Perhatian Muhammad ke Syam
MUHAMMAD belum merasa perlu: tergesa-gesa
membebaskan Mekah. Dia mengetahui sekali, bahwa soalnya hanya tinggal soal
waktu saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan. Juga bukan maksudnya
akan mengadakan pelanggaran. Muhammad orang yang sangat setia tiada sebuah kata
yang pernah diucapkan atau perjanjian yang pernah dibuat, akan dilanggarnya.
Oleh karena itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan tidak
terjadi bentrokkan-bentrokan, kecuali kecil-kecilan saja, seperti pengiriman 50
orang kepada Banu Sulaim dengan tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam,
yang kemudian dibunuh oleh Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak
semena-mena, sehingga pemimpinnya yang berhasil lolos hanya karena kebetulan
saja. Begitu juga Banu Laith dan Zafar yang telah menyerang dan merampas mereka
itu. Sama pula dengan hukuman yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena
pengkhianatan mereka itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang
telah dikirim ke Dhat't-Talh di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak
mereka mengikut Islam, dibalas dengan pembunuhan juga, sehingga tak ada yang
selamat kecuali pemimpinnya.
Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah
Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan diadakan
perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah penguasa di Yaman bersedia
menerima seruannya. Jalur penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar
dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam dan
daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama jalur dakwah itu. Oleh
karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan
tiga ribu orang yang kemudian di Mu'ta berhadapan dengan seratus ribu orang
pasukan lawan.
Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat
mengenai sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu'ta itu. Sebagian mengatakan
bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat't-Talh itulah yang menyebabkan adanya
penyerbuan sebagai hukuman atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain
berpendapat bahwa ketika Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius
di Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas
nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu'ta
supaya memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan
pendahuluan 'umrat'l-qadza', lalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu'ta ini
juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah Nabi wafat kemudian terjadi
pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang menimbulkan ekspedisi Mu'ta itu
karena dibunuhnya utusan Nabi kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas
orang sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat't-Talh.
Mengerahkan 3000 orang
Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan
Hijrah [tahun 629 M.] Nabi 'a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari
sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid b. Haritha
dengan mengatakan: "Kalau Zaid gugur, maka Ja'far b. Abi Thalib yang memegang
pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang memegang
pimpinan.
Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid
bin'l-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan
kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang
Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan
beserta pasukannya itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke
luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi,
orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau
menebangi pohon-pohon. Nabi 'a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut
mendoakan dengan berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga
kembali dengan selamat.
Komandan pasukan itu semua merencanakan
hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan
dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan
diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat
sampai di Ma'an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan
mereka hadapi di sana.
Pasukan Rumawi
Akan tetapi berita keberangkatan mereka
sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah
mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara
yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari
Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius
sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma'ab di
bilangan Balqa', terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus
ribu lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra' dan Bali. Dikatakan juga bahwa
Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius
sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma'an,
adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat
itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah
yang begitu besar. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis
surat kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita
bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus.
Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn
Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata: "Saudara-saudara,
apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati
syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena
kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi
mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita.
Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala
ini: menang atau mati syahid."
Rasa bangga dari penyair pemberani ini
segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata:
Ibn Rawaha memang benar!
Dua pasukan bertemu
Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai
di perbatasan Balqa', di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan
pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana
posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu'ta, yang
dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu'ta
inilah pertempuran sengit - antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius
dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
Zaid b. Haritha sebagai panglima
Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya!
Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah
musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati
disini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu
pilihan, yaitu mati syahid. Dan disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga
akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut
oleh Ja'far b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh
tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja'far terus
bertempur dengan membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung,
diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah
musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena.
Ja'far b. Abi Talib
Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan
Ja'far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila
tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal
lengannya sampai ia tewas. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi
dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.
