Haekal mengulas isteri-isteri Nabi Muhammad saw.,
terutama kepada Zainab, sebagai jawaban dari tuduhan kaum orientalis mengenai
perkawinan nabi dengan Zainab.
Teriakan Orientalis tentang Zainab bt. Jahsy
SEMENTARA peristiwa-peristiwa dalam dua
bagian di atas itu terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian
kawin dengan Umm Salama bt. Abi Umayya bin'l-Mughira, selanjutnya kawin lagi
dengan Zainab bt. Jahsy setelah dicerai oleh Zaid b. Haritha. Zaid inilah yang
telah diangkat sebagai anak oleh Muhammad setelah dibebaskan sebagai budak
sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah. Di sinilah kaum Orientalis dan
misi-misi penginjil itu kemudian berteriak keras-keras: Lihat! Muhammad sudah
berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai pengajar yang hidup
sederhana, yang dapat menahan diri dan mengajarkan tauhid, sangat menjauhi
nafsu hidup duniawi, sekarang ia sudah menjadi orang yang diburu syahwat, air
liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang isteri saja dalam
rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga orang wanita seperti yang disebutkan di
atas. Sesudah itu mengawini tiga orang wanita lagi, selain Raihana. Tidak cukup
kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia jatuh cinta kepada
Zainab bt. Jahsy yang masih terikat sebagai isteri Zaid b. Haritha bekas
budaknya. Soalnya tidak lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia
sedang tidak ada di tempat itu, lalu ia disambut oleh Zainab. Tatkala itu ia
sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya, dan kecantikan ini
sangat mempengaruhi hatinya. Waktu itu ia berkata "Maha suci Ia yang telah
dapat membalikkan hati manusia!" Kata-kata ini diulanginya lagi ketika ia
meninggalkan tempat itu. Zainab mendengar kata-kata itu dan ia melihat api
cinta itu bersinar dari matanya. Zainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa
yang didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu itu juga Zaid
menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia menceraikannya. Lalu kata Nabi
kepadanya:
"Jaga baik-baik isterimu, jangan
diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah."
Tetapi pergaulan Zainab dengan Zaid sudah
tidak baik iagi. Kemudian ia dicerai. Muhammad menahan diri tidak segera
mengawininya sekalipun hatinya gelisah. Ketika itu firman Tuhan datang:
"Ingat, tatkala engkau berkata kepada
orang yang telah diberi karunia oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi
kepadanya: Jagalah baik-baik isterimu. Hendaklah engkau takut kepada Allah. Dan
engkau menyembunyikan sesuatu di dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah
diterangkan. Engkau takut kepada manusia, padahal seharusnya Allah yang lebih
patut kautakuti. Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami
kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang
beriman kawin dengan (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana
kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti
dilaksanakan." (Qur'an, 33:37)
Ketika itulah wanita itu dikawininya.
Dengan perkawinan ini semarak cinta berahi dan api asmaranya yang menyala-nyala
dapat dipadamkan. Nabi apa itu!? Bagaimana ia membenarkan hal itu buat dirinya
sedang buat orang lain tidak?! Bagaimana ia tidak tunduk kepada undang-undang
yang katanya diturunkan Tuhan kepadanya?! Bagaimana pula "harem" ini
diciptakan, yang mengingatkan orang pada raja-raja yang hidup mewah-mewah,
bukan pada para nabi yang saleh dan memperbaiki kehidupan umat?! Selanjutnya
bagaimana pula ia menyerah kepada kekuasaan cinta dalam hubungannya dengan
Zainab sehingga ia menghubungi Zaid bekas budaknya supaya menceraikannya,
kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam ini pada zaman jahiliah dilarang, tapi
nabinya orang Islam ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya, mau
memenuhi dorongan cintanya.
