Yathrib1 Menyambut Muhajir Besar
BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar
rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat
setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak
membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam
perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di
tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas
dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar
berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga
yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari
nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.
Akan tetapi mereka keluar itu bukan
disebabkan oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena
orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan,
setiap kabilah dari penduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini
memberikan efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka
menyongsong keluar, daripada sekedar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin
mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka
harus menarik diri.
Oleh karena itu, sambutan orang-orang
musyrik dan Yahudi atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum
Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua
mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masing-masing
terhadap pendatang orang besar itu, denyutan jantung merekapun tidak sama pula
satu sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang
untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang
teratur karena masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin
mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah
terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat Ikrar Aqaba
kedua, bersama-sama penduduk kota ini - guna melakukan perang mati-matian
terhadap Quraisy; orang yang telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah
dengan keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan tindakan
kekerasan dari mereka selama tigabelas tahun terus-menerus. Ini semua demi
keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam
semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.
Pembinaan Mesjid dan Tempat-tempat Tinggal Nabi
Unta yang dinaiki Nabi alaihi ssalam
berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian
tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu
dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam
membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum
Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun.
Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal
Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa
seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan
petunjuk-petunjuk Muhammad.
Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka
yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya
sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka,
dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang
tidak punya tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malam
hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami.
Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru
mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan
penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih
mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih
tertutup.
Kebebasan Beragama Bagi Seluruh Penduduk Yathrib
Selesai Muhammad membangun mesjid dan
tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir
olehnya akan adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan
membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat
adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak
dikenal. Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku-suku itu semuanya
merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala
pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah memecah-belah mereka.
Kota ini akan membawa ketenteraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan
akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah
kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan Muhammad yang pertama,
sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang
terakhir, ialah meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan
Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh
penduduk Mekah sendiri, dengan cara kekerasan risalah ini dilawan mati-matian,
sejak dari awal kerasulannya sampai Rada waktu hijrah. Karena takut akan
penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan iman itu tidak
sampai memasuki setiap kalbu. Segala penganiayaan dan tindakan kekerasan ini
menjadi perintang antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima
iman itu.
Baik kaum Muslimin maupun yang lain
seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk
ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang sudah
beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih
takut-takut atau yang lemah akan segera pula menerima iman itu.
Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan
Muhammad, ia tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan
tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan
kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan
ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan
bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Baik bagi seorang
Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan
yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat
dan kebebasan yang sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah
yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju
kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan
berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan
mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia.
Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam
semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu
hubungan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian
dan kehancuran
Dengan pemikiran inilah wahyu itu
disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat
mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama
hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak
terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah,
ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan
tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar Aqaba kedua
berkata kepadanya?
"Demi Allah yang telah mengutus tuan
atas dasar kebenaran kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan
kami habiskan dengan pedang kami."
Dijawabnya:
"Kami tidak diperintahkan untuk
itu."
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai
perang berbunyi?
"Diijinkan (berperang) kepada mereka
yang diperangi, karena mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa
menolong mereka." (Qur'an, 8: 39)
Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal
perang itu Tuhan berfirman?
"Dan perangilah mereka supaya jangan
ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah." (Qur'an, 2: 193)
Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam
hal ini hanya mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan
beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang
dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis serangan pihak
agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan
pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.
Orang-orang Yahudi Medinah
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam
pertimbangannya mengenai masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan,
maka penduduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun
setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain. Penduduk
Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin - Muhajirin dan Anshar -
orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj - sedang hubungan kedua
golongan ini sudah sama-sama kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi: Banu
Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari
sana dan Yahudi Khaibar di Utara.
Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar, karena
solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun
begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau
suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang
terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan. Usaha ini
akan tampak juga pengaruhnya
Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa
Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah
sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan
supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi dengan
tiada ragu-ragu merekapun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan
bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka,
serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan
demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi,
-bangsa pilihan Tuhan - dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan tanah air
mereka itu.
Dengan dasar pikiran itulah mereka
masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka
masing-masing mudah tercapai.
Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad
itu dimulai yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah
mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan
oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan
membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan
rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru
- ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di
seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang
sudah pernah ada.
Muhammad Mempersaudarakan Kaum Muhajirin Dengan Anshar
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua
wazirnya itu Abu Bakr dan Umar - demikianlah mereka dinamakan. Dengan
sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan
kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala
bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu.
Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua
bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah
pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan
Kharija b. Zaid. Umar ibn'l-Khattab, bersaudara dengan 'Itban b. Malik
al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang
sudah banyak jumlahnya di Yathrib - sesudah mereka yang tadinya masih tinggal
di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah - dipersaudarakan pula dengan
setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara
sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum Muslimin
bertambah kukuh adanya.
Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan
sikap keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum
Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira.
Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka
tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan.
Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang
akan dimakan disamping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain
Usman b. 'Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu
yang berguna dari Mekah.
Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi
mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya.
Abdur-Rahman b. 'Auf yang sudah bersaudara dengan Sa'd bin'r-Rabi' ketika di
Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa'd menawarkan hartanya akan
dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar.
Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak berapa
lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali,
dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan
sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan.
Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan
hal serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang
perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangannya itu ia dapat
mengubah pasir sahara menjadi emas.
Adapun mereka yang tidak melakukan
pekerjaan berdagang, diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan
lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian, menggarap tanah
milik orang-orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula
yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka
ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun membanting tulang
bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang
selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.
Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang
Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin
dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka yang tidak punya tempat
tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid
yaitu shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.
Oleh karena itu mereka diberi nama
Ahl'sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum
Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupun.
Dengan adanya persatuan kaum Muslimin
dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu
ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus
menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru
tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum
Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan
antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu
operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan
luarbiasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan
persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan
persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang
kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya
dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini
dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan
tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka,
didekatkannya pembesar-pembesar mereka dibentuknya dengan mereka itu suatu tali
persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum
monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut puasa.
Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih menghadap ke Bait'l-Maqdis,
titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil.
Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia makin
sehari makin bertambah erat dan dekat juga.
Orang yang begitu mulia, sangat rendah
hati, orang yang penuh kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang
pemurah, selalu terbuka bagi si miskin, bagi orang yang hidup menderita, ini
juga yang memberikan kewibawaan kepadanya terhadap penduduk Yathrib. Dan semua
ini telah sampai kepada suatu ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan
serta menetapkan adanya kebebasan beragama. Perjanjian ini - menurut hemat kita
- merupakan suatu dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah. Dan
fase yang dialami dalam sejarah hidup Rasul ini belum pernah dialami oleh
seorang nabi atau rasul lain. Pernah ada Isa, ada Musa, ada nabi-nabi yang lain
sebelum itu. Mereka terbatas hanya pada dakwah agama saja. Mereka menyampaikan
itu kepada orang dengan jalan berdebat, dengan jalan mujizat. Sesudah itu
mereka tinggalkan ditangan para penguasa yang kemudian, dan untuk menyiarkan
dakwahnya itu harus dilakukan dengan kekuatan politik dan membela kebebasan
orang yang sudah beriman kepadanya itu dengan kekuatan senjata yang disertai
peperangan pula. Agama Kristen disiarkan oleh murid-muridnya yang kemudian
sesudah Isa. Mereka dan pengikut-pengikut mereka masih selalu mengalami
siksaan. Baru setelah ada raja-raja yang cenderung kepada agama ini, ia
dilindunginya dan disiarkan. Begitu juga halnya dengan agama lain, di dunia
Timur ataupun di Barat.
Sebaliknya Muhammad, tersebarnya Islam
serta menangnya misi kebenaran itu harus berada ditangannya. Ia menjadi Rasul,
menjadi negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi
kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia
adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani par exellence dalam arti kata
yang sebenarnya.
Perjanjiannya Dengan Yahudi Menetapkan Kebebasan Beragama
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan
orang-orang Yahudi, Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi
pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal
balik, demikian bunyinya :
"Dengan nama Allah, Pengasih dan
Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi; antara orang-orang
beriman dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yathrib serta yang mengikut
mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka
adalah satu umat di luar golongan orang lain.
"Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy
adalah tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku2 di kalangan mereka,
bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah3 antara sesama mereka dan
mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara
sesama orang-orang beriman.
"Bahwa Banu Auf adalah tetap menurut
adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah
seperti yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka
sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang
beriman."
Kemudian disebutnya tiap-tiap suku4 Anshar
itu serta keluarga tiap puak: Banu'l-Harith, Banu Saida, Banu Jusyam,
Banu'n-Najjar, Banu 'Amr b. 'Auf dan Banu'n-Nabit. Selanjutnya disebutkan,
"Bahwa orang-orang yang beriman tidak
boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan hutang yang berat
diantara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam
membayar tebusan tawanan atau membayar diat.
"Bahwa seseorang yang beriman tidak
boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya.
"Bahwa orang-orang yang beriman dan
bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri,
atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau
berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus
sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.
"Bahwa seseorang yang beriman tidak
boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman.
"Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia
melindungi yang lemah diantara mereka.
"Bahwa orang-orang yang beriman itu
hendaknya saling tolong-menolong satu sama lain.
"Bahwa barangsiapa dari kalangan
Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan
persamaan; tidak menganiaya atau melawan mereka
"Bahwa persetujuan damai orang-orang
beriman itu satu; tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri
dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka
harus sama dan adil adanya.
"Bahwa setiap orang yang berperang
bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran.
"Bahwa orang-orang beriman itu harus
saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah.
"Bahwa orang-orang yang beriman dan
bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.
"Bahwa orang tidak dibolehkan
melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang
beriman.
"Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman
yang tidak bersalah dengan cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang
setimpal kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).