Abdullah b. Rawaha
Setelah Ja'far tewas bendera diambil oleh
Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu
terpikir olehnya akan turun saja. Ia nmasih agak ragu-ragu. Kemudian katanya:
O diriku, bersumpah aku
Akan turun engkau, akan turun
Atau masih terpaksa juga
Jika orang sudah berperang dan genderang
sudah berkumandang
Kenapa kulihat kau masih membenci surga?
Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju
terus bertempur sampai akhirnya dia pun tewas juga.
Mereka itulah Zaid, Ja'far dan Ibn Rawaha.
Mereka bertiga telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi
setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama
terhadap Zaid dan Ja'far. Lalu katanya : Mereka telah diangkat kepadaku di
surga - seperti mimpi orang yang sedang tidur - diatas ranjang emas. Lalu saya
lihat ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya
itu. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah
agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga.
Orang sudah melihat teladan dan nasehat
yang baik ini! Tidak lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak boleh
ragu-ragu atau takut mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia
menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin bahwa itu untuk Tuhan dan
tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan, siap dilemparkan ke muka
siapa saja yang akan merintanginya dari jalan itu. Salah satu: dia menang dan
berhasil mencapai kebenaran Tuhan dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi
keyakinannya, atau ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu teladan yang hidup
bagi angkatan kemudian, dan suatu kenangan abadi buat jiwa besar yang bisa
mengerti, bahwa harga hidup itu ialah hidup yang dikurbankan untuk tujuan cita-citanya;
bahwa mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan hidup. Orang
semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam hidup kita. Ada orang yang
menerjunkan diri ke dalam bahaya bila terasa hidupnya terancam demikian rupa
sehingga ia pun menjadi kurban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia
berarti mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan hidupnya padahal oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan,
supaya dapat menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di balik
tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan takut yang sebenarnya
lebih celaka daripada maut.
Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya
sedikit saja tampak pada Ibn Rawaha, padahal sesudah itu, dengan keberanian
yang luarbiasa ia pun bertempur lagi sampai mati sebagai syahid masih
ditempatkan tidak sama dengan Zaid dan Ja'far yang menyerbu barisan maut dengan
gembira menghadapi mati sebagai syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik
surut hanya karena mengharapkan kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan
duniawi lainnya ! Kalau begitu tidak lebih dia hanyalah serangga yang hina
saja, meskipun kedudukannya di muka orang banyak sudah tinggi dan hartanya
sudah melampaui harta karun. Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira
apabila ia sudah dapat berkurban untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu
benar, sampai akhirnya ia pun gugur untuk.membela kebenaran itu, atau kebenaran
itu dapat menguasai hidupnya!
Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu
lalu tampil lagi dengan keberanian yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil
oleh Thabit b. Arqam [Banu 'Ajlan], yang kemudian berkata:
"Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari
kita mencalonkan salah seorang dari kita."
Mereka segera menjawab: "Engkau
sajalah."
"Tidak, saya tidak akan mampu,"
Pimpinan di tangan Khalid bin'l-Walid
Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid
bin'l-Walid. Diambilnya bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya barisan
Muslimin mulai centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai kendor. Khalid sendiri
seorang jenderal yang cukup ulung, seorang penggerak militer yang tidak banyak
bandingannya, Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan Muslimin
dapat diaturnya kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu sengaja ia membuat
insiden-insiden kecil yang diulur-ulur sampai petang hari. Malamnya kedua
pasukan itu tentu akan meletakkan senjata menunggu sampai pagi.
Siasat Khalid
Pada saat itulah Khalid mengambil
kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar demikian
rupa dengan jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang
dikerahkan maju dari barisan belakang. Pagi-pagi bila orang sudah bangun,
dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk demikian rupa yang cukup menimbulkan
perasaan gentar di kalangan musuh, dengan anggapan bahwa bala bantuan telah
didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu pada hari pertama
telah membuat peranan begitu besar terhadap pasukan Rumawi dan tidak sedikit
pula jumlah mereka yang sudah terbunuh - meskipun tak dapat mereka pastikan -
konon apa lagi yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang
baru didatangkan itu, dengan tiada orang yang mengetahui berapa besarnya!
