Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang
pertama
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum
Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka
siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak
Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus
mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka -
dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap
Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada
yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang
ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka
mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan
tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian
mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar
Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula
apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama,
suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian
'Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang
dia.
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa
yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di
Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b. Abd'l-Muttalib ke
tepi laut (Laut Merah) di sekitar 'Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang
terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini ia
bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari
penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu
dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak.
Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan 'Ubaida bin'l-Harith dengan 60 orang pasukan
terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat
air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok
Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa
Said b. Abi Waqqash ketika itu telah melepaskan anak panahnya, "dan itu
adalah anak panah pertama dilepaskan dalam Islam." Demikianlah ketika Said
bin Abi Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin
menurut satu sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka
kembali karena tidak bertemu siapa-siapa.
Nabi berangkat sendiri
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi
dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan
tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa'd b. 'Ubada. Ia
pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu
Dzamra; tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan
pihak Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang
dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang
dipimpin o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh
100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka
sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan
bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa
setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd'l-Asad, ia
berangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih
sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil
Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober
623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat.
Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari
Banu Dzamra; dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari
lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan
dengan orang-orang Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta
dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid
b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut
Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi pertama
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis
sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat
dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad - memang sudah
memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan
permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya - menurut pikiran ahli-ahli
sejarah itu - ini membuktikan, bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang
dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh
kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy
dalam perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian
perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan
Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan
serangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan
dapat melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum
Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak terhadap orang-orang
dan harta-benda mereka itu. Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s.
pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith dan
Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan
dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua
tadi, begitu juga pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya)
yang dimulai enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya
diikuti oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan
menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus
berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan
'Ubaida tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang
petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda
jumlahnya. Sejak Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan
dengan kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak
Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah,
'Ubaida ataupun Sa'd, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala
satuan-satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup
memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup
dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang
dilakukan orang tentang anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
Disamping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal
oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan
sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling
bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas dendam, atau akan melibatkan
Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai
pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu
menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama
berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji
kepadanya atau kepada siapapun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan
tindakan permusuhan (agresi).
Pendapat kami tentang satuan-satuan ini
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah
orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan
sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya
itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perualanan yang mula-mula
itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam
hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai
pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di
Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu
didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan
pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan
dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan
bertetangga baik.
Menyudutkan perdagangan Quraisy
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan
yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa
kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan
pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari
Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua
belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta
menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi
pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam
perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari
Mekah dan Ta'if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah
perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000
unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger
ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira
160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang
mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi
ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling
pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh
pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta
kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling
pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang kini akan
mencegat dan menutup jalan lalu-lintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang
menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai
oleh Majdi b. 'Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju
rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat
dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga
ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi - setelah melihat kecongkakan
Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin mengadakan
perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan
itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai
juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali
memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Anshar dan perang Agresi
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni
bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu
hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan
bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala
Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh
orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu
pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan
pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk
Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau
oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam
perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat
kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan
suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu
pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa
keberangkatan satuan-satuan Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu
penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian
Muhammad ke Abwa', Buwat dan 'Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan, adalah
sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan
yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah
mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis
peri hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa
mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang terjadi
kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi
sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap sebagai
peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa
Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis
yang memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak
mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga
mereka sudah mengetahui hal ini - disamping usaha mereka menyesuaikan diri
dengan ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan
terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal
di Medinah - ialah karena mereka sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang
mula-mula ini tujuannya tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan
kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman
dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti
Muhammad dengan melanggar janji mereka di 'Aqaba.
Watak penduduk Medinah
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab
penduduk Medinah - seperti juga penduduk Mekah - bukanlah orang-orang pedalaman
yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak
orang yang hidup dari hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan
samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang
luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak
membebaskan harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu
mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga
bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang
belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak
bukanlah dengan tujuan ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis,
melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari
agamanya dan supaya ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti
penjelasan dan pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih
jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu
ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam
mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap kaum
Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika hendak mengembalikan
orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu ia pun tidak keberatan
mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk
agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi
Allah.
Menakut-nakuti Yahudi
Dibalik satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang
dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang
Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa
ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak
merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan
persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara
dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan
panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi
Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan
ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan
mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk
Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu,
maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di
kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan
Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan
menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Intrik-intrik Yahudi
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya
komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka
dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi.
Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk
atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah
diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula
apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka
akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi
istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta
kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka
berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap
fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke
akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini
ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada
benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan
Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
Islam dan Perang
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan
terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk
menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah
yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian
berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah
teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu,
yakni seperti yang sudah kita sebutkan - dari satu segi guna menakut-nakuti
pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak
Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama
serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai
terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam
menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja
yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan
demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula
seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
"Dan janganlah kamu melakukan
pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan
pelanggaran." (Qur an, 2: 190)
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu
dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika
mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama
mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum
perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah adanya
ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam
bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa orang
Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk tidak
dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu.
Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka
surat itu, yang berbunyi: "Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan
perjalananmu sampai ke Nakhla (antara Mekah dan Ta'if) dan awasi keadaan
mereka. Kemudian beritahukan kepada kami."
Disampaikannya hal ini kepada
kawan-kawannya dan bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka semua
berangkat meneruskan perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan
'Utba b. Ghazwan yang ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi
oleh pihak Quraisy mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya
meneruskan perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan
kafilah Quraisy yang dipimpin oleh 'Amr bin'l-Hadzrami dengan membawa
barang-barang dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy
dan rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta
harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. "Kalau kita
biarkan mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang.
Tapi kalau mereka kita gempur, berarti kita menyerang dalam bulan suci,2"
kata mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan
maju. Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur,
siapa saja yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah
seorang anggota rombongan itu melepaskan panahnya dan mengenai 'Amr
bin'l-Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan dua orang dari
Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy
membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima barang
rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat mereka
ini ia berkata, "Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan
suci."
