkat menuju Ta'if
dengan sebuah rombongan Muslimin, dengan suatu jumlah yang belum pernah
disaksikan sepanjang sejarah jazirah itu.
Ta'if dikepung
Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad
diperintahkan berangkat ke Ta'if dan mengepung Thaqif yang dipimpin oleh Malik
b. 'Auf. Ta'if adalah sebuah kota yang sangat kukuh tertutup rapat oleh
pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota negeri Arab ketika itu.
Penduduk kota ini sudah punya pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dalam
peperangan dan punya kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perkubuan
yang kuat. Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di tempat ini ada
sebuah benteng khusus buat Malik b. 'Auf, yang kemudian mereka hancurkan,
demikian juga sebuah kebun kepunyaan pihak Thaqif mereka hancurkan selama dalam
perjalanan itu.
Bilamana Muslimin sudah sampai di Ta'if,
Nabi memerintahkan pasukannya berhenti dan bermarkas di dekat kota itu.
Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan mereka lakukan.
Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari atas perbentengan, dihujaninya
mereka dengan serangan panah, sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang
terbunuh. Dan tidak pula mudah kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng
yang sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus mereka tempuh bukan seperti yang
selama ini mereka lakukan ketika mengepung Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita
menduga, bahwa kalau hanya dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak
Thaqif itu akan mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu saja, dengan cara
baru bagaimana harus mereka lakukan?
Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan
dan akan memakan waktu. Jadi sebaiknya pasukan ini harus ditarik mundur
jauh-jauh dari sasaran panah, supaya jangan ada lagi orang-orang Islam yang
akan mengalami bencana dan tewas karenanya. Sesudah itu boleh Muhammad
memikirkan apa yang harus dilakukannya.
Dengan perintah Nabi 'a.s. markas itu
sekarang dipindahkan jauh dari sasaran panah, dipindahkan ke sebuah tempat yang
kemudian setelah Ta'if menyerah dan menerima Islam dibangunnya mesjid Ta'if di
tempat itu. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Anak panah Thaqif sudah
menewaskan delapanbelas orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat
luka-luka, diantaranya salah seorang anak Abu Bakr. Disamping tempat itu, yang
sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula dua buah kemah dari kulit berwarna
merah untuk tempat-tinggal kedua isteri Nabi - Umm Salama dan Zainab - yang
sejak ia meninggalkan Medinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan menghadapi
peristiwa-peristiwa itu. Diantara kedua kemah inilah Muhammad melakukan salat.
Dan agaknya Mesjid Ta'if itu pun di tempat ini pula dibangun.
Diserang dengan manjaniq
Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil
menantikan apa yang akan ditentukan Tuhan terhadap mereka dan terhadap lawan
mereka itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata kepada Nabi:
Orang-orang Thaqif yang dalam benteng itu sama seperti rubah yang di dalam
liangnya. Untuk dapat mengeluarkan mereka meminta waktu lama. Kalau dibiarkan
saja, juga ia takkan mengganggu. Tetapi Muhammad sudah tidak mau kembali lagi
sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu Daus [salah satu kabilah
yang tinggal di bawah Mekah] yang sudah berpengalaman dalam menggunakan
manjaniq3 dan "tank,"4 salah seorang pemimpinnya adalah Tufail, yang
sudah bersahabat dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang sekarang ikut
pula mengepung Ta'if. Orang ini oleh Nabi diutus memintakan bantuan kepada
kabilahnya itu.
Kemudian orang ini datang kembali sudah
membawa beberapa orang dari golongan itu lengkap dengan alat-alat. Mereka
sampai di Ta'if empat hari kemudian setelah kota itu dikepung oleh Muslimin.
Disinilah pihak Muslimin menyerang Ta'if dengan manjaniq, dan beberapa orang
menyerbu dengan masuk ke dalam "tank" untuk menerobos dinding-dinding
benteng itu. Tetapi pihak Ta'if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka
dapat memaksa lawannya harus melarikan diri juga. Beberapa batang besi mereka
panaskan; bilamana sudah mencair, besi itu dilemparkannya ke arah
"tank" dan alat itu pun terbakar. Karena takut terbakar juga tentara
Muslirnin pun menyusup lari dari bawah alat-alat itu. Oleh pihak Thaqif mereka
terus diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.
Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil.