Zainab menurut gambaran kaum Orientalis
Bilamana kaum Orientalis dan para misi
penginjil bicara mengenai masalah ini dalam sejarah Muhammad, maka mereka
membiarkan khayal mereka itu bebas tak terkendalikan lagi; sehingga ada
diantara mereka itu yang menggambarkan Zainab - ketika terlihat oleh Nabi -
dalam keadaan setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang
hitam panjang lepas terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai, yang
akan dapat menterjemahkan segala arti cinta berahi. Yang lain lagi menyebutkan,
bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir
kamar Zainab. Ketika itu ia sedang telentang di tempat tidur dengan mengenakan
baju tidur. Pemandangan ini sangat menggetarkan jantung laki-laki yang gila
perempuan dengan kecantikannya itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun
sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian!
Gambaran yang diciptakan oleh khayal
demikian itu banyak sekali. Akan kita jumpai ini dalam karya-karya Muir,
Dermenghem, Washington Irving, Lammens dan yang lain, baik mereka ini para
Orientalis atau misi-misi penginjil. Dan yang sungguh disayangkan lagi karena
dalam membuat cerita-cerita itu, semua mereka memang mengambil sumbernya dari
kitab-kitab sejarah Nabi dan tidak sedikit pula dari hadis. Kemudian dengan apa
yang mereka gambarkan itu, mereka membangun istana-istana gading dari khayal
mereka sendiri tentang Muhammad serta hubungannya dengan wanita. Alasan mereka
ialah karena isterinya banyak, yang sampai sembilan orang menurut pendapat yang
lebih tepat, atau lebih dari itu menurut sumber-sumber lain.
Orang-orang besar tidak tunduk kepada undang-undang
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua
kata-kata mereka itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi dengan
itu apa pula kiranya yang akan dapat mendiskreditkan kebesaran Muhammad atau
kenabian dan kerasulannya. Undang-undang yang biasanya berlaku pada umum, tidak
mempan terhadap orang-orang besar, lebih-lebih terhadap para rasul dan nabi.
Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua orang, yang seorang dari
golongannya sendiri, dan yang seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya
orang yang dari pihak musuh itu hingga menemui ajalnya, padahal pembunuhan
demikian itu dilarang, baik dalam perang atau pun setengah perang? Ini berarti
melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak tunduk kepada undang-undang, tapi juga
tidak berarti ini dapat mendiskreditkan kenabian atau kerasulannya, bahkan
mengurangi kebesarannyapun juga tidak. Dan dalam hal Isa, dalam menyalahi
undang-undang lebih besar lagi dari masalah Muhammad, dari para nabi dan para
rasul semuanya. Dan soalnya tidak hanya terbatas pada besarnya kekuatan dan
keinginan saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah melanggar
undang-undang dan kodrat alam. Di hadapan ibunya malaikat muncul sebagai
manusia yang sempurna, yang akan mengantarkan seorang anak yang suci bersih
kepadanya. Wanita itu keheranan, sambil berkata: "Bagaimana aku akan
beroleh seorang putera, padahal aku belum disentuh seorang manusia, juga aku
bukan seorang pelacur." Malaikat berkata, bahwa Tuhan menghendaki supaya
ia menjadi pertanda bagi umat manusia.
Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia
berkata: "Aduhai, coba sebelum ini aku mati saja, maka aku akan hilang
dilupakan orang." Lalu datang suara memanggilnya dari bawah: "Jangan
berdukacita, Tuhan telah mengalirkan sebatang anak sungai di bawahmu."
Dibawanya anak itu kepada keluarganya. Mereka pun berkata: "Maryam, engkau
datang membawa masalah besar. Dalam buaiannya itu (usia semuda itu) Isa berkata
kepada mereka: "Aku adalah hamba Allah É" dan seterusnya.
Betapapun orang-orang Yahudi menolak semua
ini, dan oleh mereka Isa dinasabkan kepada Yusuf an-Najjar (Yusuf anak Heli),
sebagian sarjana semacam Renan sampai sekarang pun memang menganggapnya
demikian. Kebesaran Isa, kenabiannya dan kerasulannya serta penyimpangannya
dari hukum dan kodrat alam adalah suatu pertanda mujizat Tuhan kepadanya. Tapi
anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang supaya percaya kepada
hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri Yesus, sementara mengenai diri
Muhammad mereka sudah menjatuhkan hukuman sendiri. Padahal apa yang
dilakukannya tidak seberapa dan tidak lebih karena Muhammad memang terlalu
tinggi untuk dapat tunduk kepada undang-undang masyarakat yang berlaku terhadap
setiap orang besar, terhadap raja-raja, kepala-kepala negara yang pada umumnya
sudah didahului oleh undang-undang dasar sehingga membuat mereka tak dapat
diganggu-gugat.
