CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat
dari yang diduga semula- Buku yang diterbitkan 10.000 buah ini sepertiganya
telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya habis dalam waktu
tiga bulan setelah buku terbit. Sambutan yang diberikan atas buku ini
menunjukkan adanya perhatian dari para pembaca, terutama terhadap penyelidikan
yang saya lakukan ini. Oleh karena itu, untuk cetakan ulangan sudah harus
dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali. Timbulnya sambutan itu sudah tentu
karena persoalan yang ada dalam buku ini. Boleh jadi metoda yang dipergunakan
memecahkan persoalan-persoalan itu berpengaruh juga atas adanya sambutan ini.
Tetapi apapun yang menjadi sebabnya, saya bertanya-tanya di dalam hati ketika
terpikir akan menghadapi cetakan kedua ini: Akan diulang sajakah seperti apa
adanya pada cetakan pertama, tanpa ditambah atau dikurangi, ataukah harus saya
tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan atau koreksi lagi, mana-mana
yang ternyata perlu dilakukan?
Beberapa orang yang sangat saya hargai
pendapatnya menyarankan supaya cetakan kedua ini sama seperti cetakan pertama,
supaya mereka yang memiliki dua macam cetakan ini sama adanya, dan supaya waktu
buat sayapun cukup terluang dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah
cetakan kedua ini. Saran ini hampir-hampir saya terima. Kalaupun saran ini juga
yang saya terima, tentu cetakan kedua ini sejak beberapa bulan yang lalu sudah
berada di tangan pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima pendapat
ini. Kemudian karena beberapa pertimbangan, akhirnya saya mengambil keputusan,
bahwa memang penting rasanya mengadakan revisi dan tambahan.
Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah
karena adanya bebeberapa catatan yang. diberikan oleh Syaikh Muhammad Mustafa
al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, kepada saya, ketika sebagian yang sudah selesai
dicetak dari buku ini saya perlihatkan kepadanya. Kemudian beliau berkenan pula
memberikan kata perkenalan seperti pada permulaan buku ini.
Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa
pengarang dan ulamapun memberikan pula tanggapan dan pendapat mereka yang baik
sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio. Semua tanggapan itu
disertai dengan pujian yang tidak sedikit pula ditujukan kepada usaha yang saya
lakukan ini, yang saya rasa tidak seharusnya saya menerima semua penghargaan
demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan ialah jangan sampai buku tentang
Nabi ini tercampur dengan hal-hal yang kurang layak, sementara pengarang dengan
karangannya itu berhasil, sehingga dapat diterima dan dapat dihargai orang.
Oleh karena itu saya sangat memperhatikan sekali tanggapan itu. Adanya
penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah menyebabkan timbulnya
beberapa pendapat yang bertolak dari masalah-masalah pelengkap saja, yang tak
ada hubungannya dengan sumber-sumber yang terdapat -atau dengan pokok persoalan
yang ada- dalam buku ini. Misalnya ada yang meminta supaya beberapa masalah
yang dianggap perlu dijelaskan diberi penjelasan lebih lanjut; yang lain minta
supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian kata-kata perangkai, atau
juga diusulkan mengenai beberapa kata pengganti yang lain, yang menurut hemat
para pengusul akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki.
Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti pembahasan dalam buku
ini, yang membuat saya lebih banyak lagi memikirkan dan mengoreksinya. Alangkah
besarnya keinginan saya supaya cetakan kedua ini lebih mendekati kehendak
sarjana-sarjana dan ulama itu semua, meskipun saya sendiri menganggap
penyelidikan ini -seperti saya sebutkan dalam prakata - hanya sebagai langkah
permulaan saja dalam bidang ini dengan bahasa Arab yang diolah menurut metoda
baru.
Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan
revisi dan tambahan-tambahan dari cetakan pertama ini ialah setelah saya
membaca kembali buku tersebut dan sesudah mempelajari beberapa pendapat yang
saya terima, yang memang sebagian sudah saya sadari ketika saya sedang menulis.
Kemudian juga saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan pengamatan lebih
luas sesuai dengan yang diusulkan itu guna meyakinkan mereka sehubungan dengan
pendapat dan argumentasi saya. Koreksi-koreksi yang saya lakukan untuk maksud
tersebut telah membawa beberapa masalah yang patut direnungkan dan patut
digarap oleh setiap penulis biografi Nabi.
Kalaupun pada cetakan pertama itu saya
bergembira karena adanya tanggapan-tanggapan yang sampai kepada saya, maka
sekali inipun lebih-lebih lagi saya merasa gembira, karena saya masih akan
mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu lebih luas lagi. Hal ini saya anggap
perlu sekali mengingat studi pendahuluan yang saya lakukan ini menyangkut
sejarah hidup seorang manusia terbesar yang pernah dikenal sejarah, Nabi dan
Rasul terakhir -selawat dan salam baginya.
Pada pengantar cetakan kedua ini saya
berusaha mengadakan pengamatan terhadap beberapa tanggapan tentang metoda
penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada bagian terakhir
buku ini saya tambahkan dua pasal mengenai beberapa persoalan yang secara
sepintas-lalu sudah disinggung juga pada bagian penutup cetakan pertama.
Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan mana-mana yang saya
anggap perlu direvisi dan ditambah dalam teks buku itu, sesuai dengan
koreksi-koreksi dan beberapa pertimbangan saya sekalian guna melengkapi
penyelidikan dan memenuhi beberapa tanggapan yang sudah pernah disampaikan.
PEMBELA-PEMBELA ORIENTALIS
Yang mula-mula saya terima sebagai
sanggahan ialah adanya sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh
seorang penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah sebuah
terjemahan bahasa Arab dari artikel yang dikirimkannya ke sebuah majalah
Orientalis berbahasa Jerman, sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak
saya siarkan dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya berupa
kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu terserah kepada penulisnya
jika mau menyiarkannya sendiri. Saya rasa nama orang itupun tidak perlu
disebutkan dalam pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal
identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat di sini. Artikel
itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan yang saya lakukan tentang peri hidup
Muhammad ini bukan suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya
hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada
penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil, Goldziher, Noldeke dan
yang lain; bukan mengambil dari hasil penyelidikan mereka, dan karena saya
menganggap Qur'an sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan,
padahal studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa Qur'an sudah diubah
dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa
nama Nabipun pernah diganti. Semula bernama "Qutham" atau
"Quthama." Sesudah itu kemudian diganti menjadi "Muhammad"
untuk disesuaikan dengan bunyi ayat, "Dan membawa berita gembira
kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," sebagai isyarat yang
terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah Isa. Dalam
keterangannya penulis itu menambahkan bahwa penyelidikan kaum Orientalis itu
juga menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut
wahyu yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat gangguan ayan yang
menyerangnya; dan bahwa gejala-gejala penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad
ketika sedang tidak sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan,
dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar dikatakannya bahwa yang
diterimanya itu adalah wahyu, lalu dibacakan kepada mereka yang percaya pada
apa yang diduga wahyu dari Tuhan itu.
Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan
karangan semacam ini atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu
seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu seorang Orientalis atau
misi penginjil, akan saya biarkan saja ia bicara menurut kehendak nafsunya
sendiri. Apa yang sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku
ini sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan pendapat mereka itu.
Bagaimanapun juga penulis surat ini adalah sebuah contoh dari sebagian
pemuda-pemuda dan orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa
yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai hasil yang
benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran sepenuhnya. Kepada mereka itulah
tulisan ini saya alamatkan sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang
telah dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis yang memang jujur
dalam penyelidikan mereka, meskipun tentunya tidak lepas dari kesalahan juga.
SEBAB-SEBAB KESALAHAN ORIENTALIS
Kesalahan-kesalahan demikian itu terselip
dalam penyelidikannya kadang disebabkan oleh kurang telitinya memahami
liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya maksud yang tersembunyi dalam
jiwa sebagian sarjana-sarjana itu, yang tujuannya hendak menghancurkan
sendi-sendi salah satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap
berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh kalangan cendekiawan.
Kita melihat ada juga orang-orang Kristen yang begitu terdorong oleh sikap
berlebih-lebihan ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam
sejarah.
Yang lain kita lihat bahkan sudah melampaui
batas-batas yang berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah
gila misalnya.
Timbulnya pertentangan antara gereja dengan
negara di Eropa itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak dan
kaum agama di pihak lain hendak saling mencari kemenangan dalam merebut
kekuasaan.
Sebaliknya Islam, sama sekali bersih dari
adanya pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan penyelidikan
di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari kekuasaan nafsu demikian ini,
yang sebenarnya telah menimpa orang-orang Barat, dan sering menodai
penyelidikan sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila
mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan dengan
masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah dilukiskan oleh para sarjana
sebagai suatu kebenaran, hendaklah diteliti lebih seksama. Banyak di antaranya
yang sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah menimbulkan permusuhan
antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus
selama berabad-abad.
BUKU BIOGRAFI PENULIS-PENULIS ISLAM SEBAGAI PEGANGAN
Apa yang disebutkan dalam karangan si
Muslim berbangsa Mesir yang saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada
sikap berhati-hati. Pertama-tama ia menyalahkan saya karena saya masih
berpegang pada sumber-sumber Arab sebagai dasar penyelidikan saya; dan ini
memang tidak saya bantah. Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientalis
seperti yang saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan tetapi,
sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan sebagai dasar pertama dalam pembahasan
ini. Dan sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai dasar
pertama dalam penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis itu semua.
Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut -
terutama sekali Qur'an - adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah
hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan dan dasar bagi setiap
orang yang ingin menulis biografi dengan gaya dan metoda sekarang. Baik
Noldeke, Goldziher, Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang
pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka, seperti yang saya
lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan kritik, mereka menempuh cara yang
bebas, demikian juga saya. Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa
sumber buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka, sekalipun
mereka masih terdorong oleh fanatisma agama Kristen, dan samasekali bukan oleh
kritik ilmiah.
Kalau ada orang yang menyalahkan saya
karena saya tidak terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh beberapa
kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati tidak sependapat dengan
mereka dan malah melakukan kritik terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah
yang demikian itu adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang
pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun dalam bidang
intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak seorangpun dari kalangan Orientalis
itu sendiri yang akan menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah.
Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap demikian, tentu ia
akan membenarkan juga sikap beku itu dalam bidang agama.
Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi,
baik terhadap diri saya atau terhadap siapapun yang mau bekerja dalam
penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa yang saya lakukan
dan saya ajak orang lain akan dapat melakukannya ialah mengamati hasil-hasil
studi yang dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh
pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita harapkan. Kalau tidak,
lakukan sendirilah supaya ia dapat mencapai kebenaran itu dengan keyakinan
bahwa ia sudah berhasil.
Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita
dan orang-orang yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu,
dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa sudah mendapat imbalan
sebagai orang yang berhasil, sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat;
sebaliknya saya akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari
kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu, jika ternyata saya
salah.
ORIENTALIS DAN KETENTUAN-KETENTUAN AGAMA
Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum
Orientalis yang ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan cara-cara
mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian si Muslim bangsa Mesir yang
telah menulis karangan tersebut, bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu
menunjukkan, bahwa Qur'an bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh
diragukan, dan bahwa Qur'an sudah diubah-ubah setelah Nabi wafat dan pada masa
permulaan sejarah Islam, yang dalam pada itu lalu ditambah-tambah dengan
ayat-ayat untuk maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi
atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi Islamnya dia sebagai
Muslim - atas apa yang sudah ditentukan oleh Islam, bahwa Qur'an itu Kitabullah,
yang takkan dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau kemudian
sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan Orientalis, bahwa Qur'an dikarang
oleh Muhammad, padahal dia percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah
kepada Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan karena ingin
menguatkan isi karangannya atas apa yang disebutnya itu, dikatakannya bahwa
Qur'an menurut pendapat yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi
baiklah saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia sebagai
orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat oleh apapun kecuali atas
dasar yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar
meyakinkan.
QUR'AN TIDAK DIUBAH-UBAH
Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis
dan kepada pendapat mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan
seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini menunjukkan, bahwa
mereka terdorong oleh maksud-maksud yang tak ada hubumgannya dengan ilmu
pengetahuan. Hal ini sudah bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang
mereka katakan, bahwa versi "Dan membawa berita gembira dengan kedatangan
seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," yang tersebut dalam Surah
"Ash-Shaf" (61) ayat 6, adalah ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk
dijadikan bukti atas kenabian Muhammad dan Risalahnya dari Kitab-kitab Suci
sebelum Qur'an.
Andaikata yang berpendapat demikian ini
dari kalangan Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan, tentu
tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam itu, yang bagi mereka juga
berlaku bahwa Bible itu memang kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau
mencari ilmu untuk ilmu, tentu akan mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab
suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci juga dengan menyebutkan,
bahwa kitab-kitab suci yang sudah dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak
perlu lagi dibantah, atau menganggap kitab-kitab suci itu semua sama juga
dengan anggapannya terhadap Qur'an. Terhadap keduanya itu pendapat merekapun
tentu akan serupa, dengan menentukan bahwa itu diadakan untuk maksud-maksud
agama atau politik tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka
selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka tentang adanya perubahan
dalam Qur'an untuk maksud politik dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur
pula.
Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari
bukti dari kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium Kristen
seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya dan sesudah orang-orang
Kristen sendiri beramai-ramai, bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan,
menganut agama Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang murni
ilmiah.
Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu
kitab-kitab suci dan menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah hal
yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat yang mengatakan adanya
perubahan dalam Qur'an karena bukti dari Taurat dan Injil, itu adalah
omong-kosong, tidak pula diterima oleh logika.
Dari kalangan Orientalis yang paling
fanatik sekalipun, sedikit sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya
sebagian besar mereka sepakat, bahwa Qur'an yang kita baca sekarang ini, itu
jugalah Qur'an yang dibacakan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin semasa
hidupnya, tanpa suatu cacat atau perubahan apapun.- Mereka ingin sekali
menyebutkan hal ini, sekalipun - dalam bentuk kritik - mereka kaitkan dengan
cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan Surah-surah yang pembahasannya tentu di
luar bidang studi ini.
Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan
perhatiannya dalam seluk-beluk ilmu Qur'an telah menerima bermacam-macam kritik
dan sudah mereka tangkis pula. Adapun yang mengenai masalah yang kita hadapi
sekarang ini, cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan
Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim Mesir yang kita
bicarakan artikelnya itu akan merasa puas, demikian juga mereka yang masih
berpikir semacam dia akan turut merasa puas pula.
PENDAPAT MUIR
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum
Orientalis dalam hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis
oleh Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka yang sangat
berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang
biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan
perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah seorang penganut
Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Diapun ingin sekali tidak
akan membiarkan setiap kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.
Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya
yang sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan: "Wahyu Ilahi itu
adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari
sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini
adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan
mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah
merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh
karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak
sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa
kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas.
Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka
luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para
penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang
berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula
mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena
itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu
mereka menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu
kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar
biasa hendak nnenghafal Qur'an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat
mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali segala yang diketahui
dari pada Nabi sampai pada waktu mereka membacanya itu."
"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah
menjadi ciri khas daya ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan
kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan
kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa
macam naskah selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam Qur'an.
Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an itu ditulis. Pada umumnya
tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan
Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan
tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan
Muhammad. Tidak hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan
tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai imbalannya mereka
dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah dalam pendidikan tidak sepandai penduduk
Mekah, namun banyak juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak
sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil
kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal menurut ingatan yang
sangat teliti itu, itu juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama
pula."
"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa
Muhammad telah mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang
sudah menganut Islam, supaya mengajarkan Qur'an dan mendalami agama. Sering
pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis
mengenai masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang
diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan dengan upacara-upacara dan
peraturan-peraturan Islam serta apa yang harus dibaca selama melakukan
ibadat."
PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
"Qur'an sendiripun menentukan adanya
itu dalam bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang adanya sebuah
naskah Surat ke-20 [Surah Taha] milik saudaranya yang perempuan dan
keluarganya. Umar masuk Islam tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada
masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah
kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah
dapat dipastikan sekali, bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak
jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang seluruh bangsa
Arab."
BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI
"Demikian halnya Qur'an itu semasa
hidup Nabi, dan demikian juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat; tetap
tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah tercatat
belaka dalam naskah-naskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua
sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an sudah
sangat dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup, dengan keyakinan
yang luarbiasa bahwa itu adalah kalam Allah. Oleh karena itu setiap ada
perselisihan mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian
itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada beberapa contoh pada kita:
'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi
wafat, bila ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah tertulis
dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang terdekat serta penulis-penulis
wahyu."
PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA
"Sesudah selesai menghadapi peristiwa
Musailima - dalam perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah
menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar merasa kuatir akan nasib Qur'an
dan teksnya itu; mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka
yang telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal
semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan:
"Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu
akan terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak lagi
dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat-cepatlah kita bertindak
dengan memerintahkan pengumpulan Qur'an."
"Abu Bakr segera menyetujui pendapat
itu. Dengan maksud tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak
meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah s.a.w. dan kau
mengikuti Qur'an itu; maka sekarang kumpulkanlah."
"Oleh karena pekerjaan ini terasa
tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih
meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada kehendak Abu Bakr dan
Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan
surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas batu putih, dan yang
dihafal orang. Setengahnya ada yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya
dari yang ada pada lembaran-lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta dan
kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
"Ia melakukan itu selama dua atau tiga
tahun terus-menerus, mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali
seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan Zaid sendiri membaca
Qur'an itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama
lengkap adanya, oleh Umar itu dipercayakan penyimpanannya kepada Hafsha,
puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap
berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.
"Tetapi kemudian terjadi perselisihan
mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi
atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu yang disalin
dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu yang
didatangkan dari langit itu "satu," lalu dimanakah sekarang
kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga
melihat adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
MUSHAF USMAN
"Karena banyaknya dan jauhnya
perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman
turun tangan. "Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab
mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani." Khalifahpun dapat
menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit
dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah
pertama yang ada di tangan Hafsha lalu dibawa, dan cara membaca yang
berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu
semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali
terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy
itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut
logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab
yang bermacam-macam."
"Selesai dihimpun, naskah-naskah
menurut Qur'an ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang
selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu
dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafsha."
PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN
"Maka yang sampai kepada kita adalah
Mushhaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan atas Qur'an itu, sehingga hampir
tidak kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan apapun dari naskah-naskah
yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang
luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad kemudian
sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah
dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang
demikian adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi
Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu
ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini
tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang itu.