Pihak Muslimin tidak dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.
Kebun anggur ditebang dan dibakar
Sesudah itu, kiranya apa pula yang harus
mereka lakukan? Lama sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah ia
sudah dapat mengalahkan dan mengosongkan Banu Nadzir dari perkampungannya
dengan jalan membakar kebun kurma mereka? Sekarang kebun anggur Ta'if jauh
lebih berharga daripada kebun kurma Banu Nadzir Apalagi anggur ini sangat
terkenal sekali di seluruh tanah Arab yang membuat Ta'if bangga sebagai tempat
yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta'if seolah surga di
tengah-tengah padang sahara.
Perintah Muhammad oleh kaum Muslimin sudah
akan dilaksanakan. Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur
itu - yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga. Melihat hal
ini orang-orang Thafiq yakin sekali bahwa Muhammad memang bersungguh-sungguh.
Mereka mengutus orang kepadanya supaya kebun itu diambil saja kalau mau, kalau
tidak supaya dibiarkan mengingat pertalian keluarga antara dia dengan mereka
yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan hal itu, dan kemudian
ia berseru kepada kalangan Thaqif, bahwa barangsiapa dari penduduk Ta'if yang
bersedia datang kepadanya, orang itu akan dimerdekakan. Hampir sebanyak
duapuluh orang dari mereka lalu melarikan diri dan datang kepadanya. Dari
mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam benteng-benteng itu terdapat
persediaan makanan yang cukup untuk waktu lama. Oleh karena itu ia berpendapat
bahwa pengepungan ini akan meminta waktu yang panjang, sedang pasukannya sudah
mau pulang akan membagi-bagikan barang rampasan perang yang sudah mereka
peroleh. Kalau diminta supaya mereka tetap tinggal juga, mungkin mereka akan
kehilangan kesabaran. Disamping itu bulan suci pun sudah dekat pula dan perang
tidak diperkenankan.
Oleh karena itu ia lebih senang pengepungan
itu dibubarkan saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu bulan Zulhijah,
bulan muda sudah keluar. Dengan pasukannya itu ia kembali hendak melakukan
umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah bersiap hendak ke Ta'if bila
bulan suci sudah lalu.
Muhammad dan kaum Muslimin yang lain
sekarang berangkat meninggalkan Ta'if menuju Ji'rana, tempat barang rampasan
dan tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti mengadakan
pembagian. Seperlima di antaranya oleh Rasul dipisahkan buat dirinya dan yang
selebihnya dibaginya kepada para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji'rana ini,
tiba-tiba datang utusan dari pihak Hawazin yang sudah masuk Islam. Mereka ini
mengharapkan, supaya harta mereka, wanita dan anak-anak dikembalikan kepada
mereka karena sudah sekian lama mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula
mereka mengalami kepahitan hidup. Utusan itu datang menemui Muhammad. Salah
seorang dari mereka berkata: "Rasulullah, di tempat-tempat berpagar,5
orang-orang tawanan itu terdapat juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak
ibu, ibu-ibu yang dulu pernah memeliharamu. Jika sekiranya kami yang menyusui
Harith b. Abi Syimr atau Nu'man bin'l-Mundhir, kemudian ia datang melihat
keadaan kami seperti yang kaualami sekarang ini, tentu kami manfaatkan dan kami
mintai belas-kasihannya. Konon pula engkau, yang sudah mendapat pemeliharaan
yang terbaik."
Mereka tidak salah dalam mengingatkan
Muhammad akan adanya hubungan dan pertalian keluarga itu. Dari kalangan tawanan
perang itu terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut mendapat perlakuan
keras dari tentara Muslimin. Wanita itu berkata kepada mereka: "Kamu tahu,
bahwa aku masih saudara susuan dengan kawanmu itu."
Karena mereka tidak percaya, oleh mereka ia
dibawa kepada Muhammad, yang ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu
Syaima' bint'l-Harith ibn 'Abd'l-Uzza. Dimintanya ia kedekatnya dan
dihamparkannya mantelnya supaya ia duduk. Ia dipersilakan memilih - kalau
senang tinggal, boleh tinggal dan kalau ingin pulang akan diantarkan kepada
kabilahnya. Tetapi ternyata wanita itu ingin pulang juga kepada masyarakatnya
sendiri.