Penggambaran Orientalis yang keliru
Sebenarnya dapat saja kita membantah semua
kata-kata mereka itu dengan jawaban yang sudah tentu akan menjatuhkan semua
argumen misi-misi penginjil dan orang-orang Orientalis yang juga mau ikut
cara-cara mereka itu. Tetapi dalam hal ini kita lalu memperkosa sejarah dan
memperkosa kebesaran Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang seperti yang
mereka gambarkan: orang yang pikirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu. Tak ada
isterinya itu yang dikawininya hanya karena ia terdorong oleh syahwat atau
nafsu berahi saja. Kalaupun ada beberapa penulis Muslim pada zaman-zaman
tertentu dengan sesuka hati berkata demikian dan mengemukakan alasan itu kepada
lawan-lawan Islam dengan niat baik, soalnya ialah karena tradisi yang berlaku
telah membawa mereka kepada pengertian materi. Mereka ingin menggambarkan
Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar dalam kehidupan hawa nafsu.
Sudah tentu ini suatu penggambaran yang salah sama sekali. Sejarah hidup
Muhammad sama sekali tak dapat menerima ini, dan seluruh hidup pribadinya pun
dengan sendirinya sudah menolak.
Sampai usia 50 tahun hanya beristerikan Khadijah
Ia kawin dengan Khadijah dalam usia
duapuluh tiga tahun, usia muda-remaja, dengan perawakan yang indah dan paras
muka yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu Khadijah
adalah tetap isteri satu-satunya, selama duapuluh delapan tahun, sampai
melampaui usia limapuluhan. Padahal masalah poligami ialah masalah yang umum
sekali di kalangan masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas
kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain, dalam hal ia dengan isterinya
tidak beroleh anak laki-laki yang hidup, sedang anak perempuan pada waktu itu
dikubur hidup-hidup dan yang dapat dianggap sebagai keturunan pengganti
hanyalah anak laki-laki.
Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama
tujuh belas tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam
pada itu pun sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi
dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia
belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang
yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justeru
wanita-wanita belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan diri dan
memamerkan segala macam perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah
tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat, sesudah lampau limapuluh
tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat
Zainab bint Jahsy - padahal waktu itu isterinya sudah lima orang diantaranya
Aisyah yang selalu dicintainya - tiba-tiba ia tertarik sampai ia hanyut
siang-malam memikirkannya. Juga tidak wajar sekali apabila kita lihat, sesudah
lampau limapuluh tahun usianya, yang selama lima tahun sudah beristerikan lebih
dari tujuh orang, dan dalam tujuh tahun sembilan orang isteri. Semuanya itu,
motifnya hanya karena dia terdorong oleh nafsu kepada wanita, sehingga ada beberapa
penulis Muslim - dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya -
melukiskannya sedemikian rupa, demikian merendahkan yang bagi seorang
materialis sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang
ajarannya dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih
selalu akan mengubah dunia sekali lagi, dan akan mengubah jalannya roda sejarah
sekali lagi.
Hanya Khadijah yang membawa keturunan
Apabila ini suatu hal yang aneh dan tidak
wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan
Khadijah telah memberikan keturunan, laki-laki dan perempuan, sampai sebelum ia
mencapai usia limapuluh tahun, dan bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah
Muhammad berusia enampuluh tahun dan hanya dari yang dua orang ini sajalah yang
membawa keturunan. Padahal isteri-isteri itu ada yang dalam usia muda, yang
akan dapat juga hamil dan melahirkan, baik dari pihak suami atau pihak isteri,
dan ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh tahun umurnya, dan
sebelum itu pun pernah pula punya anak. Bagaimana pula gejala aneh dalam hidup
Nabi ini ditafsirkan, suatu gejala yang tidak tunduk kepada undang-undang yang
biasa, yang sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai manusia, sudah
tentu jiwa Muhammad cenderung sekali ingin beroleh seorang putera, sekalipun -
dalam kedudukannya sebagai nabi dan rasul - dari segi rohani ia sudah menjadi
bapa seluruh umat Muslimin.