"Bahwa orang-orang yang beriman harus
menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.
"Bahwa seseorang yang beriman yang
telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada Allah dan kepada hari
kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa
barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan
murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima.
"Bahwa bilamana diantara kamu timbul
perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu
kepada Allah dan kepada Muhammad - 'alaihishshalatu wassalam.
"Bahwa orang-orang Yahudi harus
mengeluarkan belanja bersama-sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam
keadaan perang.
"Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf
adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang
pada agama mereka, dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama
mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali
orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah
akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri.
"Bahwa terhadap orang-orang Yahudi
Banu'n-Najjar, Yahudi Banu'l-Harith, Yahudi Banu Sa'ida, Yahudi Banu-Jusyam,
Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha'laba, Jafna dan Banu Syutaiba5 berlaku sama
seperti terhadap mereka sendiri.
"Bahwa tiada seorang dari mereka itu
boleh keluar kecuali dengan ijin Muhammad s.a.w.
"Bahwa seseorang tidak boleh
dirintangi menuntut haknya karena dilukai; dan barangsiapa yang diserang ia dan
keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Bahwa Allah juga
yang menentukan ini.
"Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban
menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung
nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam
menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian
ini.
"Bahwa mereka sama-sama berkewajiban,
saling nasehat-menasehati dan saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala
perbuatan dosa.
"Bahwa seseorang tidak dibenarkan
melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong
ialah yang teraniaya.
"Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban
mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan
perang.
"Bahwa kota Yathir adalah kota yang
dihormati bagi orang yang mengakui perjanjian ini.
"Bahwa tetangga itu seperti jiwa
sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.
"Bahwa tempat yang dihormati itu tak
boleh didiami orang tanpa ijin penduduknya.
"Bahwa bila diantara orang-orang yang
mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan
menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad
Rasulullah -s.a.w. - dan bahwa Allah bersama orang yang teguh dan setia
memegang perjanjian ini
"Bahwa melindungi orang-orang Quraisy
atau menolong mereka tidak dibenarkan.
"Bahwa antara mereka harus saling
membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini. Tetapi apabila telah
diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu.
"Bahwa apabila mereka diajak berdamai,
maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang
memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya
masing-masing.
"Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik
diri mereka sendiri atau pengikut-pengikut mereka mempunyai kewajiban seperti
mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban
sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian ini.
"Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan
dan bagi orang yang melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan
bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini
"Bahwa orang tidak akan melanggar isi
perjanjian ini, kalau ia bukan orang yang aniaya dan jahat.
"Bahwa barangsiapa yang keluar atau
tinggal dalam kota Medinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali orang
yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan.
"Sesungguhnya Allah melindungi orang
yang berbuat kebaikan dan bertakwa."
Inilah dokumen politik yang telah
diletakkan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang
telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat;
tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia
telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia masa
itu. Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai
oleh kekejaman dan kehancuran semata. Apabila dalam penandatanganan dokumen ini
orang-orang Yahudi Banu Quraiza, Banu'n-Nadzir dan Banu Qainuqa tidak ikut serta,
namun tidak selang lama sesudah itu merekapun mengadakan perjanjian yang serupa
dengan Nabi.
Demikianlah, seluruh kota Medinah dan
sekitarnya telah benar-benar jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka
berkewajiban mempertahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang
dari luar. Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati
segala hak dan segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam
dokumen ini
Muhammad sudah cukup merasa lega dengan
hasil demikian ini. Kaum Musliminpun merasa tenteram menjalankan kewajiban
agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri.
Perkawinan Muhammad Dengan Aisyah
Mereka tidak lagi kuatir ada gangguan atau
akan takut difitnah. Ketika itulah Muhammad menyelesaikan perkawinannya dengan
Aisyah bt. Abi Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ia
adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan sangat
disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja puteri,
mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria. Pertumbuhan badannya baik
sekali.
Pertama ia pindah ke tempatnya yang
sekarang di samping tempat Sauda di sisi mesjid, ia melihat Muhaminad adalah
seorang ayah yang penuh kasih-sayang, seorang suami yang penuh cintakasih. Ia
tidak keberatan ikut bermain-main dengan barang-barang mainannya itu. Dengan
itu Aisyah telah menghiburnya pula dari pikiran yang berat-berat yang selalu
menjadi bebannya karena suasana politik Yathrib yang kini sudah mulai diarahkan
dengan sebaik-baiknya itu.
Zakat dan Puasa
Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah
mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban
zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya. Ketika Muhammad sampai di Medinah, bila ketika itu
waktu-waktu sembahyang sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa
dipanggil. Lalu terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan
mempergunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet
itu. Lalu dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu sembahyang,
seperti dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Tetapi kemudian sesudah ada saran dari Umar
dan sekelompok Muslimim - menurut satu sumber, - atau dengan perintah Tuhan
melalui wahyu, menurut sumber lain - penggunaan genta inipun dibatalkan dan
diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b. Tha'laba:
"Kau pergi dengan Bilal dan bacakan
kepadanya - maksudnya teks azan - dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab
suaranya lebih merdu dari suaramu."