"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada
sebuah kitabpun selain Qur'an yang sampai duabelas abad lamanya tetap lengkap
dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara membaca yang
berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan
ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau
pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja
dalam sejarah, yang tak ada hubungannya dengan Mushhaf Usman."
"Sekarang, sesudah ternyata bahwa
Qur'an yang kita baca ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah
kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang
dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan
dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting
itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang
demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang
melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah
Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah kemudian menuduh
bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan
ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi
dengan pihak Alawi (golongan Mu'awiya dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu
perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada
bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya
dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksud-maksud tertentu yang akan
membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum
Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar Qur'an seperti yang
mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman
mengumpulkan Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah
ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak
itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna
menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri
sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai
Pengganti."
"Dapatkah diterima akal - pada waktu
kemudian mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur
'an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk
menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca
Qur'an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun
bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan
supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa
ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri."
"Memang benar bahwa para pemberontak
itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan
Qur'an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushhaf Usman.
Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah Usman dalam hal itu
saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu
tidak seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi
Qur'an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan
terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk
kepentingan mereka sendiri."
"Sekarang kita dapat mengambil
kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam bentuknya
yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih
disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy.
Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar
di seluruh daerah itu."
MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP
"Tetapi sungguhpun begitu masih ada
suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang
dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti
yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup
memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah
selengkapnya dicapai waktu itu:"
"Pertama - Pengumpulan pertama selesai
di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan
setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada
kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi
selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam
khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala
ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan
lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah
wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu
itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya." Pernyataan semacam ini berlaku
juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa
khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum
Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu
melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu'min biasa yang miskin, yang
memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya
semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan
kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu
adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu
sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam
tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka
percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat
peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah
atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima,
bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama
yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa
akibat begitu jauh membelakangi iman."
"Kedua - Pengumpulan tersebut selesai
selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa
orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim
sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Qur'an yang ditunjuk
oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan
upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu
terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada
waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud
jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf itu, tapi juga mempunyai
segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin
terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan
mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan."
"Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan
yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni
bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih
hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum
pengumpulan Qur'an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di
tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang
dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah
pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang
terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan
mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai
kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan
sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di
dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu.
Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga,
dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak
ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."
"Keempat - Isi dan susunan Qur'an itu
jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang
bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa
atau dibuat-buat."
"Tak ada bekas tangan yang mencoba mau
mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya
iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani
lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu
meletakkannya yang satu di samping yang lain."
"Jadi kesimpulan yang dapat kita
sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan
hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan -
adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apapun
dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat,
bahwa setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan
seperti yang dibaca oleh Muhammad."
Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat
Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of
Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu
lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis
lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya
Qur'an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh
Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada
sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan beranggapan bahwa Qur'an
sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang
dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari
sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan
yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.
Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu
menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan
ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin,
kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas
itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan
muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah.
Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu
tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
CARA YANG SEBENARNYA DALAM MENGADAKAN PENYELIDIKAN
Sebenarnya kita dapat saja memberikan
argumen-argumen seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan
Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam, kemudian
mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang semula. Tetapi kita sengaja
mengutamakan kutipan itu dari salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda
kita masih sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa pengamatan
lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah dengan maksud baik hendak
mencari kebenaran, seharusnya akan mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya
itu semata-mata untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang
mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar sehingga ia sampai
kepada kebenaran yang menjadi tujuannya itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu
dan tanpa teralang oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari
kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan tertentu, merekapun
lalu menyimpang. Dan sebagian besar memang begitu. Dalam hal-hal yang
berhubungan dengan sejarah Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini
mengadakan penelitian lebih lanjut.
Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita
sebutkan bahwa tugas seorang penyelidik tidak akan a priori menerima atau
menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau penyelidikannya itu
benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah sepenuhnya puas dengan kenyataan yang
dicapainya itu tanpa ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak
berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau dalam bidang-bidang
fisika. Penulis sejarah dalam hal ini seharusnya mempelajari buku-buku
Orientalis, juga buku-buku sarjana-sarjana Islam.
Apabila untuk mencapai kebenaran dan
pengetahuan itu kita diharuskan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap
hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan penulis-penulis Islam seperti dalam
ilmu kedokteran, astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang
tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana yang dapat
dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu, maka untuk mencapai kebenaran
dan pengetahuan dalam bidang sejarah inipun kita berkewajiban pula meneliti
benar-benar, sekalipun yang berhubungan dengan sejarah Nabi s.a.w. Seorang
penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja, tapi juga harus membuat
kritik terhadap yamg disalinnya itu. Ia harus mengadakan penelitian guna
mengetahui kebenaran yang ada sesungguhnya.
Kritik adalah langkah kepada penelitian
itu. IImu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian. Sesudah kita
mengadakan penelitian seperti yang kita kutipkan mengenai Qur'an dan akurasinya,
kita tinggalkan dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas segala
yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang katanya ditambahkan ke
dalam Qur'an, juga tentang nama Nabi yang katanya Qutham atau Quthama itu.
Kata-kata demikian ini bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan
karena nafsu belaka.
FITNAH SEKITAR
AYAN
Baiklah kita kembali sekarang pada titik
persoalan terakhir dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa
hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Nabi menderita
penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu tampak padanya ketika ia tidak
sadarkan diri, keringatnya mengucur dengan disertai kekejangan-kekejangan dan
busa yang keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia lalu
membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya itu - kepada orang-orang
yang mempercayainya. Padahal yang dikatakan wahyu itu tidak lain ialah akibat
serangan-serangan ayan tersebut.
KEMBALI KEPADA ILMU PENGETAHUAN
Menggambarkan apa yang terjadi pada
Muhammad pada waktu datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi
ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak akan meninggalkan
sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si penderita selama masa terjadinya itu.
Bahkan sesudah ia sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi
selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi dan apa yang
dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala pekerjaan saraf dan pikirannya
sudah menjadi lumpuh total. Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama menerima wahyu.
Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya. Dengan sangat
teliti sekali ia ingat semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya
kembali kepada sahabat-sahabatnya.
Dengan kesadaran rohani yang besar itu,
samasekali ia tidak dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya
yang terjadi, pada waktu itu Nabi sedang dalam puncak kesadarannya yang biasa.
Cukuplah kalau kita tunjukkan saja pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini
tentang turunnya Sarah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari
Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.
Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini
membantah bahwa Muhammad dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian
dari kalangan Orientalispun hanya sebagian kecil saja. Mereka itulah yang
mengatakan bahwa Qur'an sudah diubah. Mereka mengatakan begitu bukan karena
ingin mencari kebenaran, melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka
mau merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin. Ataukah dengan
kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka telah menyebarkan keragu-raguan atas
wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, sebab turunnya itu -menurut dugaan mereka-
waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu, ini adalah suatu
kesalahan besar pada mereka, seperti sudah kita sebutkan. Pendapat mereka
inilah yang secara ilmiah telah samasekali tertolak.
Kalau yang dipakai pedoman olelm kaum
Orientalis demikian itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan
membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka melakukan itu mau
mengelabui orang-orang yang belum penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala
ayan, dan mereka yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas
dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu, tanpa mau
bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan kedokteran atau mau membaca
buku-buku tentang itu. Kalau saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak
sulit buat mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu - disengaja
atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa kegiatan rohani dan intelek
manusia akan sama sekali tertutup selama terjadi krisis ayan. Sipenderita
dibiarkan dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum mendapat
serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu sudah bertambah keras
sehingga dapat mengganggu orang lain. Dalam pada itu, diapun kehilangan
kesadarannya. Ia tidak sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi
terhadap dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan
gerak-geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, iapun tidak ingat apa-apa lagi.
KADANG ILMU YANG TIDAK CUKUP
Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan
rohani yang begitu kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran
dan suasana intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan kepadanya itu,
kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran
manusia. Ia membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu
perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan wahyu,
yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada
para nabi. Kepada mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu
diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia. Kadang ilmu
pengetahuan sampai juga memahami beberapa kenyataan-kenyataan itu, mengetahui
ketentuan-ketentuan dan rahasianya - sesudah lampau beberapa generasi dan
beberapa abad. Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat menjangkaunya.
Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan positif, yang dapat dimasuki hanya oleh
hati nurani orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam pada
itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak mengetahui atau karena
memang tidak mau mengindahkannya.
Kita dapat mengerti bila
Orientalis-orientalis itu berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi
tersendiri dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga
saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat ditafsirkan dengan
cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan
kita - dengan ruang lingkupnya yang luas - masih merasa terbatas akan
menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan psikologis itu.
Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat, juga bukan hal yang aneh. Ilmu
pengetahuan kita masih terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang
dekat pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang, tata-surya dan
lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih merupakan hipotesa-hipotesa penemuan.
Semua benda cakrawala ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata
telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi, yang baru akan dapat
kita lihat bila menggunakan alat peneropong. Sampai abad yang lalu banyak
sekali penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan khayal
belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan mata kita. Tetapi ternyata
sekarang sudah menjadi kenyataan. Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah
saja. Adanya gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi sasaran
pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat dikuasai oleh ilmu, dan
hukumnya yang positifpun juga belum ditemukan.