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya.
Samasekali ia tidak mau menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa
kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Musliminpun sangat
menyalahkan tindakan mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang
dipergunakan. Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad dan
kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas
harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di
Mekahpun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah
ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya'ban. Lalu datang orang-orang Yahudi
turut mengobarkan api fitnah. Ketika itulah datang firman Tuhan:
"Mereka bertanya kepadamu tentang
perang dalam bulan suci. Katakanlah: "Perang selama itu adalah soal
(pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan
mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari
sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan
pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil
memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup." (Qur'an, 2: 217)
Dengan adanya keterangan Qur'an dalam soal
ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan kedua
orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy akan ditebus
kembali. Tetapi kata Nabi:
"Kami takkan menerima penebusan kamu,
sebelum kedua sahabat kami kembali - yakni Sa'd b. Abi Waqqash dan 'Utba ibn
Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu bunuh mereka,
kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh."
Setelah Said dan 'Utba kembali, Nabi mau
menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka, yaitu
Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang yang seorang lagi
kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci
yang diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami,
ini adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan
peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu
kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral
dan spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai
kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang
perang dalam bulan suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar,
yang diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari
itu. Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih
besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang
meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah
lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan
suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin
karena mereka melakukan perang dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi
umat Islam supaya berpaling dari agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak
Quraisy dan orang-orang musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran
ini, menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkariNya, apabila mereka
ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya,
maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan pelanggaran itu
bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi bagi orang yang tidak
mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang dalam bulan suci memang suatu
pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan.
Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau
memfitnah orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia harus
berjuang demi Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di
sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara
keras-keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang
berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang
masuk Islam dengan pedang. Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama
Kristen tidak mengenal adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah
menganjurkan toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia,
untuk Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan
mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: "Bukannya Aku
datang membawa keamanan, melainkan pedang" dan seterusnya juga tidak
tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam mengakui agama
Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Qur'an. Tetapi yang terutama perlu saya
sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya menganjurkan
perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan
yang ditolak oleh Qur'an:
"Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah
jelas mana jalan yang benar, mana yang salah." (Qur'an, 2: 256)
"Berjuanglah kamu untuk Allah melawan
mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran
." (Qur'an, 2: 190)
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari
kedua ayat suci tersebut.
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi
Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang
turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi mereka yang
membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya atau mengalanginya dari
jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau dengan
kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang
dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang
hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya
dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau penyiksaan
dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya - maka sudah tentu ia akan
menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi
orang dan ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata
itupun harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia
berbuat begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu
tersimpul hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga
- bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan - daripada harta, daripada
kekayaan, kekuasaan dan daripada hidupnya sendiri; hidup materi yang sama-sama
dimiliki oleh manusia dan hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami
pertumbuhan tubuh dan enersi. Akidah adalah suatu komunikasi moral antara
manusia dengan manusia, dan komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan.
Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk
lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai
dirinya sendiri. Ia mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan
tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu sedang
dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam semesta supaya bekerja
secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan hidup seperti
yang sudah diberikan Tuhan kepadanya
Apabila akidah yang semacam ini yang ada
pada manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya,
sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat seperti dilakukan
orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke Medinah. Dideritanya segala
perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya segala penghinaan dan
ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan serba kekurangan yang
bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya berperang terus pada
akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh
orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang
Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan
akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia
terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan
terasa kecil segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia
meratakan gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah
dari tempatnya, gunung itu akan pindah - seperti kata Injil juga. Tetapi jika
orang menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat
menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang
dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini
berarti, akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah dilakukan oleh Muhammad
dan sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan ini pula
yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah kekuasaan mereka di
Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati maharaja-maharaja Rumawi
itu mulai pula lunak terhadap agama Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi
jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya
tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan
kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam
adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa
kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama
Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua.
Perang-perang Salib terjadi karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan
oleh orang Islam. Mengalirnya pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari
Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan,
pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti
Jesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang
bergerak maju hendak menguasai Bait'l-Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci
Kristen lainnya.
Adakah barangkali paus-paus itu semua
orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan
mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual yang
bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari
perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan, abad kegelapan;
janganlah agama Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka
katakan, maka abad keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang inipun, yang biasa
disebut abad kemajuan dan humanisma - toh dunia juga telah mengalami nasib
seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil
Sekutu - Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord Allenby berkata di
Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu didudukinya dalam
tahun 1918: "Sekarang Perang Salib sudah selesai."
Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada
orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti
persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya
dengan unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada
orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan komunikasi
dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan
jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci
itu - baik dari kalangan Kristen atau Islam - kalaupun mereka sudah
mencerminkan cita-cita yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan
insani dalam perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya
mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba
mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa
dapat kita pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita
sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau masa seribu tiga
ratus limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib itu.
Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga
berlumba-lumba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal.
Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan
arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai
perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya
serangkaian propaganda yang dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh
orang-orang yang sampai sekarang belum mampu - dan siapa tahu barangkali takkan
pernah mampu - mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya,
perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian
bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada
kehancuran.
Islam agama kodrat
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga
bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi
Islam adalah agama kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam
arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada
kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat
manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam
jiwa kita lalu menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang
maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan
yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai
kebaikan dan kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang
paling baik ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela
diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha kearah itu.
Hendaknya rasa harga diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang sudah. menjadi ketentuan Islam
seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang
digariskan oleh Qur'an seperti yang sudah dan yang akan kita kemukakan kepada
pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta hubungannya maka Qur'an itu
diturunkan.
0 comments:
Post a Comment