Meningkat hubungan Muhammad dengan mereka
yang datang menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa, sudah wajar sekali
apabila ia bersikap penuh kasih sayang kepada mereka dan memenuhi pula
permintaan mereka. Sejak dahulu memang demikian inilah sifatnya, kepada siapa
saja yang pernah mengulurkan tangan kepadanya. Tahu berterima kasih dan
mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.
Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia
bertanya: "Anak-anak dan isteri-isteri kamu ataukah harta kamu yang lebih
kamu sukai?"
"Rasulullah," jawab mereka,
"kami disuruh memilih antara harta dengan sanak keluarga kami?
Mengembalikan isteri-isteri dan anak-anak kami tentu itulah yang kami
sukai."
Lalu kata Nabi 'a.s.; "Apa yang ada
padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu.
Bilamana nanti sudah selesai aku memimpin orang salat lohor hendaklah kamu
berdiri dan katakan: 'Kami meminta bantuan Rasulullah kepada kaum Muslimin dan
meminta bantuan kaum Muslimin kepada Rasulullah mengenai anak-anak kami dan
wanita-wanita kami.' Maka ketika itu akan kuserahkan kepadamu, dan akan
kumintakan buat kamu."
Setelah apa yang diucapkan Nabi itu
dilaksanakan oleh Hawazin, ia berkata lagi: "Apa yang ada padaku dan pada
Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu."
Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata:
"Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah."
Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum
Anshar.
Tetapi Aqra' ibn Habis atas nama Tamim dan
'Uyaina b. Hishn menolak, demikian juga Abbas b. Mirdas atas nama Banu Sulaim.
Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas itu. Dalam hal
ini Nabi berkata: "Barangsiapa mau mempertahankan haknya atas tawanan itu,
maka untuk setiap orang ia akan mendapat ganti enam bagian dari tawanan yang
mula-mula didapat."
Tawanan Hawazin dikembalikan
Dengan demikian wanita-wanita dan anak-anak
Hawazin itu dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan diri masuk
Islam. Kepada utusan Hawazin itu Muhammad menanyakan Malik b. 'Auf. Setelah
diberitahukan bahwa orang itu masih di Ta'if dengan Thaqif, dimintanya kepada
mereka supaya disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam,
maka keluarga dan harta bendanya akan dikembalikan dan akan diberi pula seratus
ekor unta.
Sekarang orang mulai merasa kuatir - kalau
Muhammad memberikan ini kepada setiap utusan yang datang - rampasan perang yang
menjadi bagian mereka akan jadi berkurang. Oleh karena itu mereka mendesak
supaya tiap-tiap orang mengambil bagiannya. Dan mereka terus saling berbisik.
Bisikan demikian ini tampaknya sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia
lalu berdiri di samping seekor unta, diambilnya seutas bulu dari ponok unta
itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan ke atas ia berkata:
"Saudara-saudara.6 Demi Allah!
Bagianku dari harta rampasan dan dari bulu ini hanya seperlima; ini pun sudah
dikembalikan kepada kamu." Kemudian dimintanya kepada mereka masing-masing
supaya harta rampasan itu dikembalikan dan dengan demikian dapat dibagi secara
adil. "Barangsiapa mengambil ini secara tidak adil sekalipun hanya
sebentar jarum, maka buat yang bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai
hari kiamat."
Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah
setelah mantelnya yang mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada
mereka: "Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah, andaikata
kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini, tentu kubagi-bagikan kepada
kamu, kemudian akan kamu lihat bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan
pembohong."
Kemudian rampasan perang itu dibagi lima
dan yang seperlima diberikan kepada mereka yang paling sengit memusuhinya.
Seratus ekor unta diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan dan Mu'awiya
anaknya, Harith bin'l-Harith b. Kalada, Harith b. Hasyim, Suhail b. 'Amr,
Huwaitib b. 'Abd'l-'Uzza, kepada bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa pemuka
kabilah yang telah mulai lunak hatinya setelah pembebasan Mekah. Kepada mereka
yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang tadi, diberi lima puluh ekor
unta. Jumlah yang mendapat bagian itu mencapai puluhan orang. Ketika itu
Muhammad menunjukkan sikap sangat ramah dan murah hati, yang membuat orang yang
tadinya sangat memusuhinya, lidah mereka telah berbalik jadi memujinya. Tiada
seorang dari mereka yang perlu diambil hatinya itu yang tidak dikabulkan segala
keperluannya
Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa
ekor unta ia tidak senang hati dan mencela karena menurut anggapannya 'Uyaina,
Aqra' dan yang lain tampaknya lebih diutamakan. Lalu Nabi berkata: "Temui
dia dan berilah lagi supaya dia puas dan diam."7 Lalu diberi lagi sampai
dia puas. Dan itulah yang membuat dia diam.