Perkawinan Sauda bt. Zam'a
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta
logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi penginjil
dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi. Seperti kita sebutkan
tadi, selama 28 tahun ia hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain.
Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam'a, janda Sakran b. 'Amr
b. 'Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah
seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan
memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu. Melainkan soalnya
ialah, Sauda adalah isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk
orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan,
turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan
itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut
sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya
untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan
Umm'l-Mu'minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan
yang tinggi.
Adapun Aisyah dan Hafsha adalah
puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakr dan Umar. Segi inilah yang
membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda
perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri
dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka.
Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya
itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin. Gadis itu
dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan
dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan
menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil.
Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga
bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
"Sungguh," kata Umar,
"tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai.
Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak
kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu
urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau
begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa engkau disini, dan perlu apa
engkau dengan urusanku!" Dia pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar.
Engkau tidak mau ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah s.a.w.
sehingga ia gusar sepanjang hari." Kata Umar selanjutnya: "Kuambil
mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha. "Anakku," kataku
kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah s.a.w. sampai ia merasa gusar
sepanjang hari?!" Hafsha menjawab: "Memang kami menentangnya."
"Engkau harus tahu," kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan
Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan
orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan
Rasulullah s.a.w." Katanya lagi: "Engkau sudah mengetahui, Rasulullah
tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah
diceraikan."
Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad
mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena suatu
dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru
tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika ia kawin
dengan Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa
kalau mereka gugur untuk agama Allah, isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak
akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima
dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah isteri 'Ubaida
bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr.
Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong
orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya
pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal.
Sesudah Khadijah dialah satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat
mendahuluinya.
Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya
sebagai isteri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam perang
Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi
pimpinan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil di kucar-kacirkan dan ia
kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud
itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai
meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan
terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat
bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama. Tetapi wanita
ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak
muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia
sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.
Penelitian sejarah dan kesimpulannya Cerita Zainab bt.
Jahsy
Adakah sesudah ini semua para misi
penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan, bahwa karena kecantikan
Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya? Kalau hanya
karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain,
yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula
ia akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya
itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya
dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta
kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan
Rasul Allah. Di samping itu mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai
ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah,
orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan
ayah, yang gugur membela agama Allah.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas,
apakah yang dapat disimpulkan oleh penelitian sejarah yang murni? Yang dapat
disimpulkan ialah bahwa Muhammad menganjurkan orang beristeri satu dalam
kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah
diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Qur'an
menyebutkan:
"Dan kalau kamu kuatir takkan dapat
berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang
kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat
berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik
kamu." (Qur'an, 4:3)
"Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat
berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu,
janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia
terkatung-katung." (Qur'an, 4:129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun
kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk
membatasi jumlah isteri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat
tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata
orang: Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain.
Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya isteri satu dan menganjurkan
demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku
adil itu tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat
yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan yang mendesak perlunya kawin
sampai empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh
yang diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di
antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan
sedang berkecamuk, panyakit menular berjangkit dan pemberontakan berkobar
merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah orang memastikan, bahwa
membatasi pada isteri satu itu lebih baik dan poligami yang dibolehkan dengan
jalan kekecualian itu? Dapatkah orang-orang Eropa - pada waktu ini, setelah
selesai Perang Dunia - mengatakan bahwa sistem monogami itu sistem yang paling
tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah mengatakan bahwa sistem itu
tepat sekali dalam undang-undang? Bukankah tirnbulnya kekacauan ekonomi dan
sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang teratur
antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya sedikit
banyak akan dapat membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini
hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada ahli-ahli
pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan merencanakannya, dengan
catatan selalu, bahwa bilamana keadaan hidup sudah kembali biasa, maka yang
paling baik dapat menjamin kebahagiaan masyarakat ialah membatasi laki-laki
hanya pada satu isteri.
Sehubungan dengan cerita tentang Zainab bt.
Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh
kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan bermacam-macam tabir khayal
sehingga ia dijadikan sebuah cerita roman percintaan, sejarah yang sebenarnya
dapat mencatat, bahwa teladan yang diberikan oleh Muhammad dan patut
dibanggakan, dan sebagai contoh iman yang sempurna, ialah bahwa dia telah
menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman seseorang belum sempurna sebelum ia
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1 Dirinya telah
dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan suatu hukum yang pada
dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang
sekaligus dengan itu ia menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Tuhan
sebagai bimbingan dan rahmat buat semesta alam.
Kekeluargaan Muhammad dengan Zainab - Melamarnya untuk
Zaid dan penolakan Zainab
Untuk menghapuskan semua cerita mereka yang
kita baca itu dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa Zainab bt. Jahsy
ini adalah puteri Umaima bt. Abd'l-Muttalib, bibi Rasulullah a.s. Ia dibesarkan
di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Maka dengan demikian ia
sudah seperti puterinya atau seperti adiknya sendiri. Ia sudah mengenal Zainab
dan mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak, sebelum ia dikawinkan dengan
Zaid. Ia sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang
masih merangkak hingga menjelang gadis remaja dan dewasa, dan dia juga yang
melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua
ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan
bahwa dia pernah kerumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu dilihatnya
Zainab, ia terpesona sekali melihat begitu cantik, sampai ia berkata:
"Maha suci Tuhan, Yang telah membalikkan hati manusia!" Atau juga
ketika ia membuka pintu rumah Zaid, kebetulan angin bertiup menguakkan tirai
kamar Zainab, lalu dilihatnya wanita itu dengan gaunnya sedang berbaring -
seolah-olah seperti Madame Recamier - mendadak sontak hatinya berubah. Lupa ia
kepada Sauda, Aisyah, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah
sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa dirinya tidak pernah
cemburu terhadap isteri-isteri Nabi seperti terhadap Khadijah ketika
disebut-sebut. Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak sudah terlintas dalam
hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk Zaid.
Dengan melihat hubungan Zainab dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita
kemukakan di atas, maka segala macam cerita khayal yang dibawa orang itu, sudah
tidak lagi dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai
dasar yang benar.
Terpaksa menerima
Dan apakah yang ialah dicatat oleh sejarah?
Sejarah mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak bibinya itu buat Zaid
bekas budaknya. Abdullah b. Jahsy saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya
sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di samping itu semua
ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada di bawah seorang budak belian
yang dibeli oleh Khadijah lalu dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap
sebagai suatu aib besar buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di
kalangan Arab ketika itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak
ada gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas
budak sekalipun yang sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad justeru ingin
menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka
hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa
orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
"Bahwa orang yang paling mulia di
antara kamu dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa."
(Qur'an, 49:13)
Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu
memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy,
sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah meninggalkan
tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi sasaran buah mulut orang
tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga biarlah
Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum adat
dan tradisi Arab orang yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya
sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban,
karena sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan
anaknya itu. Biarlah Muhammad memperlihatkan desakannya itu supaya Zainab dan
saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami. Dan untuk
itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:
"Bagi laki-laki dan wanita yang
beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketentuan, mereka
tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa
tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka telah melakukan kesesatan yang nyata
sekali." (Qur'an, 33:36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan lain
buat Abdullah dan Zainab saudaranya, selain harus tunduk menerima. "Kami
menerima, Rasulullah," kata mereka. Lalu Zaid dikawinkan kepada Zainab
setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan. Dan sesudah Zainab menjadi isteri,
ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia banyak
mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa
dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang budak.
Zaid mengadukan Zainab dan perceraian
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu
tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta
ijin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi menjawabnya: "Jaga
baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah."
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang
angkuh kepadanya itu. Lalu diceraikannya.
Hukum pengaduan dalam Islam
Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau
menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan
asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab, juga
pemberian segala hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum
termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya
mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman
Tuhan turun:
"Dan tiada pula Ia menjadikan
anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan
mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang
benar." (Qur'an, 33:4)
Bagaimana Muhammad kawin dengan Zainab
Ini berarti bahwa anak angkat boleh kawin
dengan bekas isteri bapa angkatnya, dan bapa boleh kawin dengan bekas isteri
anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari
kalangan Arab yang dapat membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu.