Sering kita membaca tentang beberapa
masalah yang sudah diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi
kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku menurut kaidah-kaidah
ilmu pengetahuan belum lagi memberikan arti yang meyakinkan. Psikologi
misalnya, dalam menghadapi beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai
hukum yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka langkah
cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh hidup dengan cara ilmiah
adalah suatu usaha yang memang sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.
MENYERANG MUHAMMAD KARENA GAGAL MENYERANG AJARANNYA
Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh
beberapa kaum Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an -
setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan iman mereka. Di antara
mereka itu terdapat juga orang Yahudi dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat
dan diskusi dengan Nabi, kemudian merekapun mempercayai. Sekitar risalah dan
masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada segolongan orang-orang
Quraisy yang berusaha menuduh hal itu sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi
kemudian merekapun mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang
gila. Merekapun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas ajakan itu. Inilah yang
sudah pasti dan meyakinkan.
Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh
ilmu, dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ilmiah ialah sikap mengingkari
terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang menerimanya disertai kecaman
dengan pelbagai rupa. Inilah yang justru bertentangan dengan ilmu.
Seorang sarjana yang sungguh-sungguh
bertujuan mencari kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan
bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang, masih
terbatas sekali, belum dapat menguraikan wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan
tetapi, begaimanapun juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala
wahyu, seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan penulis-penulis
lain pada permulaan sejarah Islam itu. Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia
berusaha mencari dalih dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia
dengan sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu sebenarnya takkan
pernah bertemu.
Kalau sikap yang menyedihkan ini harus
menjurus kepada sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras hendak
menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam. Agama ini sendiri tidak
dapat mereka serang. Mereka telah menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama
ini, dengan sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjadi dasar
kekuatannya.
Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan
cara orang yang lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar itu,
mereka lalu menyerang orang yang meninggalkan jejak itu. Ini adalah kelemahan
yang tidak seharusnya menjadi pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu ia juga
bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia ialah memperhatikan
jejak itu sendiri saja, menikmati buahnya tanpa ia harus bersusah payah
mencari-cari asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu terjadi
atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu menyusahkan diri mencari-cari
asalnya pohon yang telah menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu, atau
tentang pupuk yang menyebabkan pohon tersebut jadi subur, selama tidak
terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih enak buahnya.
Ketika orang mengadakan pembahasan tentang
filsafat Plato atau tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael
misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada kehidupan orang-orang
besar itu - yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan umat manusia - kalau
dalam karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran kecamannya. Kalau
mereka mencari bahan kecaman yang tidak punya dasar kebenaran, mereka takkan
dapat mencapai tujuan. Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka
perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orangpun takkan mau
mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan menuangkan rasa dengki itu ke
dalam pola ilmu. Sifat dengki itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan
sekali tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber kebenaran.
Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu terhadap Nabi, Rasul penutup
itu. Tetapi dengan demikian kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.
Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini
terhadap pendapat Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu
dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya kemukakan dalil-dalil
kelemahan pendapat mereka itu.
PERTIMBANGAN MEREKA YANG AKTIF DALAM SOAL-SOAL ISLAM
Baiklah sekarang saya pindah kebahagian
lain dalam tinjauan ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa
kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama, memberikan pula
pendapatnya.
Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah
semacam ini, yang tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan
berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih dapat dimaafkan,
terutama atas tindakan mereka yang sebelum itu memang sangat berlebih-lebihan.
Mereka merasa, bahwa mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa. Dengan
demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas nasional atau
tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan mereka, dengan memperkosa ilmu
pengetahuan sebagai alat dalam melaksanakan tugasnya itu.
Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi
via telegram dan radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru
dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di Eropa atau di
Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau saat itu juga di negeri-negeri lain
di Timur. Mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya,
seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama disingkirkan dari depan mata
dan dari dalam hati mereka. Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang
mereka katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh semua orang.
Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya dan menerima dengan sikap kritis.
Biarlah, kebenaran yang sebenarnya tidak terikat oleh apapun itulah yang akan
menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian kita pada suatu ikatan
masa lampau dan masa datang umat manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan
keluarga besar yang mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang
dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya yang pertama; suatu
ikatan persaudaraan yang merdeka di bawah naungan kebenaran dan keindahan.
Inilah satu-satunya ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia
dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan
itu.
Sementara ada orang-orang yang begitu
percaya pada apa yang dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan
itu menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan berpegang pada
sumber-sumber berbahasa Arab, maka mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan
agama Islam juga menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada
pendapat-pendapat kaum Orientalis; bahwa kami katanya tidak memperhatikan
segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis bertalian dengan sejarah hidup Nabi
dan bahwa kami tidak memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama
itu.
Atas dasar ini sebagian mereka telah
mengemukakan pendapat-pendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan cara yang
lemah-lembut dan baik sekali dengan tujuan hendak mencari kebenaran. Sebagian
lagi, karena keras kepala atau bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih
berpengetahuan. Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut,
kebanyakan dititik beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan dalam buku-buku sejarah
dan Hadis Nabi tentang mujizat-mujizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami
sebutkan pada penutup cetakan pertama: "Sejarah hidup Muhammad adalah
sejarah hidup manusia yang telah sampai ke puncak tertinggi yang pernah dicapai
seorang manusia. Pada waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin
menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya diberi wahyu. Ia
tidak suka apabila ia akan dihubung-hubungkan kepada sesuatu mujizat selain
Qur'an. Hal ini dinyatakannya kepada para sahabat." Pada bahagian cerita
membelah dada ada kita katakan:
"Dengan demikian apa yang diminta oleh
kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang
luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar
kepada hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka kepada yang
ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan
penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk
akal itu. Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu tidak
sejalan dengan yang diminta oleh Qur'an, yakni supaya merenungkan ciptaan
Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak
sesuai dengan ekspresi Qur'an tentang kaum musyrik yang tidak mau mendalami dan
tidak mau mengerti juga."
Mereka yang mengkeritik saya dengan cara
lemah-lembut itu di antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil
kecaman-kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai pengantar untuk
menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu menurut hemat mereka tidak sesuai
dengan penghargaan dan penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s.
Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum cetakan pertama
buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini dikumpulkan menjadi buku.
SELAWAT KEPADA NABI
Dalam menyalahkan saya yang paling keras
mereka lakukan ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah Hidup
Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu 'alaihi wasallama (s.a.w.),
ucapan Salam dan Selawat kepada Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini
berjalan sudah beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari
memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya hiasi dengan ayat
Qur'an: "Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi.
Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya" (Qur'an, 33:
56) dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan metoda seperti apa
adanya sekarang.
Akan tetapi mereka masih bersikeras juga
dengan pendirian mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan
kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa mereka sudah cukup
merasa puas hanya dengan ikut saja apa yang mereka terima dari nenek-moyang
dahulu kala.
Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah
pandangan yang salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan
orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak lain dalam
menanggapi buku apapun yang terbit. Kita mulai sanggahan ini dengan kembali
kepada buku-buku kaum cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui
sampai di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak terbatas hanya
pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat menempatkan nilai hadis:
"Bahwasanya agama ini kukuh sekali. Tanamkanlah dalam-dalam dengan
lemah-lembut. Sebenarnya orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai
tujuan, binatang bebanpun binasa." Dalam Kulliat-nya Abu'l-Baqa' menerangkan,
bahwa "penulisan ash-shalat (s.a.w.) dalam buku-buku dahulu terjadi pada
masa kekuasaan Abbasia. Oleh karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan
yang lain tidak mempergunakan kata-kata itu." Para Imam sebagian besar
sepakat, bahwa Selawat kepada Nabi cukup sekali saja diucapkan orang selama
hidupnya. Ibn Najm dalam Al-Bahru'r Ra'iq menyebutkan: "Perintah dalam
firman Tuhan 'ucapkan selawat dan salam kepadanya' kewajibannya berlaku sekali
saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu. Tentang ini tak ada
perselisihan pendapat."
Adanya perbedaan pendapat antara Syafi'i
dan yang lain tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku selama
dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah doa, artinya mudah-mudahan
Allah memberi rahmat dan salam kepada Nabi."
Demikian sumber para Imam dan ulama Islam
menyebutkan mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan selawat
kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan namanya merupakan suatu
keharusan menunjukkan, bahwa dalam hal ini mereka bersikap sangat
berlebih-lebihan. Akibat dari kesalahan mereka itu, maka mereka yang
mengikutinya akan salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita
sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan kata-kata selawat itu
dalam kitab-kitab mereka yang mula-mula.
MENANGKIS KECAMAN
Mereka yang berpendapat bahwa tidak
selayaknya menyebutkan kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil
terhadap Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah mereka,
pendapat ini tidak punya dasar selain dan pada rasa sentimen keislaman yang
mereka agung-agungkan. Sedang dari segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada. Apa
yang dikatakan kaum musyrik tentang Nabi, Qur'an menyebutkannya, lalu
menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Qur'an adalah moral yang
lebih sesuai dan tinggi adanya. Qur'an menyebutkan tuduhan Quraisy terhadap
Muhammad sebagai tukang sihir dan gila: "Kami mengetahui benar, bahwa
mereka berkata: 'Hanyalah seorang manusia yang mengajarkannya.' Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa asing, sedang ini adalah bahasa
Arab yang jelas sekali" (Qur'an 16: 103). Hal semacam ini sering sekali
ter]adi.
Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak
akan dapat ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat secara
jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba mengemukakan pembahasan ilmiah
guna mencari kenyataan ilmiah semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik
oleh kaum Muslimin atau bukan. Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang
kenyataan ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana pembahasannya
benar-benar bersih dalam kecenderungannya mencari kebenaran itu, tidak terikat
oleh apapun selain oleh kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu
mengakui kebenaran itu dan manapun datangnya.
BUKU-BUKU SEJARAH DAN BUKU-BUKU HADIS
Sekarang kita kembali ke pokok pertama,
kepada mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik
saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu. Mereka mengatakan,
bahwa saya tidak menuruti apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan
kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh
cara yang sudah ada.
Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya
jawab, bahwa dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan
gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena inilah cara yang baik
menurut pandangan ilmu pengetahuan yang berlaku sekarang dengan berbagai macam
cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya - dan ini
pendirian saya - tidak perlu kita terikat pada buku-buku lama. Antara kedua
cara dan cara-cara lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang
besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya
kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk
suatu maksud keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini
terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup buat saya
menangkis setiap tantangan dan sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai
dalam penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang
sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari
pemuka-pemuka Islam masa lampau itu - dan masa kini - juga yang membawa setiap
penyelidik yang teliti - untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja
apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita terikat pada
kaidah-kaidah kritik ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari
kesalahan sedapat mungkin.
Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan
yang terdapat dalam buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan
hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi sejak ia lahir hingga
wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya beberapa berita
yang ajaib-ajaib, mujizat-mujizat dan cerita-cerita lain semacam itu. Di
sana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang tepat, kecuali
perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak
seberapa banyak menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan
buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang serba ajaib yang
terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu jauh dari jangkauan akal,
dibandingkan dengan yang terdapat dalam buku penulis-penulis yang belakangan.
Buku Sirat Ibn Hisyam misalnya - sebagai buku biografi tertua yang pernah
dikenal sampai sekarang - tidak banyak menyebutkan apa yang disebutkan oleh
Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti apa yang disebutkan oleh Qadzi Iyadz
dalam Asy-Syifa', juga seperti yang disebutkan dalam buku penulis-penulis
kemudian.
KONTRADIKSI
Begitu juga tentunya tentang buku-buku
hadis dengan segala perbedaannya yang ada. Ada yang mengemukakan satu cerita,
yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam mengadakan
pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat
sebuah kriterium yang dapat mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang
tidak. Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula yang diakui
oleh penyelidik tersebut. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan
dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.
Dalam beberapa hal orang-orang dahulu
memang menggunakan metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita
gharaniq misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa kesal terhadap
kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu dibacakan Surah "an-Najm."
Ketika sampai pada ayat "Adakah kamu perhatikan al-Lat dan al-'Uzza, dan
Manat ketiga, yang terakhir?" (Qur'an 53:19-20) dibacanya pula, "Dan
itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan." Kemudian
pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi lalu sujud diikuti oleh
kaum Muslimin dan kaum musyrik yang juga sama-sama bersujud.
Cerita ini dibawa oleh Ibn Said dalam
At-Tabaqat'l-Kubra dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku
hadis shahih disebutkan juga adanya cerita gharaniq ini dengan beberapa
perbedaan. Tetapi Ibn Is-haq membawa cerita ini dengan mengatakan: "itu
berasal dari karangan orang-orang atheis." Juga dalam Al Bidaya wan-Nihaya
fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: "Orang bicara tentang cerita gharaniq
ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini, supaya jangan ada
orang yang mendengarnya lalu menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi
mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih." Kemudian ia menyebutkan
sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan mengatakan: "Hanya Bukhari
sendiri yang menyebutkan. Muslim tidak." Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi
akan menolak cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq, bahwa
cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam menyanggah ini saya dapat
menarik beberapa argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat
kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat perlindungan dalam
menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga saya bersandar pada kaidah-kaidah
kritik ilmiah yang berlaku sekarang.
FAKTOR WAKTU, KETIKA CERITA ITU DITULIS
Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji
sehubungan dengan buku-buku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang
teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang pernah ditulis orang
baru seratus tahun atau lebih kemudian sesudah Nabi wafat, dan sesudah
meluasnya issue-issue - baik politik atau bukan politik - dalam dunia Islam,
dengan menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu alat
penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang kemudian, yang sudah
mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.
PENGARUH PERTENTANGAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM
Pertentangan-pertentangan politik yang
telah dialami oleh mereka yang mengumpulkan hadis - dengan membuang mana yang
palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih - menyebabkan mereka berusaha lebih
berhati-hati lagi. Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya
tidak sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang
dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan perjalanan yang dilakukannya ke
berbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa
yang diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar yang
dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang benar (sahih)
olehnya tidak lebih dari hanya 4.000 buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari
setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang
pada Abu Dawud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih menurut dia hanya
4.800 saja. Demikian juga halnya dengan penghimpun-penghimpun hadis yang lain.
Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh
ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat kritik, yang akhirnya
banyak pula yang ditolak. Ini sama halnya dengan soal gharaniq.
PENGHIMPUNAN HADIS
Jadi, kalau demikian inilah yang sudah
terjadi dengan hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para
penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang
kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan
pengujian ilmiah!
Sebenarnya, pertentangan politik yang
terjadi sesudah permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya
cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai
pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya penulisan hadis belum lagi dilakukan
orang. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu
dihimpun. Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah terjadi
"Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti rambut putih pada
kerbau hitam," seperti kata Ad-Daraqutni. Dan mungkin tidak dikumpulkannya
hadis pada masa permulaan Islam, karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:
"Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Qur'an. Barangsiapa
menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah dihapus."
Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah
beredar dari mulut ke mulut dan penceritaannyapun berbeda-beda. 'Umar
ibn'l-Khattab ketika menjadi Khalifah pernah mengambil langkah dalam hal ini
dengan maksud akan menuliskan hadis-hadis itu. Ia minta pendapat
sahabat-sahabat Nabi yang lain. Merekapun memberikan pendapat yang sama. Selama
sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian setelah mendapat
ketetapan hati ia berkata: "Saya bermaksud akan menulis hadis dan sunah,
tapi saya takkan mencampur-adukkan Qur'an dengan apapun." Penulisan
hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke kota-kota lain:
"Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan." Sesudah itu hadis-hadis
terus juga beredar dan berkembang biak, sehingga akhirnya terhimpun juga
hadis-hadis yang dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa
Ma'mun.
KRITERIUM YANG SEBENARNYA TENTANG HADIS
Dengan segala usaha penelitian yang sudah
tentu dilakukan oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga
hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu, oleh beberapa ulama
lain masih dinyatakan tidak otentik. Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan:
"Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai
hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu dihiraukan dan mengurangi
pula arti yang menjadi pegangan mereka, yakni para penghimpun itu, yang sebagai
kriterium mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan
mereka kepada sumber cerita sebagai dasar: menerima atau menolak hadis itu. Ini
memang suatu, kriterium yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup."
Bagi kita kriterium yang baik dalam
mengukur hadis - dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi -
ialah seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi 'alaihissalam ketika
menyatakan: "Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena
itu) apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an. Mana
yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku."
Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang
sudah menjadi pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam. Dan
sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih berpegang pada ini. Seperti
dikatakan oleh Ibn Khaldun: "Saya tidak percaya akan kebenaran sanad
sebuah hadis, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang
bertentangan dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya.
Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat
mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari
segi matn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah
sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan: bahwa tanda hadis
maudzu, (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan Qur'an atau
dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau
dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan ketentuan-ketentuan axioma
lainnya."
Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis
Nabi tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali
dengan kaidah kritik ilmiah modern sekarang.
PENGHIMPUNAN HADIS PADA MASA MA'MUN
Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin
sudah mencapai puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan adanya
ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling bertentangan. Sesudah Abu Lu'lu'a,
bujang Al-Mughira, membunuh Umar ibn'l Khattab, dan sesudah Usman bin 'Affan
memangku jabatan Khalifah, permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya
yang terjadi sebelum Islam mulai timbul lagi. Setelah Usman terbunuh, perang
saudara antara kaum Musliminpun pecah. Aisyah melawan Ali dan Alipun mendapat
pendukungnya pula. Maka mulailah hadis-hadis buatan bertambah banyak,
sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri menolaknya. Konon dia berkata:
"Tak ada kitab pada kami yang dapat kami bacakan kepada kamu, kecuali apa
yang ada dalam Qur'an. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari
Rasulullah; terdapat kewajiban-kewajiban sadakah."
Akan tetapi ini tidak menghalangi para
penyiar hadis itu melancarkan ceritanya, tidak menghalangi adanya golongan
tertentu membuat-buat hadis karena sesuatu ambisi atau karena maksud-maksud
baik dengan mengajak pula orang lain. Mereka memduga orang lain akan senang
sekali menerimanya bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah.
Sesudah keadaan Banu Umayya stabil,
juru-juru hadis yang ada hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha
melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya. Sementara
oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta
berusaha pula menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang datang
dari Aisyah Umm'l-Mu'-minin oleh mereka dihalang-halangi.
