Sumber Peradaban Pertama
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban
manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya
dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan,
bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah
Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh
karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian
di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan
Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu:
adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya,
ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
Apapun juga yang telah diperoleh
sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan
mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang
berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama - baik di Mesir,
Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir
adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau
Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih
erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur
Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi
pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira'un, Asiria
atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan
peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan
saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa,
sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat
manusia dewasa ini.
Laut Tengah dan Laut Merah
Peradaban-peradaban itu sudah begitu
berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di
Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini
perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala
bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan
pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu
berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam
Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup
kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan
antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang
bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian
sesudah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu
dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan
duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan
sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan
sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak
akan hidup kembali.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang
menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam
lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita
kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia
dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Agama-agama Kristen dan Majusi
Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya
ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya:
"Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun
sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama
orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula
dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam.
Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian
menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut
mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak
Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika
itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut
agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan
Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu
selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada
di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan
hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang
tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama
Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India.
Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia,
telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan
peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam
lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat
dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad
berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah
berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat
tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling
mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka
itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Bizantium Pewaris Rumawi
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat
mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan
menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak
yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya.
Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula
membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara
keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah
mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu
berganti berada di pihak Rumawi, Salib itupun diambilnya kembali dari tangan
Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di
Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan
rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling
berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai
abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin
meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul
dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar
yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur
telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan
sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu.
Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu
datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa
ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam
pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah
mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah
kekuasaan Vandal itu.
Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai
pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam
sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan
dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya.
Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena
perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang
terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia
berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam
kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang
mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada
manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya
sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk
dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam,
sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan
Almasih.
Terjadinya pertentangan antara sesama
pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat
dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada
teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu
ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia,
ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat
dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata:
"Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya
dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang
makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan
terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang
bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan
dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila
ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka
pelayannya akan segera menjawab: "Putera telah diciptakan dari yang tak
ada."
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama
Masehi sehingga ia terpecah-belah ke dalam golongan-golongan dan sekta-sekta
itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi.
Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah
naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki
pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu
masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai
mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua
golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang
sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi
tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya
bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu
menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.
Majusi Persia di Jazirah Arab
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah
naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang
merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian
ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di
sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina.
Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula
menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir
yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga
demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk
kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia
telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi.
Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling
menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan
pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan
sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun
begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang
lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu,
tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua
berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu
ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan
yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi
kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Antara Dua Kekuatan
Kedua kekuatan yang sekarang sedang
berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan
Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada di bawah pengaruh kedua kekuatan itu,
pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu
masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua
agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke
atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah
itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan,
kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah
oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja
pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh
kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya
terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta
kecenderungan hidup mereka masing-masing.
Letak Geografis Semenanjung Arab
Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak
parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur
Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan
Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi,
dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang
sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan
rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan
penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang
berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian
juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi
melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah
merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak
ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu
usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan
yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya
terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam
yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh
kemajuan. Sama sekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara
terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah
lautan padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya,
beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya,
sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain.
Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di
sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari
celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang
terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.
Raja Sahara
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian
itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup
menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah
biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar
menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak
seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah
sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang
yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu
tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat
menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.
Lalu-Lintas Kafilah
Pada masa itu orang belum merasa begitu
aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan
pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan,
bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut.
Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan
lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor
perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rumawi dan
sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah
lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk
Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar
sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama
halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih
banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula
bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah
sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka
sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan
kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja," kata Heeren, "tetapi sudah
menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu,
yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat
tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi
tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma
dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan
binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang
melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang
perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan,
tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan
dari tempat itu."1
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan
kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk
Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah
kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan
Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu
diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di
Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan
demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan
pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu.
Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur
sedikit sekali yang mau mengarunginya - kecuali bagi mereka yang sudah biasa
sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan
mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang
tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan
menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah
dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang
yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan -
ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke
dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa
hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya
akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal
tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap
pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain
ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar
(perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang
lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa
pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas
dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan
permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam
ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu
itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut -
orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari
tempat itu, dan daerah yang tadinya sama sekali tertutup itu sekarang sudah
mulai dikenal dunia.
Yaman dan Peradabannya
Tak ada yang dikenal dunia tentang
negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan
dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya
perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih
disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang
tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan
mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya,
daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia
menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan
tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri
dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas.
Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai
ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan
sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
Sebelum di bangunnya bendungan ini , air
hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur
turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula
air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri
lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah
sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang
terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan
kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan,
yaitu Bendungan Ma'rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah
yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air
ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka
bertambah subur.
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di
Yaman yang pernah diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih
diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah
mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman
pernah pula mengalami bencana.
Judaisma dan Kristen di Yaman
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan
dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan
juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar
yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada
waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada
agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan
menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah,
yang termasuk dalam kisah "orang-orang yang membuat parit," dan
menyebabkan turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat
parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa
yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa
orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan
Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada
seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan
Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang
mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga.
Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya
kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh.
Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di
dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api,
dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah
korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya
dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta
bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak
Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi
(Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad
ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak
kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang
kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia
menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut
Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan
Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang membawa surat -
sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram salah
seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia.
Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian
menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia
yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka'bah tetapi gagal, seperti
yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut. Anak-anak Abraha kemudian
menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu
lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja Rumawi.
Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain
dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar
Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin
Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui
Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira
dan sekitarnya di Irak.3
Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama
datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi
(Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian
tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir
dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan
lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air
tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu
delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai
dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki
tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan
Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu
dan Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada
mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya
di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia
yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia
dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman berada di bawah
kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam
naungan agama baru ini.
Akan tetapi orang-orang asing yang telah
menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal
itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra
Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia membayangkan - dengan pikirannya
yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa
kerajaannya membantu memenuhi kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup
kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat
perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam
suatu kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh
pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh
pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan
dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh
pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam
suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia
beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan
lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan
dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna
perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh
mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan
kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium
dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya Syirawih ini telah
mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum
Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah dijadikan gelanggang
pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam
sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya.
Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh suku-bangsa Himyar telah
dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir
besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah
mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu lapuk dan
tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat
Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa
perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun menyiapkan armadanya
menyeberangi Laut Merah - antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh -
guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian tidak
perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah
sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan
pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di Yaman ke Utara.
Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian
menghubungkannya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya
perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan
kepada rusaknya bendungan Ma'rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah
yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga kejadiannya, namun adanya
imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab
lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih
dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
Apabila sistem politik di Yaman sudah
menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang
menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka
struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab
lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara
yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan
sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian demikian
itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan sampai sekarang adalah
penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal
menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka
tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.
Seperti juga di tempat-tempat lain, di
sinipun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti
yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga
dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib mau
mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat
dan penguasa, sebagai imbalan atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka.
Sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun - seperti kekayaan
yang menjadi harapan orang kota - selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau
hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau
kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti
makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah
kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas
itu.
Oleh karena itu, kaum pengembara tidak
menyukai tindakan ketidak-adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau
melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat
tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang
terpaksa harus demikian.
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan
yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu
juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat
harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat
apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akan makin hilang
apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor
ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman
saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih
suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik
pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada peraturan apapun
yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan itu cukup
mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena
adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan.
Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat
sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan
tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta
menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka
selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti Mekah, Ta'if, Yathrib dan
yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung
atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu.
Dalam susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat
serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat
kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka
dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan
cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal
berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.
Sebabnya Jazirah Bertahan Pada Paganisma
Lingkungan masyarakat dalam alam demikian
ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai
pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama
Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua
agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah Arab
lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama
Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang
dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara
hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum
pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak
terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup
antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang
kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh
adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas
kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya
tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak
perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang
di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap
kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya
jadi berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah
diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad
permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan
sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan
negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama
nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama
Kristen.
Manifestasi peradaban dunia yang paling
jelas pada masa itu - seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar
Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu
dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuhan yang
berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang
Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya
pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam
mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka
dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji Imperium Rumawi yang
membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab
merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan
Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak
menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat
(Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan
paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang
di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah
bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan
dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat
iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang
sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa
Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah
biasa berlaku.
Ini tentu disebabkan oleh karena isi
dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi
sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan
menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah menjadi pokok perdebatan
kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di
Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan
orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan
perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang
berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada
musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari
Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan
itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka
sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah
berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun
sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan
agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada
mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab
yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja.
Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap
bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di
kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan
Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka
macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan
filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang
dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya
yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik - dapat
juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecintaannya
itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat
jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita
sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih
tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat
memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang
sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha
Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja
seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai
segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam
dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan
berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang
pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu
dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat
kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern
dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka
yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki
patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena
diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu kita dapat memaklumi.
Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka
melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka
serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah
mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari
nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian
ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini,
dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa inipun
membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus
paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa
saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang
Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan
dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri
telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat
menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara
tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah
dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa
oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak
lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam
bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping itu menunjukkan pula bahwa
kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau
suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan
zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan
(berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau
kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang
tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit
meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara
berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini
tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau
di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara
terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari
batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh
orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang
Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang dari
semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan berhala-berhala besar
itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan
kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan
berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu
ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam
perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik
yang ada dalam Ka'bah atau yang ada di sekelilingnya, begitu juga yang ada di
semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara
antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada
dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah
mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang
paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat
perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi
pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula
orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat
lain.
Oleh karena itu, dan sebagai markas
perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh
jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi
Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang
zaman. Ka'bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang
tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak
berabad-abad lamanya.
Catatan kaki:
[1] Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of
Mohammad, p.xc.
[2] Cerita demikian terdapat dalam beberapa
buku sejarah. Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga dijadikan
pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari
menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi
meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu
dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan api, Najasyi
berkata: "Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang
aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar dengan
melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan: "Hisyam ibn
Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi,
pasukannyapun dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab." Lihat
Tarikh't-Tabari cetakan Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
[3] Beberapa keterangan dalam buku-buku
sejarah berbeda-beda tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab Musta'riba di
Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai
Habasya membentang sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya. Karena
kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman. Aelius
Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi di Mesir mengadakan persiapan. akan
menyerbu Yaman. Pasukannya dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga
menyerang Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan merekapun kembali ke
Mesir. Sesudah itupun Rumawi berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan
di luar Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang pernah
dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan
pembalasan terhadap Yaman yang telah memaksakan agama Yahudi terhadap
orang-orang Rumawi yang beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman
dan berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang mengusir mereka.
0 comments:
Post a Comment