Azan Sembahyang
Di samping mesjid ada sebuah rumah
kepunyaan seorang wanita dari Banu'n-Najjar yang lebih tinggi dari mesjid.
Bilal naik keatas rumah itu lalu menyerukan azan. Dengan demikian, setiap hari
di waktu fajar seluruh penduduk Yathrib mendengar seruan bersembahyang itu
diucapkan dengan alunan suara yamg indah dan lembut sekali, yang ditujukan
Bilal ke segenap penjuru, dan menggema ke telinga pendengarnya:
"Allahu Ahbar! Allahu Akbar! Asyhadu
an la ilaha illa Allah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayy 'ala' sh-shala
hayy 'ala'l-falah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. La ilaha illa Allah."
(Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Aku bersaksi tak ada tuhan selain Allah.
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Marilah sembahyang. Marilah
mencapai kemenangan. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tak ada tuhan selain
Allah).
Dengan demikian ini rasa takut yang selama
ini membayangi kaum Muslimin telah berubah jadi aman dan tenteram. Yathrib kini
telah menjadi Madinat'r-Rasul - menjadi Kota - Rasulullah. Penduduk kota ini
yang bukan Islam sudah pula merasakan adanya kekuatan kaum Muslimin - suatu
kekuatan yang bersumber dari lubuk hati yang sudah mengenal pengorbanan, yang
sudah mengalami pelbagai macam penderitaan, demi membela iman. Kini mereka
memetik buahnya, buah kesabaran dan ketabahan hati. Mereka merasakan adanya
kebebasan beragama yang telah ditentukan Islam itu dan bahwa tidak ada
kekuasaan seseorang atas manusia lain, dan bahwa agama hanya bagi Allah semata,
hanya kepadaNya adanya pengabdian itu. Di hadapan Tuhan semua manusia itu sama.
Balasan yang akan mereka terima sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan dan
dengan niat yang telah mendorong perbuatan itu.
Sekarang jalan sudah terbuka di hadapan Muhammad
dalam menyebarkan ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah pribadinya dan segala
tingkah lakunya yang akan menjadi teladan tertinggi dalam ajaran-ajarannya itu.
Dan biarlah ini pula yang akan menjadi batu pertama dalam pembinaan peradaban
Islam.
Batu pertama ini ialah persaudaraan umat
manusia: persaudaraan yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya
sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan
sebelum persaudaraan demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih-sayang
tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah. Ada orang yang bertanya kepada
Muhammad; "Perbuatan apakah yang baik dalam Islam?" Dijawab:
"Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kaukenal dan yang
tidak kaukenal."
Teladan dan Ajaran-ajaran Muhammad
Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di
Medinah ia berkata: "Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api
neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itupun tidak
ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu mendapat
balasan sepuluh kali lipat." Dan dalam khutbahnya yang kedua dikatakannya:
"Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukanNya
dengan apapun. Benar-benar takutlah kamu kepadaNya. Hendaklah kamu jujur
terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu; dan dengan ruh Allah
hendaklah kamu sekalian saling cinta-mencintai. Allah sangat murka kepada orang
yang melanggar janjinya sendiri."
Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini
ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada
orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang
atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga
tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan pada
tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.
Bukan hanya kata-katanya itu saja yang
menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban
Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta
teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang
benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah - Utusan Allah; tapi tidak mau ia
menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang
kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: "Jangan aku
dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah.
Sebutkan sajalah hamba Allah dan RasulNya."
Sekali pernah ia mendatangi sekelompok
sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri
menyambutnya. Tapi dia berkata: "Jangan kamu berdiri seperti orang-orang
asing yang mau saling diagungkan.
Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya
iapun duduk dimana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya,
bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak merekapun
diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu dipangkuannya. Dipenuhinya
undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin.
Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung
kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi
salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih dulu mengulurkan tangan
menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang salat,
dipercepatnya sembahyangnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya.
Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap
orang dan selalu senyum. Dalam rumah-tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia
mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit
terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama
dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan
orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan
keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada
sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia wafat, baju besinya
sedang tergadai di tangan seorang Yahudi - karena untuk keperluan belanja
keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah
delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga
sahabat-sahabat menegurnya:
"Sudah cukup ada yang lain," kata
sahabat-sahabatnya itu.
"Mereka sangat menghormati
sahabat-sahabat kita," katanya. "Saya ingin membalas sendiri kebaikan
mereka."
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang
menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah
Aisyah berkata: "Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita
seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya."
Ketika ada seorang wanita datang ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya
baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata: "Ketika masih ada
Khadijah ia suka mengunjungi kami." Bahwa mengingat hubungan baik masa
lampau adalah termasuk iman. Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya
hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sembahyang.
Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri Zainab puterinya, sambil dibawa di
atas bahunya; bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.
Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah
menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga
menjadi dasar bagi seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ
saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun
membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia
sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit; kudanya
dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta,
karena menemui kesukaran lalu binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya:
"Hendaknya kau berlaku lemah-lembut." Kasih-sayangnya itu meliputi
segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang
memerlukannya.
Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena
lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau
sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara Muhammad dengan
semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disinilah dasar peradaban Islam yang
berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada
keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya
keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.
"Barangsiapa menyerang kamu, seranglah
dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu." (Qur'an, 2: 194)
"Dengan hukum qishash berarti
kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti." (Qur'an, 2:
179)
Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa
semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan
tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan
dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal
menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepadaNya ia tidak pula
merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam hatinya kecuali dari
perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi
kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat kalau
ia masih di bawah kekuasaan hawa-nafsunya. Muhammad dan sahabat-sahabatnya
telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah kekuasaan Quraisy dan
jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah
kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau sudah jasmani yang dapat berkuasa kedalam
rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dan akhirnya
kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita, padahal kita sudah
tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah
kekuasaan kita.
Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan
jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia
sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang
lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muhammad
sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini
yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasai, maka ia keras
sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya
hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin
mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan
diri sehingga lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan
serat. Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung
sya'ir6 dua hari berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur7. Pada
hari-hari yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat
makanan roti sop8. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah
perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.
Itulah yang sudah biasa dikenal tentang
makannya, meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan
yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu
dan manisan.
Begitu juga kesederhanaannya dalam hal
pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan
sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh
orang lain yang juga memerlukannya guna mengkafani mayat. Pakaian itu
diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan baju
luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi sekali-sekali ia
tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang mewah
sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga alas kaki yang dipakainya
sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah
dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan seluar.
Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri
dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini
juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Qur'an dapat dibaca:
"Makanlah dari makanan yang baik yang
sudah Kami berikan kepadamu." (Qur'an, 2: 57)
"Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat
seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan
hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah
berbuat baik kepadamu." (Qur'an, 28: 77)
Dan dalam hadis: "Berbuatlah untuk
duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk
akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok."
Akan tetapi Muhammad ingin memberikan
teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam
menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan
lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh harta-benda, oleh kekuasaan
atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang
didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh Muhammad
sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah persaudaraan
murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali.
Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam kasih-sayang dan
karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak.
Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan disamping rasa kasih-sayang
itu, maka ia juga menyertakan maaf disamping keadilan itu, maaf yang dapat
diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati
terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan
yang sungguh-sungguh.
Inilah dasar yang telah diletakkan oleh
Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam
cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada Rasulullah
tentang sunahnya, dengan dijawab: "Ma'rifat adalah modalku, akal-pikiran
sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada
Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka adalah kawanku,
ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, faqr
adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku,
kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad perangaiku dan
hiburanku adalah dalam sembahyang."
Kuatnya Agama Baru dan Takutnya Pihak Yahudi
Ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan
bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang dalam sekali
kedalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit orang yang berdatangan menyatakan
masuk Islam, dan kaum Musliminpun makin bertambah kuat di Medinah. Ketika
itulah orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap
Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia telah mengadakan perjanjian.
Mereka bermaksud ingin merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka
bertambah kuat terhadap orang-orang Kristen. Dan dia lebih kuat dari mereka itu
semua, ajarannya bertambah kuat. Malah sekarang ia memikirkan orang-orang
Quraisy yang telah mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta godaan
mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda dari agamanya. Adakah
orang-orang Yahudi itu akan membiarkan dakwahnya terus tersebar dan kekuasaan
rohaninya makin meluas, dengan cukup puas berada disampingnya dalam aman
sentosa yang berarti akan menarnbah keuntungan dan kekayaan dalam perdagangan
mereka? Barangkali memang akan begitu kalau mereka yakin bahwa dakwahnya itu
tidak akan sampai kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan sampai
meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang berlaku ialah tidak
akan mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari Keluarga Israil.
Akan tetapi ada seorang rabbi yang
cerdik-pandai, yaitu Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi
iapun lalu memeluk Islam; dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu merekapun
bersama-sama memeluk agama Islam.
Tetapi Abdullah bin Sallam masih merasa
kuatir akan ada kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang
Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi
untuk menanyai mereka tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia
sudah Islam. Ternyata mereka berkata: dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang
cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang
jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, merekapun
merasa kuatir akan nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu
iapun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal
ini mereka lalu sepakat akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya.
Secepat itu pula sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan
Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri
dengan mereka, baik karena mau mengejar keuntungan materi atau karena mau
menyenangkan golongannya atau pihak yang berpengaruh
Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik
antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih
licik daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang
Quraisy di Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang Yahudi
berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan risalahnya, menyerang
sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik,
tindakan bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang sejarah dan
peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul-rasul.