CERITA-CERITA TIDAK MASUK AKAL DAN TIDAK ILMIAH
Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang
diceritakan oleh Ibn 'Asakir dari Abu Sa'd Isma'il bin Muthanna al-Astrabadhi.
Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik, salah seorang yang hadir bertanya
tentang hadis Nabi yang berbunyi: "Saya gudang ilmu dan Ali pintunya"
Ismail menekur sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: "Ya,
tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang hidup pada masa
permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata: "Saya gudang ilmu, Abu Bakr
fondasinya, Umar dindingnya, Usman atapnya dan Ali pintunya." Dengan
demikian para hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya
menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang tidak mampu.
Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang
karena memang ada maksud politik atau kemauan-kemauan insidentil lainnya.
Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum Muslimin kemudian
terkejut sekali, karena ternyata banyak pula yang tidak cocok dengan yang ada
dalam Kitabullah. Usaha hendak menghentikannyapun sudah banyak pula dikerahkan
pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.
Bagaimanapun juga pada masa dinasti
Abbasia, dan Ma'mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan
atau ratusan ribu hadis-hadis maudzu' (buatan) itu sudah tersebar - diantaranya
terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi sekali, yang tidak diduga semula.
Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga
menuliskan biografinya. Al-Waqidi, 'Ibn Hisyam dan Al-Mada'ini hidup dan
menuliskan buku-buku itu pada masa Ma'mun. Baik mereka ini atau yang lain pada
waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat
Khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang harus mendapat penelitian
mana kriterium yang menurut suatu sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan
mencocokkannya kepada Qur'an sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi,
yaitu: mana-mana yang cocok dengan Qur'an, adalah dari Rasul dan yang tidak,
bukan dari Rasul.
Sekiranya kriterium itu dipakai dengan
penelitian sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh tokoh-tokoh itu
niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metoda modern sama sekali tidak
berbeda dari kriterium ini. Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan
tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu golongan,
sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. Cara-cara ini dalam penulisan
sejarah hidup Nabi oleh penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari
orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain dari
pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu
mereka menyesuaikan hadis itu dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis
besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang tidak
cocok dengan yang ada dalam Qur'an. Mana yang tidak sejalan dengan hukum alam
dan tidak tersebut pula dalam Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak
sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru
diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan
mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan.
Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan
oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam
lainpun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi
dalam kata perkenalan buku ini menyebutkan: "Kekuatan mujizat Muhammad
s.a.w. hanyalah dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasional adanya. Sajak
Bushiri berikut ini memang indah sekali:
"Tidak juga sampai kita dicoba Yang
akan meletihkan akal karenanya Karena sayangnya kepada kita Kitapun tak ragu,
kitapun tak sangsi."
Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza,
Redaktur majalah Al-Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku kita
ini, menulis: "Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut tarekat yang paling
keberatan terhadap Haekal sebagian besar mengenai mujizat-mujizat dan hal-hal
yang ajaib-ajaib di luar kebiasaan. Pada pasal dua bahagian dua dan pasal lima
dalam buku Al-Wahy'l-Muhammadi, dari segala segi dan persoalannya mengenai hal
ini, ada saya tulis, bahwa hanya Qur'anlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang
positif khusus tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para nabi yang
lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa
kenyataan tersebut.
"Masalah-masalah alam gaib
(supernatural) adalah masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian
yang meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga pada zaman kita
ini, dan terdapat juga pada setiap zaman. Mereka yang masih terpesona oleh
masalah semacam itu, adalah orang-orang yang suka pada takhayul yang memang
terdapat pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab timbulnya
daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang umumnya termasuk hukum alam,
hukum rohani dan lain-lain." [Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935].
Syaikh Muhammad Abduh pada bahagian pertama
buku Al-Islam wan-Nashrania ("Islam dan Kristen") menyebutkan:
"Dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah dan
keesaanNya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain pembuktian rasional dan
pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu
bingung terhadap hal yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap
kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu karena ada ledakan dari
langit; dan pikiran kitapun jangan terputus karena pekikan yang membawa suara
suci. Kaum Muslimin sudah sepakat - kecuali sejumlah kecil dengan pendapat yang
tidak berarti - bahwa kepercayaan kepada Allah adalah mendahului kepercayaan
kepada nabi-nabi. Tidak mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia
beriman kepada Allah; sedang beriman kepada Allah melalui ucapan para rasul
atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan. Sungguh tidak masuk akal orang
akan percaya kepada adanya kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita
tidak percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan kitab dan
mengutus rasul."
Saya kira mereka yang pernah menulis
sejarah hidup Nabi akan lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak
karena situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena dugaan mereka
yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa gaib dan
mujizat-mujizat yang tidak terdapat dalam Qur'an itu akan menanamkan rasa
keimanan dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka menduga
pula, bahwa dengan menyebutkan mujizat-mujizat itu akan berguna sekali, dan
tidak akan merugikan. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan
menyaksikan betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka sebutkan
itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan umat Islam, niscaya mereka akan
berpegang pada apa yang ada dalam Qur'an, mereka akan berkata seperti Imam
Ghazali, Muhammad 'Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup teliti.
Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini, dan menyaksikan betapa
cerita-cerita demikian itu menyesatkan hati dan kepercayaan orang - bukan
sebaliknya, menanamkan dan menguatkan iman - niscaya cukuplah mereka
menyebutkan saja ayat-ayat Qur'an yang begitu jelas dengan dalil-dalil yang
memang sudah tak dapat dibantah lagi.
Adapun dari segi yang merugikan
cerita-cerita yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah
jadi jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap masalah-masalah serupa
ini hendaknya selalu berpegang pada segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan
pengujian, demi pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada sejarah
Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh hasil penyelidikan dalam
sejarah yang besar ini, adalah sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada
peradaban yang sebenarnya.
QUR'AN DAN MUJIZAT
Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan
apa yang terdapat dalam Qur'an, tentu tak bisa lain kita akan menerima
pendapat-pendapat para imam yang sangat teliti itu. Pada waktu itu penduduk
Mekah minta kepada Nabi berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan
mujizat-mujizat kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka
Qur'an datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan menolaknya dengan
beberapa argumen: "Dan kata mereka: 'Kami takkan percaya kepadamu, sebelum
kaupancarkan mata air untuk kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah
kebun kurma dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai yang deras
mengalir. Atau seperti kauterangkan kepada kami kaujatuhkan langit
berkeping-keping. Atau kaudatangkan Tuhan dan malaikat-malaikat itu
berhadap-hadapan dengan kami. Atau engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan
emas. Atau engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami percayai,
sebelum kaubawakan sebuah kitab kepada kami yang akan kami baca' Ya, katakan:
Maha suci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?"
(Qur'an 17:90-93)
"Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi
Allah, bahwa jika sebuah tanda (mujizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya
mereka akan mempercayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya ada pada Allah.
Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu dibuktikan, mereka tidak juga akan
percaya? Juga akan Kami balikkan jantung dan pandangan mata mereka; karena
tidak mempercayainya pada pertama kali. Dan akan kami biarkan mereka mengembara
membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan malaikat-malaikat kepada mereka dan
mayat-mayatpun mengajak mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan
hidung mereka, tidak juga mereka akan mau beriman; kecuali bila Allah
menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti." (Qur'an 6:109-111)
Di dalam Qur'an tidak ada disebutkan
sesuatu mujizat yang oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia - menurut
zamannya masing-masing - mempercayai kerasulan Muhammad, selain daripada
Qur'an. Padahal, beberapa mujizat disebutkan dengan ijin Allah terhadap para
rasul yang datang sebelum Muhammad sama halnya seperti apa yang telah
dianugerahkan Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan
kepadanya. Apa yang tersebut dalam Qur'an tentang Muhammad, samasekali tidak
bertentangan dengan hukum alam.
Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh
Qur'an dan begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi yang
mendorong setengah kaum Muslimin - baik pada masa dahulu ataupun sekarang -
menerapkan mujizat-mujizat kepada Nabi? Mereka terdorong demikian, karena
mereka membaca dalam Qur'an adanya mujizat-mujizat pada para rasul sebelum Muhammad.
Lalu mereka berkeyakinan, bahwa keajaiban-keajaiban materi (mujizat-mujizat)
semacam itu perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu percaya
tentang itu sekalipun dalam Qur'an tidak disebutkan. Merekapun menduga, bahwa
makin banyak jumlah mujizat-mujizat itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan
Nabi, akan makin besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu.
Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada perbedaannya.
Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Sekalipun begitu dia adalah Rasul
pertama diutus Allah kepada seluruh umat manusia- bukan diutus hanya kepada
bangsanya saja - supaya memberi penerangan.
MUJIZAT TERBESAR
Oleh karena itu Allah menghendaki supaya
mujizat Muhammad itu adalah mujizat insani yang rasional, yang masuk akal, yang
takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin, sekalipun mereka satu sama
lain saling membantu. Mujizat itu ialah Qur'an. Ini adalah mujizat terbesar
yang pernah diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan memperkuat kerasulan
NabiNya itu dengan argumen yang jelas dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia
menghendaki - dengan itu - agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup
Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat kemahakuasaanNya. Kalau Tuhan
menghendaki adanya mujizat yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi
merasa puas, tentu itu akan disebutkan dalam Qur'an. Tapi ada orang yang tidak
mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal. Karena itu maka ayat yang akan
meyakinkan seluruh umat manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat
sekali hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah telah
memperlihatkan itu dalam bentuk Qur'an, sebagai argumen yang paling nyata dan
sebagai mujizat kepada mereka dari Nabi yang ummi itu. Ia memperlihatkan
kemenangan agama dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan
keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar inilah yang lebih kuat
menanamkan iman ke dalam hati umat manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai
bangsa dan aneka macam bahasa.