Muhammad sendiri kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan
memahami benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan
ketentuan itu dengan jalan mengawini Zainab setelah diceraikan oleh Zaid, masih
terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia
telah mendobrak adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat
Arab itu. Itulah yang dikehendaki Tuhan dalam firmanNya:
"Dan engkau menyembunyikan sesuatu
dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia
padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti." (Qur'an, 33:37)
Akan tetapi Muhammad adalah suri-teladan
dalam segala hal, yang oleh Tuhan telah diperintahkan dan telah dibebankan
kepadanya supaya disampaikan kepada umat manusia. Tidak takut ia apa yang akan
dikatakan orang dalam hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut
kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Tuhan dalam
melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia kawin saja dengan Zainab supaya
menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Tuhan mengenai hak-hak yang
sudah ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak angkat itu. Dalam hal inilah
firman Tuhan itu turun:
"Maka setelah Zaid meluluskan kehendak
wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan
bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah
Allah itu mesti dilaksanakan." (Qur'an, 33:37)
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya
sehubungan dengan soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad.
Dia adalah puteri bibinya, sudah dilihatnya dan sudah diketahuinya sampai
berapa jauh kecantikannya sebelum dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula yang
melamarnya buat Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid,
karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal.
Bagaimana pendapat kaum Orientalis tentang cerita Zainab
bt. Jahsy
Sungguhpun begitu dari pihak Zainab
sendiri, sesuai dengan ketentuan hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan
sebagai isteri Zaid anak angkatnya dari segi lain, Zainab menghubungi dia
karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena seringnya Zaid
mengadukan halnya itu. Semua ketentuan hukum itu sudah diturunkan. Lalu
diperkuat lagi dengan peristiwa perkawinan Zaid dengan Zainab serta kemudian
perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua ketentuan
hukum ini, yang mengangkat martabat orang yang dimerdekakan ke tingkat orang
merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak anak-anak angkat dengan jalan
praktek yang tidak dapat dikaburkan atau ditafsir-tafsirkan lagi.
Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh
cerita-cerita yang selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis dan oleh
misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Well, Dermenghem, Lammens dan
yang lain, yang suka menulis sejarah hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah
napsu misi penginjilan yang secara terang-terangan, kadang cara misi
penginjilan atas nama ilmu pengetahuan. Adanya permusuhan lama terhadap Islam
adalah permusuhan yang sudah berurat berakar dalam jiwa mereka, sejak
terjadinya serentetan perang Salib dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua
dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya perkawinan
Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai nmemperkosa sejarah,
mereka mencari cerita-cerita yang paling lemah sekalipun asal dapat dimasukkan
dan dihubung-hubungkan kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu
memang benar, tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan
mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa
sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum alam, diatas
ketentuan-ketentuan masyarakat yang berlaku. Ada yang karena kelahirannya, ada
pula yang dalam masa kehidupannya, tapi itu tidak sampai mendiskreditkan
kebesaran mereka. Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan
masyarakat yang sebaik-baiknya dengan wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas
perintah Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai
teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan
itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh misi-misi penginjil itu supaya ia
menceraikan isteri-isterinya dan jangan lebih dari empat orang saja seperti
yang kemudian disyariatkan kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka
semua itu?
Muhammad menjunjung tinggi kedudukan wanita.
Adakah juga pada waktu itu ia akan selamat
dari kritik mereka? Sebenarnya hubungan Muhammad dengan isteri-isterinya itu
adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti sudah kita lihat
seperlunya dalam keterangan Umar bin'l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan
contoh semacam itu akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini.
Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa belum ada orang
yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad,
belum ada orang yang dapat mengangkat martabat wanita ketempat yang layak
seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Catatan kaki:
1 Harfiah: Seseorang dari kamu tidak
beriman sebelum ia menyukai buat saudaranya apa yang disukai buat dirinya
sendiri. Terjemahan di atas didasarkan kepada komentar Nuruddin as-Sindi
sebagai anotasi pada Shahih Al-Bukhari 1/12 (A).
0 comments:
Post a Comment