Mereka mengadakan intrik melalui
pendeta-pendeta mereka yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke
tengah-tengah kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian
lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan keraguannya. Mereka itu
memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Muhammad, yang mereka kira akan dapat
menggoncangkan iman umat Islam kepadanya dan kepada ajaran kebenaran yang
dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan Khazraj yang juga Islamnya
pura-pura, menggabungkan diri dengan orang-orang Yahudi dalam memajukan
pertanyaan-pertanyaan dan dalam menimbulkan perselisihan di kalangan kaum
Muslimin. Begitu keras kepala mereka itu sampai ada diantara orang Yahudi
sendiri yang mengingkari isi Taurat - padahal mereka percaya kepada Allah, baik
kalangan Keluarga Israil maupun orang-orang musyrik yang mempergunakan
berhala-berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Misalnya mereka
bertanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan makhluk ini, lalu
siapa yang menciptakan Allah? Muhammad hanya menjawab mereka dengan firman
Tuhan:
"Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu
Abadi dan Mutlak. Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu
apapun yang menyerupaiNya." (Qur'an, 112: 1-4)
Pihak Muslimin sekarang menyadari keadaan
musuh mereka, sudah mengetahui tujuan usaha mereka itu. Ada terlihat pada suatu
hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara sesama mereka dengan
berbisik-bisik. Muhammad meminta supaya mereka dikeluarkan dari dalam mesjid
itu dengan paksa. Tetapi ini tidak membuat mereka jera melakukan tipu-muslihat
dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum Muslimin. Ketika ada
beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj sedang duduk-duduk bersama-sama
salah seorang dari mereka [Syas b. Qais] lewat. Ia jadi panas hati melihat dua
puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata: masyarakat Banu Qaila di
negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti apa-apa kalau pemuka-pemuka
mereka sudah sepakat. Seorang pemuda Yahudi yang pernah dengan mereka dulu
dimintanya supaya mengambil kesempatan ini dengan menyebut-nyebut kembali
peristiwa Bu'ath dahulu serta bagaimana pula pihak Aus dapat mengalahkan
Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara. Ternyata hal ini memang menimbulkan
ingatan masa lampau pada kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang, saling
membanggakan diri dan hanyut dalam pertengkaran. "Kalau kamu mau kita
boleh kembali seperti dulu," kata mereka satu sama lain.
Peristiwa ini sampai juga kepada Muhammad.
Ia pergi menemui mereka dengan beberapa orang sahabat, dan diingatkannya
mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan membuat mereka benar-benar
bersaudara, saling mencintai. Sementara ia masih di tengah-tengah mereka,
merekapun menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka semua berdoa
bermohon ampun kepada Tuhan.
Polemik antara Muhammad dengan orang-orang
Yahudi itu sudah sampai dipuncaknya, sebagaimana oleh Qur'an sudah pula
diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Baqara (2) sampai dengan ayat 81, dan
sebahagian besar Surah an-Nisa' (4) semua menyebutkan tentang orang-orang Ahli
Kitab itu dan betapa mereka mengingkari isi-Kitab Suci mereka sendiri. Mereka
telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan pengingkaran mereka itu:
"Dan sesungguhnyalah Kami telah
mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul
pula dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti kebenaran kepada
Isa anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruh Suci. Adakah setiap datang
seorang rasul kepadamu membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu,
lalu kamu bersikap sombong? Sebagian kamu dustakan dan yang sebagian lagi kamu
bunuh? Dan mereka berkata: 'hati kami sudah tertutup.' Tetapi Tuhan telah
mengutuk mereka karena keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali
mereka yang beriman. Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab dari Allah,
yang membenarkan apa yang ada pada mereka, karena sebelum itu mereka minta
didatangkan kemenangan terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah
yang mereka ketahui itu berada di tengah-tengah mereka, merekapun juga tidak
mempercayainya. Karena itu, kutukan Allah menimpa orang-orang yang ingkar
itu." (Qur'an, 2: 87-89)
Begitu memuncaknya polemik antara
orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin itu, sehingga acapkali - sekalipun sudah
ada perjanjian antara mereka - permusuhan itu terjadi sampai dengan main
tangan. Sebagai contoh - sekedar sebagai ukuran - kita sudah mengenal Abu Bakr,
yang begitu lemah-lembut perangainya, dengan kesabarannya yang luarbiasa.
Ketika itu ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang bernama Finhash,
yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash menjawab: "Abu Bakr, bukan
kita yang membutuhkan Tuhan, tapi Dia yang butuh kepada kita. Bukan kita yang
meminta-minta kepadaNya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak
memerlukanNya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu Ia tidak
akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu.
Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya,
tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Maksud Finhash ini ditujukan kepada firman
Tuhan:
"Siapa yang mau meminjamkan kepada
Allah suatu pinjaman yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat
ganda." (Qur'an, 2: 145)
Tetapi dalam hal ini Abu Bakr tidak tahan
mendengar jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka Finhash itu keras-keras.