Sekiranya ada segolongan masyarakat yang
bukan Islam beriman kepada agama ini sekarsng, dan sebagai argumennya supaya ia
yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mujizat lain daripada Qur'an, niscaya itu
tidak akan mengurangi imannya, juga tidak akan pula kurang Islamnya. Selama
wahyu itu memang bukan bertugas membawa mujizat-mujizat semacam itu, tak ada
salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada RasulNya itu
rnau menguji lagi segala yang mengenai mujizat, yang ada hubungannya dengan
wahyu itu. Mana yang dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja
diterima; dan mana yang tak dapat.dibuktikan, terserah pada pendapatnya
sendiri. Iapun tidak salah. Beriman kepada Allah yang tunggal tiada bersekutu
memang memerlukan suatu mujizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam
semesta yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti kerasulan
Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak manusia beriman serta
menyelamatkan mereka agar jangan berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu
mujizat selain Qur'an: tidak diperlukan lebih daripada membacakan Kitab Suci
yang telah diwahyukan Allah kepadanya itu.
Sekiranya ada segolongan masyarakat yang
bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak
diperlukan sesuatu mujizat lain daripada Qur'an, niscaya orang yang pernah
beriman itu akan terdiri dari dua macam: pertama orang yang sudah tidak
tergoyahkan lagi hatinya; sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya sudah
terbuka menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Abu Bakr. Ia berimam
dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua, orang yang untuk imannya itu
sudah tidak perlu lagi mencari mujizat-mujizat lain dari balik hukum alam,
melainkan dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan persepsi
kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti ruang dan waktu, tak dapat
kita tangkap. Sungguhpun demikian ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut
hukum yang tidak berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui
undang-undang Tuhan yang ada dalam alam itu ia akan terbimbing sampai kepada
Penciptanya.
Buat dua macam golongan ini sama saja: baik
dengan mujizat atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang
mujizat-mujizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti karunia Tuhan. Iman
yang semacam inilah yang menurut pendapat bilangan besar pemuka-pemuka Muslimin
sebagai bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat, bahwa
sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut kepada siksa Allah atau
karena mengharapkan pahalaNya, melainkan harus iman itu semata-mata karena
Allah serta fana total ke dalam Ego Tuhan. KepadaNyalah semua persoalan itu
akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya pula kita kembali.
ORANG-ORANG MUKMIN PADA MASA NABI
Orang-orang sekarang yang sudah beriman,
mereka beriman kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya
mujizat-mujizat, sama halnya seperti mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul
itu pada masa hidup Nabi. Sejarah tidak menyebutkan, bahwa mujizat-mujizat itu
pernah membuat orang jadi beriman Malah bukti mujizat Tuhan terbesar ialah
wahyu yang diturunkan melalui NabiNya, dan peri hidup Nabi sendiri dengan
akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang mengajak orang jadi beriman. Semua
buku sejarah hidupnya menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman
kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra, telah jadi murtad dari imannya tatkala
Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah memperjalankannya pada malam haji dari
Mesjid Suci ke Mesjid Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke
Medinah, dengan maksud supaya membawanya kembali ke Mekah, hidup atau mati,
dengan harapan akan mendapat hadiah uang, Suraqa b. Ju'syum tidak juga beriman
meskipun buku-buku riwayat hidup Nabi menceritakan adanya mujizat Tuhan
sehubungan dengan peristiwa Suraqa dan kudanya itu. Juga sejarah tidak pernah
menyebutkan bahwa ada orang musyrik yang beriman kepada kerasulan Muhammad
hanya karena salah satu mujizat, seperti tukang-tukang sihir Firaun yang
beriman setelah melihat tongkat Musa menelan semua yang telah mereka buat itu.
GHARANIQ DAN TABUK
Lalu apa yang terdapat dalam buku riwayat
hidup Nabi dan hadis tentang mujizat itu kadang berbeda-beda pula. Sekalipun
menurut buku-buku hadis sudah dipastikan benar tapi kadang masih merupakan
sasaran kritik juga. Masalah gharaniq misalnya, dalam pengantar ini ada juga
kita sebutkan sepintas lalu, dan akan kita sebutkan lagi lebih terperinci dalam
teks nanti. Cerita membelah dada juga sudah berbeda-beda sebagaimana
diceritakan oleh Halima inang pengasuh Nabi kepada ibunya; begitu juga mengenai
waktu terjadinya sehubungan dengan usia Muhammad.
Apa yang diceritakan oleh buku-buku riwayat
hidupnya dan buku-buku hadis tentang cerita Zaid dan Zainab sudah dapat ditolak
dari dasarnya, dengan alasan-alasan yang kita kemukakan ketika membicarakan
peristiwa tersebut dalam buku ini juga terdapat perbedaan-perbedaan mengenai
beberapa kejadian selama perjalanan pasukan 'Usra (yang mengalami kesukaran)
itu ke Tabuk. Dalam Shahih Muslim melalui Mu'adh b. Jabal diceritakan, bahwa
Nabi berkata kepada mereka yang pergi bersama-sama ke Tabuk itu: "Besok
kamu akan sampai ke mata air Tabuk, dan kamu baru akan sampai ke sana sesudah
siang hari. Barangsiapa di antara kamu sampai ke tempat itu jangan ada yang
menjamah air itu samasekali sebelum aku sampai." Kamipun lalu sampai tapi
sudah ada dua orang yang sudah sampai terlebih dulu ke tempat tersebut. Mata
air itu memercik seperti tali. Katanya: Lalu Rasulullah s.a.w. bertanya kepada
dua orang itu: Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.w.
memakinya dan dikata-katakannya mereka itu. Katanya: Lalu mereka menciduk mata
air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam
sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tamgan dan mukanya
dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itupun lalu
memercikkan air berlimpah-limpah - atau katanya deras - Abu Ali sangsi yang
mana yang dikatakan - sehingga orang-orangpun mendapatkan air itu. Kemudian
katanya: Mu'adh, kalau kau masih akan pamjang umur kau akan melihat di sini
penuh dengan kebun-kebun" (Shahih Muslim, jilid 7, p. 60, cetakan Astana,
1382H).
Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi
menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal
mujizat tidak disebut-sebut. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama
dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan
oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:
"Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba
waktu pagi dan air tidak ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah
s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan hujanpun
turun. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa air menurut keperluan mereka.
Ibn Ishaq mengatakan: Maka 'Ashim b. 'Umar b. Qatada menceritakan kepada saya,
lewat Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd'l Asyhal, mengatakan,
kataku kepada Mahmud: Adakah diantara orang-orang itu yang sudah dapat
membeda-bedakan saudara, bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi:
Beberapa orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang munafik yang
sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi bersama Rasulullah s.a.w. ke mana
saja. Demikian juga mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w. yang
berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya air hujan. Orang-orang
dapat minum. Kata mereka kami mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah
itu!? Katanya: Awan lalu."
METODA SAYA DALAM PENYELIDIKAN INI
Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan
sebenarnya tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji ini
jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar dan berpengaruh saja
dengan dua macam sumber yang berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan,
yang lain tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat menguatkan
sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika nanti ada orang lain yang
menemukan bukti-bukti positif, sudahlah; kalau tidak, dalam arti ilmiah ia
tetap belum dapat dipastikan.
Inilah metoda yang saya pakai dari semula,
ketika saya mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa
risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat karangan ini, memang
yang saya kehendaki ialah suatu studi ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan
sekarang, demi kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam
prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup cetakan pertama
buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu dapat terlaksana dan usaha inipun sudah
merupakan suatu penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya harapkan
dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah penyelidikan-penyelidikan
dalam bidang yang sama dengan lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah
psikologi dan spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia
kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya yakin bahwa dengan
mendalami penyelidikan demikian ini, rahasia-rahasia akan banyak diketemukan
orang, suatu hal yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi ilmu pengetahuan
akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata,
penyelidikan-penyelidikan psikologis dalam hal ini dapat memberikan analisa dan
menjelaskan sejelas-jelasnya kepada segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia
alam semesta dalam arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat
manusia, hubungannya dengan alampun akan makin erat, dan akan bertambah pula ia
merasa bahagia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam
ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya
masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudianpun
diketahui orang pula.
Oleh karena itu, setiap orang yang mau
menggarap penyelidikan seperti ini, seharushya itu ditujukan kepada seluruh
umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja. Tujuan pekerjaan inipun
sebenarnya tidak bersifat agama semata-mata - seperti mungkin ada yang
menduganya demikian - melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat manusia
mengenal bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkannya kepada
hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah ditunjukkan jalannya kepada
kita. Guna memahami tujuan itu memang tidak mudah, bila orang belum mendapatkan
jalan ini dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang. Sumber daripada ini
semua ialah pengetahuan dan iImu yang sebenarnya. Pemikiran yang tidak
dilandasi oleh pengetahuan, tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah,
sering akan membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh dari
tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan membuat pemikiran kita
besar sekali terpengaruh oleh temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga
mereka yang bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya. Tidak lain
sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu, sekalipun dalam mencapai
maksud dan tujuan mereka sama jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi,
pemikirannya tajam, cepat bereaksi. Ada pula yang punya kecenderungan sufi,
bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang bersifat kebendaan serta
pengaruhnya. Ada juga yang punya kecenderungan materialistik yang begitu besar,
terpengaruh oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia
memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan, yang ada di
sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda (materi) itu.