Akan tetapi tindakan Nabi mengambil hati
orang-orang yang tadinya merupakan musuh besar itu, telah menjadi bahan
pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka berkata:
"Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri." Dalam hal
ini Sa'd b. 'Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata Anshar itu kepada Nabi
dan akan mendukung pula pendapat mereka itu
"Sekarang kumpulkan masyarakatmu di
tempat berpagar ini,"8 kata Nabi. Setelah oleh Sa'd mereka dikumpulkan dan
kemudian Nabi datang, maka terjadi dialog berikut:
Muhammad: "Saudara-saudara kaum
Anshar. Suatu desas-desus9 berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku
itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatirnu terhadap diriku, bukan?
Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu?
Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam
permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?"
Anshar: "Ya, memang! Tuhan dan Rasul
juga yang lebih bermurah hati."
Muhammad: "Saudara-saudara kaum
Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?"
Anshar: "Dengan apa harus kami jawab,
ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan
Rasul-Nya juga."
Muhammad: "Ya, sungguh, demi Allah!
Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan - kamu benar dan pasti
dibenarkan: 'Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang
mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau
diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara, kami yang
menghiburmu.' Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan
itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya
mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya.
Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi
membawa karnbing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat
kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu
aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan
Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar.
Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan
cucu-cucu Anshar."
Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan
kata-kata penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka yang
pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain
saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang
Anshar pun menangis, sambil berkata, "Kami rela dengan Rasulullah sebagai
bagian kami."
Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan
ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di
Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh
sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah
dalam mengambil hati mereka - yang dalam beberapa minggu yang lalu masih
musyrik - dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa
payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau
pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah hati
kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah
memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan politik
yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab
ini - semua dengan senang hati, dengan perasaan lega - bersedia memberikan
nyawanya demi jalan Allah.
Selanjutnya Rasul pun berangkat dari
Ji'rana menuju Mekah, hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia
menunjuk 'Attab b. Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan didampingi
oleh Mu'adh b. Jabal guna mengajar orang-orang memperdalam agama dan
mengajarkan Qur'an.
Ia kembali pulang ke Medinah bersama
orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula
anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak merasakan adanya
ketenangan hidup, kemudian ia pun harus bersiap-siap pula menghadapi perang
Tabuk di Syam.
Catatan kaki:
1 Harfiah, 'kupenuhi panggilanmu', yakni
aku siap (A).
2 'Uqiya. 'Dahulu kala sama dengan 40
dirham (drakhma) dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni 1/12
bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri masing-masing' (N). Pada
umumnya 'uqiya sekarang ditaksir sekitar 30 gram (A).
3 Sebuah pesawat pelempar batu (junuq).
Mungkin sama dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan dahulu kala
(A).
4 Aslinya, dabbaba; dabba melata
perlahan-lahan, yakni semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk
ke dalam alat tersebut lalu mendekat benteng yang sedang dikepung untuk
dilubangi atau dibongkar dan mereka terlindung dan serangan yang datang dan
atas (LA) mungkin dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu
kala, dari bahasa Latin, berarti kura-kura atau kulitnya yang dapat melindungi
badan. Dalam pengertian sekarang kira-kira sama dengan tank (A).
5 Hazira, 'segala yang dilingkungi sesuatu,
kadang terdiri dari buluh dan papan' (LA) yakni tempat berpagar (A).
6 Ayyuhan nas, harfiah: 'Hai manusia' (A).
7 Iqta'u anni lisanahu, yakni 'berilah lagi
supaya dia puas dan diam' (LA) Harfiah, 'potongkan lidahnya tentang aku' (A).
8 Lihat catatan bawah halaman 531 (A).
9 Qalatun, 'Banyak bicara yang akan
menimbulkan permusuhan' (N), yakni desas-desus (A).
0 comments:
Post a Comment