Oleh karena itu pihak Rumawi jadi
menjauhkan diri dari serangan Khalid dan senang sekali mereka kalau Khalid
tidak sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang lagi. Ia
dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Medinah, setelah mengalami suatu
pertempuran yang tidak membawa kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga
sama tidak membawa kemenangan buat lawan mereka itu.
Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir
sampai di Medinah, Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama
menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah b. Ja'far dibawa
dan diangkatnya di depannya. Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan
tentara itu seraya berkata:
"He orang-orang pelarian! Kamu lari
dari jalan Allah!"
Tapi Rasul segera berkata: "Mereka
bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya
Allah."
Sungguh pun sudah begitu rupa Muhammad
menghibur orang-orang yang baru kembali dari Mu'ta itu, namun Muslimin belum
mau juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka kembali itu;
sampai-sampai Salama ibn Hisyam tidak mau ikut sembahyang bersama-sama dengan
Muslimin yang lain, kuatir masih akan terdengar suara-suara orang bila
melihatnya: "He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah."
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan
yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid
sendiri, niscaya Mu'ta masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang
telah dicontengkan saudara saudara seagania di kening mereka itu.
Muhammad menangisi para Syuhada
Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati
Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja'far telah tewas. Begitu sedih ia
menanggung dukacita karena mereka itu.
Setelah Ja'far mendapat malapetaka,
Muhammad pergi sendiri ke rumahnya, dijumpainya isterinya Asma bt. 'Umais yang
pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan,
sudah diminyaki dan dibersihkan.
"Bawa kemari anak-anak Ja'far
itu," kata Muhammad kepadanya.
Setelah mereka dibawa, diciuminya anak-anak
itu, dengan airmata yang sudah berlinangan.
"Rasulullah," kata Asma' gelisah;
ia sudah merasa apa yang terjadi. "Demi ayah bundaku! Kenapa menangis,
Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja'far dan kawan-kawannya
barangkali?"
"Ya," jawabnya. "Hari ini
mereka tewas." Berkata begitu airmatanya sudah makin tak dapat ditahan,
deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga banyak
wanita-wanita yang datang berkumpul.
Bila Muhammad pulang ia berkata kepada
keluarganya: "Keluarga Ja'far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat
mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan." Ketika dilihatnya puteri Zaid -
bekas budaknya itu - datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada
sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati
syahid itu. Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu airmata seorang kawan yang
kehilangan kawannya.
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah
Ja'far dibawa ke Medinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah
Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh orang supaya jangan
lagi menangis. Kedua tangan Ja'far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti
dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.
Ekspedisi Dhat's-Salasil
Beberapa minggu kemudian setelah Khalid
kembali, Muhammad bermaksud hendak mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di
bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan 'Amr bin'l-'Ash supaya
mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang demikian, sebab ibn 'Amr ini
berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah ia bergaul dengan
mereka. Tetapi setelah ia sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah
Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia mengirim kurir
kepada Nabi 'alaihissalam meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu
'Ubaida bin'l-Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr
dan Umar. Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir 'Amr akan
berselisih dengan Abu 'Ubaida sebagai anggota Muhajirin yang mula-mula, maka
dipesannya kepada Abu 'Ubaida ketika dilepaskan. Jangan berselisih.
***
"Engkau datang kemari sebagai
pembantuku. Pimpinan tentara ditanganku," kata 'Amr kemudian kepada Abu
'Ubaida.
Abu 'Ubaida adalah orang yang sangat
lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah duniawi.
"Rasulullah sudah berpesan,"
katanya kepada 'Amr "Kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat
kepadaku, akulah yang taat kepadamu."
Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga
'Amr yang menjadi imam.
Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin
pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah
diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu telah
dapat dipulihkan
Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga
pada Mekah dan segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia
sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis
waktu dua tahun. Sementara itu satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga
adanya pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka berontak itu.
Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan
kepadanya dari segenap penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan
yang penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar akan
dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini,
sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.
0 comments:
Post a Comment