"Demi Allah," kata Abu Bakr,
"kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian,
pasti kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan."
Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini
kepada Nabi, tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr tidak
diakuinya. Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan:
"Tuhan sudah mendengar kata-kata
mereka yang menyebutkan: Tuhan itu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami
tuliskan kata-kata mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh nabi-nabi
dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa yang membakar ini!"
(Qur'an, 3: 181)
Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan
insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan tidak
pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya meninggalkan agamanya dan
kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak mereka menganut agama
Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya
Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin
mereka datang menemuinya dengan mengatakan: "Tuhan sudah mengetahui
keadaan kami, kedudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudipun
akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara kami
dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang ini
minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya
kepada tuan."
Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:
"Dan hendaklah engkau memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan
kauturuti hawa-nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai
mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan
kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan
bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya,
kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki
itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah
bagi mereka yang yakin?" (Qur'an, 5: 49-50)
Kiblat Dari Al-Masjid'l-Aqsha Dialihkan Ke
Al-Masjid'l-Haram
Orang-orang Yahudi merasa sesak napas
terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan tipu-daya terhadapnya,
akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah seperti yang terjadi
karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan sahabat-sahabatnyapun
keluar meninggalkan Mekah.
Lalu mereka mengatakan kepadanya, bahwa
para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait'l-Maqdis dan memang di sana tempat
tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, iapun akan
berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai kota
perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan al-Masjid'l-Aqsha. Akan
tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu
lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan
tipu-muslihat terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya,
menjelang tujuhbelas bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya
ke al-Masjid'l-Haram, Rumah Ibrahim dan Ismail:
"Kami sebenarnya melihat wajahmu yang
menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang
kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid'l-Haram. Dimana saja kau berada
hadapkanlah mukamu kearah itu." (Qur'an, 2: 142-143)
Orang-orang Yahudi ternyata menyesalkan
kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan,
bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Di
sini firman Tuhan menyebutkan:
"Dari orang-orang yang masih bodoh
akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang
dulu. Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. DipimpinNya siapa yang
disukaiNya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat
pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasulpun
menjadi saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu,
hanyalah untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat,
kecuali bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Tuhan." (Qur'an, 2: 144)
Delegasi Nasrani Ke Medinah
Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi
polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani
dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enampuluh buah kendaraan. Diantara
mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan
menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasa-penguasa Rumawi
yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan
harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran
buat kaum Nasrani Najran itu. Boleh jadi delegasi ini datang ke Medinah hanya
karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan antara Nabi dengan
orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat mengobarkan pertentangan
itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian orang-orang
Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari
intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan orang-orang Arab.
Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya
dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan theologis yang sengit antara
orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang
berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali ajaran Isa dan
Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala, seperti yang sudah kita
lihat. Mereka mendakwakan bahwa 'Uzair itu putera Allah. Sedang pihak Nasrani,
paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa. Sebaliknya Muhammad, ia
mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah
diatur oleh alam sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi - sejak
dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu
bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa diantara para rasul itu ia beriman. Ia
menjawab:
"Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkanNya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan
Isa serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kamipun patuh kepadaNya."
(Qur'an 2: 136)
Ia sangat menyesalkan sikap mereka yang
sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara bagaimanapun tentang keesaan
Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah mengubah kata-kata dari aslinya
dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka ternyata berlainan haluan dari
apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul-rasul yang sudah mereka akui
kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka
yang sudah terdahulu, sedikitpun tidak berbeda dari apa yang diajarkannya
sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan
tampak jelas dan sederhana sekali bagi setiap orang yang berjiwa pantang tunduk
selain kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ia akan melihat Alam ini sebagai suatu
kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan melihatnya dengan pandangan hati
nurani yang lebih tinggi diatas segala kehendak dan tujuan yang bersifat
sementara, di atas segala dorongan materi; lepas dari sifat tunduk buta kepada
segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang diterimanya dari
nenek-moyang mereka.
Pertemuan Tiga Agama Di Yathrib
Dimanakah ada suatu pertemuan yang
hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga
agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi
perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan
cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan
dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun
tiada juga berhasil - melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal
Nasrani dan Yahudi ini, dibelakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta
keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad,
tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan semata-mata, yang jalannya telah
ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. DikatakanNya kepada
mereka:
"Katakanlah; 'Orang-orang Ahli Kitab!
Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa
tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan
mempersekutukanNya dengan apapun, dan tidak pula antara kita saling
mempertuhankan satu sama lain, selain daripada Allah.' Tetapi kalau mereka
menyimpang juga, katakanlah: 'Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang
Muslimin.'" (Qur'an, 3: 64)
Apa pula yang akan dapat dikatakan oleh
orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Nasrani atau
oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah apa dan siapapun selain
Allah, jangan mempersekutukanNya dan jangan pula saling mempertuhankan satu
sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar jujur, jiwa manusia
yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran dan perasaan, tidak
bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain. Akan tetapi, dalam
arti hidup manusia, disamping segi rohani, juga ada segi materinya. Kelemahan
ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai kita, dengan jalan
membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang telah membunuh
kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi materi ini, yang
tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan gelar-gelar dan
pangkat, yang telah membuat Abu Haritha - salah seorang Nasrani Najran yang
paling luas ilmu dan pengetahuannya - pernah mengeluarkan isi hatinya kepada
salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan Muhammad itu.