Di samping itu banyak lagi yang lain.
Karena temperamen mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan
penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan kehidupan praktis,
perbedaan ini merupakan suatu kenikmatan besar bagi umat manusia, tapi dalam
bidang ilmu dan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari
kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu bencana. Tujuan
studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai yang lebih tinggi dari hakekat
hidup itu, dan hendaknya dapat pula menghindari pengaruh-pengaruh emosi dan
temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri dari hal semacam
itu kecuali bila orang benar-benar mau disiplin terhadap metoda ilmiah, dan
jangan pula ilmu dan pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang
sejarah itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah lakunya
sendiri.
PENYELIDIKAN-PENYELIDIKAN ORIENTALIS
Dari kalangan Orientalis yang dalam
penyelidikan mereka disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang
terpengaruh oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak sedikit
dari kalangan penulis-penulis Muslimin sendiri yang demikian. Dan anehnya,
kedua mereka itu masing-masing mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan
kecenderungan mereka sendiri - dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang
dipakainya sebagai dasar penulisan mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud
demi kebenaran. Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen dan
kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti, bagaimanapun mereka
masing-masing berusaha secara jujur dan teliti mau menguji satu sama lain
tentang apa yang mereka tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka,
ialah peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka sendiri juga.
Sekiranya orang mau berusaha menurut
kemampuannya, melepaskan diri dari hawa-nafsu, dan berpegang hanya pada
cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih kuat berpengaruh
dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya
sudah mencoba seperlunya menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan
itu masing-masing - dalam pengantar cetakan kedua ini - seringkas mungkin,
disesuaikan dengan tempat yang ada ini pula. Mudah-mudahan berhasil juga
kiranya saya mencari kejujuran yang dimaksud itu.
Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu
dalam menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan penelitian
dengan bersikap jujur, betapapun mereka mau berniat baik dan bersikap bebas
dalam penelitian ilmiah itu. Tidak mudah bagi mereka menguasai semua
seluk-beluk bahasa Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah
lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa demikian rupa,
sehingga kebanyakan mereka memandang agama-agama itu dengan pandangan penuh
prasangka pula, sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran
Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama Kristen dengan ilmu
pengetahuan. Maka dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam,
merekapun lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan mereka
tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya. Maksud saya ialah terpengaruh
oleh pertentangan yang merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu
hal yang tereela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari
ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan waktu.
KAUM MUSLIMIN DAN PENYELIDIKAN
Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan
mereka dalam masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka, yang
jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat dan penting itu,
hendaknya dipikulkan ke atas bahu para cendekiawan dari kalangan dunia Islam
sendiri, baik yang aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni
beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara teliti dan jujur,
dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau mereka melakukan itu, dengan bantuan
pengetahuan mereka mengenai seluk-beluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab,
maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan membuat Orientalis-orientalis
itu - atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka - meninjau kembali sebagian
besar pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan hasil yang
diperoleh oleh kaum cendekiawan dunia Islam itu dengan rasa puas dan senang
hati.
Untuk mencapai hasil demikian inipun bukan
soal yang mudah. Ia memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyeIidikan itu,
perlu mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas. Tapi itu bukan suatu
hal yang tidak mungkin, juga bukan soal yang terlalu sulit. Sungguhpun begitu
ini adalah soal penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari
kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umat manusia.
Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini
sebaiknya harus dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam
sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga terbunuhnya Usman.
Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga tertutupnya pintu ijtihad. Pada
perioda pertama kaum Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh
cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh perang Ridda atau
oleh penaklukan kaum Muslimin atas beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.
Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan
di kalangan kaum Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan Muawiya
pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus berkecamuk, kadang terang-terangan,
kadang dengan sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan penting
dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya kontradiksi itu, dapatlah orang
membandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr sesudah
pelantikannya (sebagai Khalifah) tatkala ia berkata: "Kemudian,
saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya
bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik,
luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah
pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat sesudah haknya nanti
saya berikan kepadanya insya Allah, dan yang kuat bagi saya adalah lemah
sesudah haknya itu nanti saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang
meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan
kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah
akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tapi apabila saya membangkang terhadap
(perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya.
Laksanakanlah shalat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian," - dengan
pidato Mansur dari Banu 'Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya
mengatakan: "Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu dengan anugerah
dan dukunganNya. Saya adalah pengawal hartaNya. Saya melaksanakan ini atas
kehendakNya dan keinginanNya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah
menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendakiNya akan dibuka, maka
dibukaNyalah saya, supaya dapat.memberikan dan membagi-bagi rejeki kamu. Kalau
Ia menghendaki menutup saya, maka ditutupNyalah saya ..."
Biarlah orang membandingkan sendiri kedua
macam pidato itu supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas
prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua abad, suatu
perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum Muslimin, kepada kekuasaan
mutlak yang diambil atas nama hak suci itu.
Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang
sampai membawa akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang telah
menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah dan mundur. Di samping
berkembangnya Islam dan peradaban Islam selama dua abad berturut-turut sesudah
terbunuhnya Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa kerajaan,
menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk - sesudah yang pertama
mengalami kehancuran - maka perioda pertama yang berakhir dengan terbunuhnya
Usman, adalah perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam
kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh dijadikan pegangan yang
pasti dan positif akan segala yang telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip
yang sebenarnya.
Adapun sesudah perioda itu, di samping
adanya perkembangan ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya - lebih-lebih
pada masa dinasti 'Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai menodai
prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk kemudian diganti dengan
ajaran-ajaran yang sering sekali bertentangan dengan jiwa Islam, dan
kebanyakannya malah untuk maksud-maksud politik syu'ubia [1] (rasialisma).
[1] Suatu paham politik pada masa permulaan
persekemakmuran Islam bangsa-bangsa yang menolak hak-hak istimewa orang-orang
Arab (A).
Adanya orang-orang asing, orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut
menyebarkan cara-cara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut mendorong
diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan kepada Nabi 'alaihissalam,
atau mendakwakan sesuatu kepada para Khalifah yang mula-mula, yang memang tidak
sesuai dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.
Apa yang ditulis orang mengenai perioda
belakangan ini, tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa mengadakan
penelitian kembali dan kritik yang benar-benar mendalam dengan tidak
dipengaruhi oleh nafsu atau kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama
sekali perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat kontradiksi dan
tidak sesuai dengan Qur'an, meskipun tumbuhnya kontradiksi itu
dihubung-hubungkan kepada Nabi. Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung
diceritakan dan dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang kemudian,
ialah masa permulaan Islam sampai waktu terbunuhnya Khalifah yang ketiga. Saya
kira kalau semua ini kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan
dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang ajaran Islam yang murni,
dan dari kehidupan Islam yang pertama pula; yakni kehidupan intelektual dan
spiritual yang begitu kuat dan luhur, sehingga membuat Arab pedalaman dari
jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat tersebar di muka bumi
ini, guna menegakkan - dalam pelbagai negara - dasar-dasar peri kemanusiaan
yang paling luhur yang pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita
berhasil, kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan suatu ufuk
baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat mengetahui seluk-beluk alam dalam
arti psikologis dan spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula
hubungan itu dan akan membawa kenikrnatan dan kebahagiaan hidup bagi umat
manusia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini
bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih
tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudianpun
diketahui orang pula.
Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu
itu adalah jasa Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga sudah
terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala orang-orang Arab keluar
dari lingkungan jazirahnya, keluar menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur
ke seluruh dunia.
Langkah pertama yang perlu kita lakukan
dalam hal ini - dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan - ialah
benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi, sehingga dapat
membukakan jalan bagi umat manusia ke arah peradaban yang selama ini menjadi
cita-citanya. Dalam melakukan studi ini Qur'an adalah sumber yang paling
otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan tidak pula
dicampur dengan segala hal yang masih meragukan. Kitab yang selama tigabelas
abad ini tetap dan akan tetap terus demikian selama hidup manusia, sebagai
suatu mujizat sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan oleh
firman Allah: "Kami yang telah memberikan Qur'an ini dan Kami pula yang
menjaganya" (Qur'an, 15: 9). Seperti sejak dahulu juga, ia akan tetap
sebagai mujizat Muhammad yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai
berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang berhubungan dengan
sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan kepada Qur'an, mana yang cocok itu
adalah benar, dan mana yang tidak cocok samasekali tidak benar.
Dalam studi permulaan ini, memang ke arah
itu yang saya usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan pertama
buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada Allah atas taufikNya itu.
Sayapun berharap semoga Tuhan akan memberi petunjuk dan pertolongan serta
membukakan jalan bagi barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini
secara ilmiah dengan lebih mendalam lagi.
Tuhan, kepadaMu juga kami mempercayakan
diri, kepadaMu juga kami kembali dan kepadaMu juga kesudahan segala ini.
0 comments:
Post a Comment