Setelah temannya itu bertanya:
"Apa lagi yang masih merintangi kau
menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?"
"Yang masih merintangi aku ialah apa
yang sudah diberikan orang kepada kami," jawabnya. "Kami sudah diberi
kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang mereka kehendaki supaya kami
menentangnya. Kalau kuterima ajakannya itu tentu semua yang kaulihat ini akan
dicopot dari kami."
Kepada ajaran inilah orang-orang Yahudi dan
Nasrani itu oleh Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani diajaknya saling berdoa9,
sedang dengan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian. Dalam pada itu
pihak Kristen telah pula mengadakan permusyawaratan antara sesama mereka, yang
hasilnya kemudian diberitahukan kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling
berdoa dan akan membiarkannya ia dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada
agama mereka. Tetapi mereka juga melihat, betapa cenderungnya Muhammad
menjalankan keadilan itu, yang juga diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya.
Oleh karena itu mereka minta supaya ada seorang yang dapat dikirimkan
bersama-sama mereka guna mengadili masalah-masalah yang bagi mereka sendiri
masih merupakan perselisihan pendapat. Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu
'Ubaida ibn'l-Jarrah guna memutuskan hal-hal yang diperselisihkan itu.
Kaum Muslimin Mempertimbangkan Kedudukannya Terhadap
Quraisy
Peradaban yang batu pertamanya telah
diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya
itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh
sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap, dan
keadaan mereka menghadapi Quraisy itu suatu pemikiran yang tak pernah mereka
lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian
banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka'bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan
semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci
yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dari
Mekah? Disana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka
sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan
perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka
hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka diserang
penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka
sembahyangpun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah
dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang
dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat bersabar
terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan.
Disamping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni
nostalgia - rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan,
tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang,
gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali
mereka bersahabat. Diatas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka
masih kecil dan di sana pula tempat-tinggal mereka sesudah mereka besar. Kesana
hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan
dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah
mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali kedalam tanah
tempat ia dijadikan itu.
Naluri inilah yang lebih keras mendorong
hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka
bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah
terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah
cukup sabar mereka selama tigabelas tahun terus-menerus menanggung penderitaan.
Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka
yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.
Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci
dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap
persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri,
membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah-air. Untuk
membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar 'Aqaba yang kedua dengan penduduk
Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya
kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah air, Mekah yang mereka cintai
itu? Kearah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai
selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaranpun
akan terjunjung tinggi.
Catatan kaki:
[1] Yathrib nama kota Medinah. Dalam
terjemahan ini dua sebutan Yathrib dan Medinah sama-sama dipakai (A).
[2] 'Ala rib'atihim atau riba'atihim
menurut kebiasaan baik yang berlaku (N, LA) (A).
[3] Yata'aqalun, 'saling memberi dan menerima
diat' (N) atau tebusan darah (A).
[4] Suku atau batn ialah anak-kabilah,
lebih kecil dari kabilah (A).
[5] Dalam at-Bidaya wan-Nihaya oleh ibn
Kathir disebut Syatana.
[6] Sya'ir termasuk famili Graminea yang
mungkin lebih dekat kepada jenis jelai daripada gandum (A).
[7] Sawiq semacam bubur dibuat dari gandum
atau jelai dicampur dengan kurma (A).
[8] Tharid biasanya hidangan roti yang
dibasahi dengan kuah kaldu dan daging (A).
[9] Yula'inu, sama maksudnya dengan
Yabtahilu, atau mubahala yang dalam terjemahan ini dipakai kata saling berdoa.
Nabi mengusulkan kepada pihak Kristen mengadakan suatu mubahala, suatu
pertemuan khidmat, dengan masing-masing pihak yang mempertahankan pendiriannya
berdoa sungguh-sungguh kepada Allah, agar Tuhan menjatuhkan laknat kepada pihak
yang berdusta. "Barangsiapa membantah engkau tentang itu, sesudah datang
pengetahuan padamu, katakanlah: Marilah kita kumpulkan anak-anak kami dan
anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami sendiri
dan diri kamu, kemudian kita berdoa sungguh-sungguh kepada Allah. Kita mintakan
agar laknat Tuhan dijatuhkan kepada pihak yang dusta." (Qur'an, 3: 61).
Mereka yang benar-benar murni dan benar-benar yakin takkan ragu-ragu dalam hal
ini. Tetapi pihak Kristen disini ternyata mengundurkan diri. (A)
0 comments:
Post a Comment